NovelToon NovelToon
Mess Up! Lover!

Mess Up! Lover!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Obsesi / Anime / Angst / Trauma masa lalu
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Cemployn

Mess Up!

Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.

Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 6 Lukamu Adalah Tanggung Jawabku

”Kerjakanlah tugas ini dengan teman kalian, presentasikan minggu depan. Sekolompok setidaknya terdiri dari dua sampai tiga orang.”

Tidak seperti ketika masih sekolah, mahasiswa jarang langsung protes ketika mendapat tugas dari dosen. Tugas sudah menjadi hal yang biasa, bahkan bisa dibilang sebagai ’makanan sehari-hari’ anak kuliahan, terutama tugas kelompok.

Namun, banyak yang memandang tugas kelompok sebagai sesuatu yang merepotkan. Di perkuliahan pun sama, kami harus pintar-pintar mencari anggota kelompok yang setidaknya mau berpartisipasi.

Biasanya kelompok untuk kami mengerjakan tugas kelompok jelas. Aku akan bersama Eric dan Derrick. Jumlah kami sangat pas seperti arahan dosen, akan tetapi saat ini mataku terus melirik gundah ke arah Lya.

Seperti biasa, setelah dosen mengakhiri kelas, anak itu justru langsung melesat pergi meskipun yang lain masih menetap di kelas, sibuk mencari anggota kelompok sebelum pulang atau berpindah kelas.

”Kau ingin sekelompok dengan Lya?” Eric membuyarkan lamunanku dengan suaranya dan ketukan pelan pada kursiku.

”Ah...” Aku tidak langsung menjawab.

”Biasanya akan ada anak lain yang mengambilnya sebagai teman kelompok, sih... tapi kurasa belakangan ini Lya semakin sulit untuk didekati. Apa dia baik-baik saja?” ujar Eric membuatku terperangah.

”Kau sadar? Kalau Lya sedang tidak baik-baik saja?” tanyaku.

Eric mengangkat bahu, ”Aku tidak tahu? Kelihatannya hanya begitu? Benar dia sedang ada masalah? Kamu pacarnya, kan?” Eric balik melempar pertanyaan yang membuat hatiku berdenyut.

”Uuhhh... sebenarnya sudah sekitar seminggu kami putus...” gumamku meski sudah selirih mungkin, Eric masih dapat menangkap itu. Matanya pun melotot.

”Kau serius? Kenapa tidak bilang apa-apa?” tanya Eric.

”Ini, kan aku sudah bilang,” balasku bingung.

Eric memutar matanya, ”Maksudku, kenapa kalian putus? Aku sempat merasa kau menghindri Lya, apa karena itu kau diputusi?” Aku segera menggeleng, membantah spekulasi Eric. ”Hah? Lalu kau yang mutusin dia?” Air muka Eric takjub, ada sedikit rasa tidak percaya.

”Aku bersalah besar pada Lya... Saat ini dia tidak membutuhkanku. Diriku yang sekarang hanya akan menyulitkannya. Jadi mungkin lebih baik aku kembali hilang dari hidupnya.”

”Lalu, Lya berkata apa mendengar itu?” Pandangan Eric lurus padaku ketika bertanya hal tersebut.

”Dia tidak berkata apa-apa... Ah, kupikir-pikir mungkin dia ingin berkata sesuatu tapi dia tampak memaksakan diri, aku mengatakan jangan paksakan diri lagi dan pergi begitu saja,” jelasku langsung disambut dengan helaan nafas panjang, sedikit frustasi, dari Eric.

”Aku hanya bingung, kau terdengar seperti orang yang seenaknya. Nembak mendadak, mutusin juga sepihak. Memangnya kalau dia terlihat memaksakan diri kenapa? Tetap saja pasti ada yang ingin dia katakan. Kenapa kau malah menghentikannya?” Eric mempertanyakan tajam.

”Selama ini aku sudah mendesak Lya! Apa kau tahu, dia punya hal-hal yang ingin dia simpan, yang tidak ingin orang ketahui tentangnya? Tapi aku memaksanya sampai ke titik menyudutkannya. Aku mengabaikan ketidaknyamanannya,” ungkapku dipenuhi rasa penyesalan.

Eric tampak bingung. ”Aku tidak mengenal Lya, tapi kurasa dengan dirimu yang menjauhinya sepihak juga merupakan tindakan egois. Bukankah masih lebih baik kau mendesaknya dari pada menjauhinya? Lagipula kalian pacaran, meski memakan waktu lama, pun akan ada saatnya hati kalian saling terbuka. Kalau kau berhenti sampai di sini, untuk apa ada yang namanya hubungan?” ceramahnya hampir terdengar masuk akal, membuatku hatiku tergerak sesaat.

”Ah, sudahlah. Aku dan Derrick akan berkelompok berdua saja. Kau, sana pergi ke Lya. Minta dia jadi teman kelompokmu, Ben. Perbaiki hubungan kalian. Aku tidak begitu suka ikut campur, tapi rasanya tidak nyaman membiarkan kalian setelah mendengar semuanya.”

”Benar! Kau juga sepertinya masih sulit sekali melupakan Lya! Sudah seminggu putus, tapi masih terus melihatnya! Sayang sekali hubungan kalian berakhir tanpa sempat memulai apa-apa, kan? Kau sudah lama menyukainya. Lebih berusahalah! Tidak apa-apa untuk jadi orang yang keras kepala!” Mendadak Derrick menyela di tengah percakapan kami. Sepertinya dia juga ikut menyimak sejak tadi meski ia terlihat sedang fokus dengan hal lain.

Aku merasa terharu. Merasa takjub juga dengan semua nasihat mereka berdua. ”Tumben sekali kalian serius? Biasanya juga bakal mengejek,” gurauku sambil tertawa kecil.

Eric mendengus, ”Kami tahu kapan harus bercanda, kan?” responnya sambil menepuk pelan diriku dengan kepalan tanganya.

”Susul Lya sana! Kurasa dia sudah tidak punya kelas lagi hari ini.” Derrick memburui. ”Lebih cepat kalian bicara, lebih baik, kan?” Mendapatkan dorongan semangat dari mereka, membuat kakiku terasa tidak berat. Rasa ragu, pesimis, apapun yang negatif dalam diriku secara ajaib sirna. Aku mengangguk sekali sebelum berlari keluar kelas meninggalkan mereka.

Berkat kakiku yang panjang, dengan sedikit berlari, aku dapat menyusul Lya yang belum sempat pulang. Aku segera dapat mengejarnya dan menemukan sosoknya di tangga, ia sedang melangkah turun, sepertinya menuju gerbang fakultas. Jantungku yang penuh gejolak positif terus menipiskan jarak kami, sehingga hanya tinggal beberapa meter, barulah aku menyahutkan namanya. ”Lya!” panggilku sambil mengulurkan tangan.

Lya menoleh berkat panggilanku. Semula wajahnya tampak biasa saja, tapi pada detik berikutnya, raut itu berubah panik. Tangannya pun terlihat seperti hendak meraihku, merentang lebar dan berlari ke arahku yang berada di anak tangga paling atas.

”Ben! Awas!”

Mungkin karena rasa antusiasku untuk memperbaiki hubungan kami, aku jadi tidak sadar sejak aku mencoba meraih Lya, kakiku telah salah melangkah hingga membuat tubuhku oleh ke depan. Hampir jatuh dengan wajah dan terguling hingga ke anak tangga paling bawah jika saja Lya tidak menangkap tubuhku dengan cepat dari arah bawah.

Namun tubuh kecil itu tidak pula sanggup menahan beratku sehingga kami terjatuh bersama. Meninggalkan pandangan gelap untuk sesaat.

”Hei! Apa kalian baik-baik saja?”

”Suara benturannya keras sekali!”

Hanya butuh beberapa detik untuk orang-orang di sekitar sana menyatu, mengelilingi sekitar tangga dengan cemas dan penasaran. Dan hanya butuh beberapa detik untukku menyadari bahwa kini aku sedang menindih tubuh kecil Lya. Aku bergegas menyingkir, setengah panik melihat kondisi Lya yang tampak kesakitan.

”Lya! Kenapa kau malah menangkapku! Bukannya menyingkir!” seruku panik. Aku tidak merasa begitu sakit berkat bantalan dari tubuh Lya yang mencegahku mendapatkan cidera banyak. Hanya saja saat ini aku menjadi sangat cemas dengan kondisi Lya. Sekilas tidak ada luka, seluruh tubuhnya tertutup sempurna dengan baju yang ia pakai.

”Kau juga kenapa turun dari tangga begitu! Kalau aku tidak menangkapmu, wajahmu duluan yang akan terbentur, kau tahu!” Lya balik membentak. Di wajahnya tampak diselimuti rasa khawatir yang besar. Rasa khawatir yang ia tunjukan padaku.

Aku tidak sempat merasa terenyuh. Jantungku seakan berhenti di detik berikutnya, tapi anehnya pembuluh darahku justru mengalir cepat. Bagaimana tidak aku bereaksi seperti itu setelah melihat setetes, yang berubah menjadi aliran cukup deras keluar dengan lancar dari pelipis Lya.

”Hei! Dia berdarah! Segera ke rumah sakit!”

”Jangan bergerak sembarangan! Hei, apa kau merasa mual?”

”Cepat tuntun dia ke rumah sakit fakultas kedokteran!”

”Hei, jangan gerakkan tiba-tiba! Bagaimana jika ada tulang yang patah juga?!”

Sekitar kami semakin heboh. Darah itu dengan cepat mengotori lantai yang baru menjadi landasan kami mendarat. Aku masih terduduk syok, sedangkan perempuan yang membuatku seperti ini masih terlihat tidak panik melihat darah dari dalam dirinya terus menetes tanpa ada tanda berhenti.

”Ben!” panggilan itu menyadarkanku dari syok. Aku menoleh dan segera menemukan sosok Eric serta Derrick, wajah mereka tampak bingung disusul dengan kaget setelah berhasil menyerapi keadaan.

”Hei! Bantu aku membawa Lya ke rumah sakit fakultas! Cepat! Kepalanya berdarah!” seruku pada mereka. Tanpa ada waktu untuk terbengong, dengan cekatan Derrick berlari menuju parkiran, sedangkan Eric membantuku.

Aku berdiri tanpa kepayahan, tubuhku sama sekali tak merasakan luka. Namun saat hendak menolong Lya bangkit, ia meringis kesakitan. Tangannya menekan pergelangan kaki, wajahnya menegang menahan nyeri.

“Lya… kau kenapa?” suaraku tercekat. Panik menjalar begitu saja, membuatku tak sempat berpikir jernih.

Tanpa ragu, aku menyelipkan lenganku ke bawah tubuhnya, lalu mengangkatnya. Beratnya hampir tak terasa, seolah aku hanya menggendong sehelai kapas. Tapi justru itulah yang membuat hatiku semakin sesak. Kenapa dia nekat mencoba menahan tubuhku yang jelas dua kali lipat lebih besar darinya?

Dengan bergegas, aku pun membawa Lya ke mobil Derrick yang sudah terparkir tepat di depan pintu lobi fakultas sosial, mobil itu dengan cepat melesat menuju rumah sakit fakultas kedokteran yang tidak jauh dari fakultas kami. Eric tidak mengikuti kami. Ia tinggal di belakang untuk membersihkan sisa-sisa dari kecelakaan kami.

***

”Kepalanya akan baik-baik saja setelah beberapa hari. Hanya saja jangan pakai untuk aktivitas yang berat dulu, ya.”

”Dan kakinya mengalami patah. mungkin baru akan sembuh beberapa minggu.”

Diagnosa dokter itu membuatku serasa ditimbun tumpukan batu. Luka Lya separah itu, sementara aku yang menjadi penyebabnya hanya membawa beberapa lebam dari benturan ketika terguling di tangga. Tidak ada yang serius.

Aku mengacak suraiku, napasku berat, rasa bersalah mencengkeram dada. Bahkan di saat seperti ini—ketika kami berdua duduk di kursi lobi rumah sakit, aroma antiseptik menusuk hidung, suara roda brankar sesekali melintas di telinga—aku tetap tidak bisa membuang rasa sesal itu.

Kutatap wajahnya yang sejak tadi tak menunjukkan perubahan. Datar, tenang, seolah rasa sakit sama sekali tak hinggap padanya. Padahal luka-luka itu jelas parah. Perban putih melilit kepalanya, cukup untuk membuatku ikut merasa nyeri hanya dengan melihatnya. Kakinya yang tergips membuatku mengeluarkan desisan perih, seakan aku sendiri yang merasakan sakitnya.

Namun Lya duduk begitu saja, tidak memperlihatkan tanda-tanda terganggu. Semua itu seolah bukan masalah besar baginya. Justru ketenangan dinginnya yang membuat hatiku semakin remuk.

“Kenapa kamu melakukannya?” tanyaku, suara parau seolah tercekat di tenggorokan. Memecah keheningan di koridor rumah sakit yang gelap.

Lya menolehkan kepalanya, menatap ke arahku. Sejurus kemudian, entah kenapa bibirnya menyunggingkan senyum. Ia mengulurkan tangannya, jatuh pada bibirku yang sedikit berdarah karena kugigit sejak tadi.

”Asalkan bukan kamu yang terluka, Ben.”

Jawabannya justru membuatku semakin tidak mengerti. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, tapi tak bisa kujelaskan. Deretan pertanyaan dengan kata 'kenapa' terus berputar di kepalaku, namun tak satu pun berhasil keluar dari mulutku. Yang tersisa hanyalah kebingungan, semakin lama semakin menyesakkan.

Rasa panik yang kurasakan seolah disia-siakan begitu saja. Tanpa kusadari, air mata kembali mengalir. Entah sudah yang keberapa kali, entah sejak kapan, tangisku jadi begitu mudah pecah—semuanya sejak aku mengenal Lya.

”Pada akhirnya aku hanya bisa membuatmu menangis, ya?” Lya kembali mengeluarkan suara.

Aku segera menggeleng, tapi aku tidak tahu apa yang ingin kukatakan. Aku hanya terus menekan keningku, menahan rasa sakit yang aku tidak tahu apa sebabnya.

”Ben...” panggil Lya lagi, kini kedua tangannya mengapit wajahku, membawanya untuk menatap mata itu. Mata yang kukenal, kembali melihatku dengan penuh rasa. ”Aku sungguh tidak apa-apa. Luka ini akan sembuh pelan-pelan.” Ia mencoba menenangkanku, mengusapku lembut seakan aku harta yang berharga baginya. Meski seharusnya aku yang menenangkan Lya, tapi aku yang pada akhirnya mendapatkan perhatian seperti ini.

”Kau sudah cukup mendapatkan luka, Lya... aku tidak ingin menambah penderitaan pada tubuhmu... aku...” Aku tidak dapat menghentikan perkataanku. Semua tertelan begitu saja. Pikiranku tidak benar-benar jernih.

Hening kembali menghantam untuk sesaat, hanya suara tangisku yang mengisi panggung kami. Sedangkan Lya masih sibuk untuk menyeka air mataku yang tidak berhenti mengalir.

Selanjutnya, bibir Lya kembali memecah keheningan itu.

“Ben, aku bersyukur kau mendekatiku. Sungguh. Aku mungkin tidak pandai mengungkapkan perasaanku dengan jelas, tapi untuk kali ini… aku benar-benar serius.” Ucapannya membuatku terhenti. Isakanku seakan tertahan di tenggorokan, spontan berhenti begitu saja. Aku hanya bisa menatapnya, terperangah oleh senyum yang sudah ia tampakan di wajahnya.

”Aku pernah memiliki seseorang yang sangat menyayangiku. Dia sepertimu, terkadang bisa sangat keras kepala karena terlalu peduli, meski terlihat tegar tapi hatinya mudah terluka. Aku seperti melihatnya darimu... makanya aku seperti tidak bisa membiarkanmu sejak aku melihatmu menangis saat menembakku.”

Lya mendekatkan keningnya padaku, tatapan kami bertaut, seolah ada sesuatu yang mengalir lewat sentuhan ringan itu. ”Itulah alasan sebenarnya aku mendadak menerima perasaanmu. Aku tidak benar-benar tulus padamu, aku hanya ingin menyembuhkan diriku dengan menggunakanmu. Aku tidak ingin kau terluka, tidak ingin kau merasa sakit, dan tidak ingin kau terus menerus menangis seperti ini semua itu demi membuat diriku merasa lebih baik.”

”Tapi aku selalu melakukan hal salah. Kurasa kau malah menjadi hancur ketika bersamaku.”

Aku menggeleng dalam dekapan itu. Dengan sisa-sisa air mata di wajahku, aku menjawab perkataan Lya. ”Dalam hubungan, sudah sewajarnya terkadang merasa sakit dan senang! Ini baru awal Lya... kita tidak boleh secepat itu menyerah, kan?”

Lya terkekeh. ”Kau yang memutuskanku, kan? Kurasa itu pilihan yang terbaik untuk kita berdua, tapi hatiku tetap merasa gundah setiap melihatmu. Berkali-kali ingin kuraih tapi aku tidak memiliki apapun yang benar untuk dikatakan.”

”Hei, Ben... Ada hal yang belum siap kuceritakan. Kurasa aku membutuhkan banyak waktu untuk itu. Di tengah aku mempersiapkan diri, mungkin aku akan kembali terpuruk dan mendorongmu menjauh...”

”Tapi aku berharap, kau tetap di sana, menungguku dengan sabar meski kau akan terus menerus menangis seperti ini. Aku tahu ini egois, tapi aku tidak ingin hubungan kita berakhir begitu saja.”

Permintaan Lya membuat hatiku terenyuh. Bergerak memeluk tubuhnya secara lembut, berusaha untuk tidak terlalu menyakitinya. ”Aku akan berusaha Lya... aku pun menghampirimu untuk mengatakan hal yang sama.”

”Hubungan ini... aku tidak ingin semua berakhirnya begitu saja.”

Aroma lembut dari pakaian Lya menyingkirkan bau menyengat rumah sakit yang sejak tadi memenuhi indra penciumanku. Sentuhan kami—sentuhan yang begitu kurindukan—membuat jarak di antara hati kami seakan lenyap, semakin dekat, semakin erat.

Aku begitu larut dalam kehangatan itu, hingga perlahan muncul keinginan akan sentuhan yang lebih. Pelukan kami kulepaskan, hanya untuk kembali mempersempit jarak di antara wajah kami. Kali ini aku tidak lagi berniat sekadar menempelkan keningku pada keningnya, melainkan sesuatu yang lebih dari itu. Namun aku mendadak ragu setelah kembali melihat perban yang melingkari kepala Lya, dan rasa raguku menuntunku untuk mengurungkan niat.

”Boleh aku meminta satu permintaan, Lya?” pintaku hanya dijawab anggukan singkat dari Lya. ”Selanjutnya, jangan lakukan hal bisa melukai dirimu... termasuk ini.” aku menunjuk satu hal sensitif bagi Lya, yaitu lehernya. Mengingat pernah ada juga perban yang terlilit di sana adalah bukti bahwa terdapat luka sangat serius di baliknya. Lya tampak tercekat, namun reaksinya tidak seheboh sebelumnya yang sampai kabur meninggalkanku.

”Aku tidak masalah untuk menunggumu mengungkapkan sesuatu di balik ini. Yang penting hanya satu, saat kau merasa terpuruk, datanglah padaku, jangan mendorongku. Sekarang aku ingin menjadi pelarianmu. Ayo kita bagi luka kita bersama, ya Lya?”

Lya mengusap lehernya yang seperti biasanya tertutup rapat dengan kerah tinggi. Sekilas wajahnya muram, tapi di detik berikutnya ia mengejutkanku dengan memberiku kecupan cepat di bibir. Hal yang tadi aku ragu lakukan tanpa ragu Lya lakukan.

”Akan kucoba.”

Aku terbengong, wajahku memerah, sebelum akhirnya terkekeh. Salah tingkah tapi malah membalas tindakan Lya dengan hujan kecupan ringan di beberapa bagian di wajahnya hingga yang terakhir pada perban yang menutupi luka utamanya di pelipis.

”Berjanjilah.”

”Luka yang kita rasakan adalah milik bersama. Kita harus membaginya dan menyembuhkannya bersama.”

.

.

.

To Be Continue

1
Iyikadin
Wahh dengan siapa tuchhhh, jadi kepo dech ahh
@dadan_kusuma89
Wah, repot ini, Ben! Sepertinya ada sesuatu yang harus kamu teliti lebih dalam tentang Lya.
@dadan_kusuma89
Sepertinya kamu bakal masuk rekor muri, Ben! Dari penolakan menuju penerimaan cuma butuh waktu beberapa detik😁
fσя zуяєиє~✿
saran driku, paragrafnya jgn kepanjangan, klo bisa minimal 4-5 baris aja, atau klo diperlukan bisa smpe 6 baris aja/Grin/
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
Cemployn: siappp sudah sayaa perbaikii Kakk terimakasihhhh uyy sarannyaaa 🫶
total 1 replies
Goresan_Pena421
Kaka boleh perbanyak dialog. kecuali dalam bab awal ini khusus perkenalan tokoh GPP. jadi di buatin biografi singkat semua tokohnya atau cerita tentang tokoh-tokoh nya itu GPP kalau mau full monolog mereka kka.
Goresan_Pena421: iya kak. ☺️ saya juga masih belajar 💪. tetap semangat ya Kaka.
total 2 replies
Muffin🌸
Iyaa nikahi saja kan dengan begitu dia bisa jadi milikmu selamanya hehe🙏🏻
Anyelir
alasan berubah pikiran apa ya?
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Wkwkwk emg kurg ajr shbqtmu itu mnt di geplak emang Wkwkwk
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Langsung kasih pengumuman ke semua orang ya klo km pacaran 😂😂😂
Shin Himawari
Lya ga salah sih nolaknya, cuman blak blakan bgt astagaaa kasian hati Ben terpoteq🤣
Shin Himawari
setaun nyimpen cinta sendirian yaaa🤭semangaat semoga lancar pdkt-in nya
kim elly
🤣🤣bahagia nya kerasa banhet
kim elly
mana ada yang ngga tertarik pacaran🤣
👑Chaotic Devil Queen👑
Yuk! Gw pegangin sebelah kanan, Eric sebelah kiri. Kita lempar dia ke RSJ 🗿
👑Chaotic Devil Queen👑
Yang penting hasil 🗿

Tapi... Dahlah bodoamat🗿
ηιтσ
really pov 1 took. mah nyimak
TokoFebri
aku tau kau trauma lya..
CumaHalu
aku kalau jadi eric juga akan bertanya-tanya sih Ben. bisa-bisanya orang berubah pikiran dalam hitungan detik😄
@dadan_kusuma89
Ya jelas kaget lah, Ben! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba aja kamu nembak dia😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!