Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.
Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.
Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.
Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Kepedulian
Suara bel sekolah menggema, memecah keheningan kelas setelah pelajaran yang panjang. Beberapa siswa segera merapikan buku-bukunya dengan cepat, ada yang berlari keluar kelas, ada yang sibuk mengobrol, dan ada juga yang langsung mengajak teman ke kantin. Ruangan yang tadi hening seketika ramai seperti pasar kecil.
Alendra menutup bukunya perlahan. Tangan kirinya menekan perut, menahan rasa mual yang tiba-tiba muncul sejak setengah jam terakhir. Ia menelan ludah berkali-kali agar tidak muntah di depan teman-temannya. Napasnya terasa sesak, tapi senyum tipis tetap ia hadirkan agar tidak ada yang curiga.
“Yuk, kita ke kantin!” ucapnya tiba-tiba, suaranya agak serak namun berusaha terdengar ceria.
Nayla, yang duduk tepat di sebelahnya, langsung menoleh cepat. “Eh, seriusan? Tumben banget lu ngajak duluan. Biasanya harus kita yang tarik-tarik lo.”
Selena dan Elvira yang baru saja berdiri juga ikut menatap heran. “Iya, ini sih langka banget. Kayak lihat matahari terbit dari barat,” canda Elvira sambil tertawa kecil.
Alendra mengangkat bahunya santai, meski wajahnya masih pucat. “Hari ini gue nggak sempet bawa bekal. Bangun kesiangan banget. Terus… entah kenapa tiba-tiba kepengen bakso. Pengen yang kuahnya panas, pedes banget, sama es jeruk. Kayaknya enak, ya.”
Ia tersenyum kecil membayangkan makanan itu. Padahal, sejak pagi tadi ia tidak bisa menelan apa pun tanpa rasa mual. Namun, entah kenapa sekarang lidahnya benar-benar ingin merasakan bakso dengan banyak sambal.
Nayla dan Selena saling pandang sebentar. “Oke, kalau gitu cus ke kantin sekarang sebelum penuh,” kata Selena semangat.
Mereka pun berjalan bersama menuju kantin.
Kantin sekolah sudah penuh sesak. Bau mie goreng, ayam goreng, dan berbagai jajanan bercampur jadi satu, memenuhi udara. Suara anak-anak berceloteh, memanggil nama penjual, bahkan ada yang berebut kursi.
Alendra berjalan pelan di belakang teman-temannya. Tubuhnya agak goyah, tapi ia berusaha menahannya. Matanya langsung mencari penjual bakso favoritnya di pojok kantin. Begitu melihat antreannya tidak terlalu panjang, ia langsung tersenyum lega.
“Bang, bakso satu! Pedes banget, ya. Kuahnya panas. Sama es jeruk dingin,” katanya sambil menyerahkan uang.
Tidak lama, semangkuk bakso panas mengepul sudah ada di hadapannya. Kuah merah dengan sambal melimpah, ditambah aroma jeruk segar dari gelas minumannya, membuat air liurnya menetes.
Ia langsung duduk bersama teman-temannya di meja kosong. Dengan bersemangat, ia menyendok bakso dan meniup sedikit sebelum memasukkan ke mulut. Sensasi pedas bercampur hangatnya kuah membuatnya sedikit berkeringat. Namun, baru beberapa sendok, perutnya tiba-tiba bergejolak.
Ia menutup mulutnya, wajahnya menegang.
“Len, kenapa?” tanya Nayla panik, melihat sahabatnya menunduk tiba-tiba.
Alendra menutup mata, berusaha menelan rasa mual. “Gue… nggak papa. Cuma… kayaknya kepedesan aja,” jawabnya terbata. Ia mencoba memaksa senyum, lalu kembali menyeruput kuah bakso dengan hati-hati.
Tapi perutnya semakin memberontak. Beberapa menit kemudian, ia buru-buru menaruh sendok dan menutup mulut, lalu berlari keluar kantin. Teman-temannya langsung menyusul dengan cemas.
Suara muntah terdengar dari salah satu bilik toilet. Selena, Nayla, dan Elvira berdiri di depan pintu, menunggu dengan wajah khawatir.
“Len, lu kenapa sih? Dari tadi muka lu pucet banget. Ini udah nggak normal lagi,” ujar Nayla sambil mengetuk pintu pelan.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Alendra keluar dengan wajah basah, rambut menempel di dahi karena keringat, dan bibir pucat. Ia menunduk, tidak berani menatap teman-temannya.
“Gue cuma kecapean doang… sama telat makan. Makanya mual,” katanya pelan, mencoba mencari alasan.
Selena menggeleng pelan. “Len, lu jangan bohong. Gue liat dari tadi lu maksa banget. Kalo sakit, bilang. Jangan ditahan gitu.”
Alendra menghela napas panjang, lalu menunduk lebih dalam. Dalam hatinya, ia tahu teman-temannya benar. Badannya semakin hari semakin lemah. Ia sering pusing, sering mual, dan perutnya juga terasa aneh. Tapi ia tidak berani mengatakan apa pun. Ada rasa takut yang besar di dalam dirinya, takut kalau semua ini ada hubungannya dengan kejadian satu bulan lalu.
Setelah mencuci muka, Alendra kembali ke kelas bersama teman-temannya. Ia duduk diam, menunduk, sementara pelajaran berikutnya dimulai. Suara guru masuk telinga kirinya, keluar dari telinga kanan. Ia tidak bisa fokus sama sekali.
Tangannya refleks memegangi perut. Ada perasaan aneh—bukan sekadar sakit perut biasa. Semacam rasa berat yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Nayla melirik ke arahnya, lalu menulis sebuah catatan kecil di sobekan kertas dan menyelipkannya di buku Alendra.
“Len, kalau lu ada apa-apa, cerita ke kita. Jangan dipendam sendiri. Kita sahabat lu, oke?”
Alendra membaca catatan itu diam-diam. Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru menutupinya dengan tersenyum kecil ke arah Nayla. Ia tidak ingin menangis di depan teman-temannya.
Sore hari, bel terakhir berbunyi. Semua siswa bergegas pulang. Alendra menuruni tangga perlahan. Tubuhnya makin lemas, dan matanya berkunang-kunang.
“Len, lu yakin bisa pulang sendiri?” tanya Selena cemas.
“Iya, gue naik sepeda kok. Deket aja, kan.”
“Tapi—”
“Gue beneran nggak papa,” potong Alendra cepat, mencoba menenangkan mereka.
Akhirnya teman-temannya terpaksa membiarkannya.
Begitu sampai di parkiran sepeda, Alendra menatap sepedanya dengan napas berat. “Bismillah…” bisiknya. Ia mengayuh perlahan, melewati jalanan sore yang ramai.
Di sisi lain, suasana lapangan basket dipenuhi semangat. Bola memantul, sepatu berdecit di atas lantai kayu, dan teriakan memberi semangat saling bersahutan. Tim basket SMA itu baru saja menyelesaikan latihan terakhir mereka menjelang pertandingan besar besok.
Rayven, sang kapten, berdiri di tengah lapangan dengan tubuh penuh keringat. Matanya tajam, suaranya tegas.
“Gimana, untuk pertandingan besok kalian sudah siap, kan?” tanyanya sambil menyapu pandangan ke seluruh tim.
“Siap, Kapten!” jawab mereka serempak, penuh semangat.
Rayven mengangguk puas. “Bagus. Sekarang kalian boleh pulang. Jangan lupa istirahat cukup. Besok kita harus kasih yang terbaik.”
Satu per satu anggota tim keluar dari lapangan, membawa tas dan botol minum masing-masing. Sorakan kecil, canda tawa, dan tepukan tangan terdengar, menandakan suasana penuh antusiasme.
Sementara itu, Rayven bersama kelompok kecilnya—Kenzo, Axel, dan Darren—berjalan ke markas mereka. Sebuah ruangan khusus yang sering mereka gunakan untuk berkumpul setelah latihan. Begitu sampai, mereka langsung merebahkan diri di sofa dan kursi masing-masing.
Rayven duduk dengan kepala bersandar ke belakang, matanya terpejam sebentar. Tubuhnya memang lelah, tapi pikirannya lebih lelah lagi.
“Eh, Yo, Ray,” suara Kenzo memecah keheningan. Ia duduk sambil memainkan botol minum di tangannya. “Gue jadi keinget… lo inget nggak pas ke klub bulan lalu? Lo tiba-tiba cabut duluan. Perginya ke mana, bro?”
Pertanyaan itu membuat jantung Rayven berdegup tak karuan. Malam itu kembali menyeruak ke kepalanya—malam ketika ia melakukan sesuatu pada seorang gadis yang bahkan tidak ia kenal. Gadis yang wajahnya samar-samar masih menghantui mimpinya. Gadis yang, entah mengapa, tak pernah ia lihat lagi sejak saat itu.
Rayven menegakkan tubuhnya, berusaha tetap tenang. Pandangannya kosong sesaat, sebelum ia menjawab singkat.
“Gue pulang ke apartemen.”
Kenzo menaikkan sebelah alis, seperti tidak puas dengan jawaban itu. “Serius cuma pulang? Padahal biasanya lo paling heboh kalau ada event gitu.”
“Udah, jangan banyak tanya,” potong Rayven, suaranya dingin.
Axel dan Darren saling pandang, tapi memilih tidak ikut campur. Mereka tahu Rayven tidak suka digali lebih dalam soal hal-hal pribadi.
Namun, setelah percakapan itu, suasana jadi canggung. Rayven memalingkan wajah, menatap kosong ke arah jendela. Dari balik kaca, lampu kota berkelip-kelip, tapi pikirannya kembali ke malam itu.
Bayangan gadis itu, wajah pucatnya, mata yang basah oleh air mata, membuat dada Rayven sesak. Ia menggenggam erat tangannya sendiri. Ada penyesalan yang ia coba abaikan, tapi semakin hari semakin sulit.
Gue udah ngapain, sih? Kenapa gue… pikirnya, tapi cepat-cepat ia menggelengkan kepala, seolah ingin menghapus bayangan itu.
“Ray, lo nggak apa-apa?” tanya Darren, yang memperhatikan gelagatnya.
Rayven cepat-cepat berdiri, mengambil tasnya. “Gue balik dulu. Besok pertandingan penting. Lo semua jangan lupa tidur cukup.”
Tanpa menunggu jawaban, ia keluar dari ruangan.