NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:275
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 6

SELAMAT MEMBACA 

“Oma apaan sih? Segala nyuruh orang buat ngurusin kita segala…” keluh Aksa sambil menyandarkan tubuh ke sofa.

“Kita bukan anak kecil, Oma,” sahut Azka datar tanpa menoleh, nada suaranya dingin seperti biasa.

Oma Ririn menghela napas panjang, menahan kesal. “Kalian berdua itu susah diatur. Makanya Oma pikir, butuh seseorang yang bisa bantu ngurusin kalian. Dan Zia… Oma rasa dia orang yang tepat.”

“Enggak gini juga, Oma,” gerutu Aksa ketus.

“Sudahlah, menurut saja. Mulai sekarang, Zia yang akan mengurus semua keperluan kalian.” Suara Oma Ririn terdengar tegas, tak terbantahkan.

Zia yang sejak tadi berdiri kaku hanya bisa diam. Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Kalau dari awal dia tahu tugasnya adalah mengurus dua kakak beradik menyebalkan ini, mungkin dia akan menolak mentah-mentah. Tapi sekarang, nasi sudah menjadi bubur. Dia butuh pekerjaan ini. Dia butuh uang.

“Kamar kamu ada di sebelah kamar Azka dan Aksa, Zia,” ucap Oma Ririn memecah lamunannya.

“Eh… iya, Oma,” sahut Zia gugup. Tatapan kakak beradik itu terasa seperti sinar laser yang akan membakar kulitnya.

“Bibi, tolong antar Zia ke kamarnya,” lanjut Oma.

“Baik, Nyonya. Mari, Neng,” ucap bibi dengan sopan.

“Eh, iya, Bi.” Zia buru-buru mengikuti bibi sambil menghindari tatapan tajam dua pria di ruangan itu.

---

Zia membuka pintu kamar yang akan ia tempati. Matanya melebar tak percaya melihat interiornya. Kamar itu luas, bersih, dan terang, dengan desain elegan yang membuatnya terasa seperti kamar tamu VIP, bukan kamar asisten rumah tangga.

“Wah… luas banget,” gumam Zia kagum sambil berjalan mengelilingi ruangan.

Ia mulai memasukkan pakaiannya ke dalam lemari, namun matanya membelalak saat melihat beberapa pakaian yang pas dengan ukuran tubuhnya sudah tergantung rapi di sana.

“Pasti Oma yang nyiapin ini…” ucap Zia pelan, senyum haru merekah di bibirnya. “Aku nggak nyangka… ternyata masih ada yang peduli sama aku.”

Namun karena waktu masih pagi, Zia memutuskan untuk segera keluar dari kamar. Saat ia membuka pintu—

Brak!

Seseorang menariknya keras. Ia tersentak, tubuhnya tertarik kasar hingga rasa sakit menjalar dari lengannya.

“Akhhh! Lepas…!” rintih Zia, meringis kesakitan. Salah satu lukanya yang belum sembuh ikut tertarik.

Namun orang itu tak menggubris. Aksa menyeretnya menuju taman belakang mansion.

“Lo pasti mohon-mohon sama Oma buat kerja di sini, ya? Ngurusin kita? Lo pikir bisa dapetin keuntungan dengan pura-pura baik?” tuduh Aksa tajam.

“Aku gak ngelakuin itu,” jawab Zia lirih, menahan sakit.

“Lo tuh gadis miskin. Gak pantes tinggal di mansion semewah ini,” ucap Aksa dingin, penuh ketus.

Zia menggigit bibir. Tangannya terkepal, matanya menatap tajam namun tak berkata apa-apa. Ia ingin melawan, tapi ia juga tak mau kehilangan pekerjaannya.

“Jawab dong! Lo punya mulut, kan?!” bentak Aksa, mengguncang lengan Zia dengan lebih keras.

Tiba-tiba—

Tetes…

Darah merembes dari balutan luka di tangan Zia. Aksa dan Zia sama-sama terkejut.

“Eh… ini kenapa?” tanya Aksa dengan nada berubah, kini terdengar panik.

“Gak apa-apa…” Zia berusaha menarik tangannya.

“Gue udah nanya baik-baik… lo malah…” Aksa terlihat bingung, ekspresinya berubah dari marah jadi bersalah.

Zia kembali terdiam, menahan perih. Aksa yang melihatnya begitu justru merasa makin bersalah. Ia menarik Zia lebih pelan dan mendudukkannya di bangku taman.

Tak lama, seorang pembantu datang membawa kotak P3K. Ia tampak terkejut melihat darah di tangan Zia, namun tak berkata apa-apa dan segera pergi setelah menyerahkan kotak itu.

“Sini, gue obatin…” ucap Aksa pelan.

Zia menatapnya sekilas, tak menjawab.

“Lo… kenapa bisa luka begini?” tanya Aksa sambil mulai membuka perban yang basah darah.

Zia menahan napas. “Kemarin aku bantuin Oma kamu… Waktu dia dikeroyok tiga preman.”

“Apa?!” Aksa sontak kaget.

Zia melanjutkan, “Aku pukul mereka satu-satu pake balok kayu… tapi pas aku lagi periksa keadaan Oma, salah satu dari mereka nusuk aku…”

Aksa menatap luka itu dengan wajah muram. Untuk pertama kalinya, ia merasa kecil. “Maaf ya… luka Lo jadi makin parah gara-gara gue narik tadi…”

Zia hanya tersenyum kecil. “Gak apa-apa.”

Dia bangkit perlahan dari kursinya.

“Makasih ya, udah mau obatin aku…” ucap Zia dengan senyum manis yang tulus.

Aksa diam. Dadanya terasa aneh. Baru kali ini ia dibuat bungkam oleh seorang gadis.

“…Sama-sama,” gumam Aksa, masih menatap Zia yang berjalan menjauh.

---

Sementara itu, dari lantai atas mansion, seseorang memperhatikan adegan itu dari balik jendela dengan wajah datar.

“Jadi dia yang nyelamatin Oma…” gumam Azka.

Ia bersandar ke kusen jendela, bibirnya membentuk senyuman tipis.

“Gadis pemberani…” bisiknya pelan.

_____

Siang itu, suasana di ruang tamu mansion Oma Ririn cukup tenang. Di sofa panjang, Azka dan Aksa duduk santai di kursi masing-masing, wajah mereka sama-sama datar tanpa ekspresi. Sementara itu, Zia berdiri di samping Oma Ririn, masih belum terbiasa dengan kemewahan rumah itu.

"Ayo makan," ucap Oma Ririn sambil tersenyum lembut.

Zia dengan sigap mengambilkan lauk pauk untuk Oma Ririn terlebih dahulu. Tangannya cekatan, namun ketika matanya melirik ke arah dua pria yang masih duduk diam, ada keraguan yang muncul.

Haruskah aku ambilin juga? Tapi gimana kalau mereka nolak? batin Zia, mulai gelisah.

"Ambilkan makanan untuk mereka juga, Zia," bisik Oma pelan, tapi cukup tegas.

"Iya, Oma," ucap Zia pelan.

Dengan langkah hati-hati, Zia berjalan mendekati Aksa dan Azka. Ia mengambil dua piring kosong dari hadapan mereka yang masih tak bersuara. Satu demi satu, ia mulai menyendokkan nasi ke atas piring mereka, lalu menambahkan lauk secukupnya.

"Nasinya jangan banyak-banyak. Ntar gue gemuk," celetuk Aksa ketus, matanya menatap malas ke arah Zia.

"Iya," jawab Zia tetap sabar, tak menunjukkan kekesalan sedikit pun.

Azka hanya diam, pandangannya kosong, namun ia tak menolak makanan yang disajikan Zia. Ia mulai menyantapnya perlahan.

Saat Zia hendak mengambilkan sayur untuk Aksa, tiba-tiba cowok itu bersuara lagi.

"Gue gak mau sayur," ucapnya singkat.

Zia menurut. Ia hendak mengembalikan sayur itu ke wadah semula, tapi belum sempat bergerak jauh...

"Eh… gue mau deh," ucap Aksa, tiba-tiba berubah pikiran.

Zia nyaris tertawa lelah, tapi hanya tersenyum kecil sambil kembali menyendokkan sayur ke piring Aksa.

"Sabar, Zia… lo pasti bisa hadapi sifat mereka berdua," batin Zia sambil menarik napas panjang.

“Ayo, Zia, kita makan bersama,” ucap Oma Ririn lembut sambil menepuk tangan Zia yang masih berdiri kaku di dekat meja makan.

Belum sempat Zia menjawab, suara ketus memotong suasana hangat itu.

“Kok Oma malah ngajakin gadis miskin ini sih? Nggak cocok tau duduk di kursi mewah kayak gini,” ucap Aksa sambil menyilangkan tangan di dada, pandangannya tajam ke arah Zia.

Zia hanya menunduk dalam diam. Ia sudah mulai terbiasa dengan kata-kata ceplas-ceplos Aksa yang tajam bak pisau. Tapi tetap saja, setiap kata itu menusuk hatinya.

“Aksa!” tegur Oma Ririn tajam. “Kamu nggak boleh bicara seperti itu ke Zia!”

Aksa mengangkat bahu acuh tak acuh. “Maaf, Oma,” ucapnya malas, jelas tidak tulus.

Zia menarik napas pelan, mencoba menelan rasa malu dan getir yang tiba-tiba menyelubungi dadanya.

“Gak papa, Oma. Zia makan di dapur aja, sama yang lain,” ucap Zia lirih sambil menunduk. Ia mencoba tersenyum, meski jelas senyumnya itu getir.

Namun Oma Ririn menggeleng cepat. “Nggak bisa begitu. Kamu duduk di sini, temani Oma. Oma belum pernah makan bareng sama anak perempuan sebelumnya.”

“Tapi…” Zia mencoba menolak halus.

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara berat dan dingin menyelinap tajam ke telinganya.

“Duduk. Dan makan.”

Suara itu milik Azka—datar, tapi terdengar seperti perintah yang tak bisa dibantah.

Zia sontak menoleh. Azka tak menatapnya, tapi gestur tubuh dan nada bicaranya membuat bulu kuduk Zia merinding. Dingin… dan menekan.

Oma Ririn tersenyum tipis, seakan menikmati situasi ini. “Dengar sendiri, kan? Kalau Azka sudah bicara, semua harus nurut,” ucapnya menggoda.

Dengan ragu, Zia akhirnya menarik kursi di sebelah Oma dan duduk perlahan. Jantungnya masih berdetak tak beraturan karena suara Azka yang tadi menghentikan seluruh pikirannya seketika.

Aksa hanya mendengus sebal, sementara Azka tetap tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi di balik ketenangannya, ada satu lirikan cepat ke arah Zia—begitu singkat, namun sarat makna yang belum bisa diurai Zia.

Dan sejak hari itu, segalanya mulai berubah,Tanpa Zia sadari, ia sudah melangkah masuk ke dalam dunia dua pria yang berbeda… tapi sama-sama berbahaya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!