Sebagai pembaca novel akut, Aksa tahu semua tentang alur cerita, kecuali alur ceritanya sendiri. Hidupnya yang biasa hancur saat sebuah buku ungu usang yang ia beli mengungkap rahasia paling berbahaya di dunia (para dewa yang dipuja semua orang adalah palsu).
Pengetahuan itu datang dengan harga darah. Sebuah pembantaian mengerikan menjadi peringatan pertama, dan kini Aksa diburu tanpa henti oleh organisasi rahasia yang menginginkan buku,atau nyawanya. Ia terpaksa masuk ke dalam konspirasi yang jauh lebih besar dari cerita mana pun yang pernah ia baca.
Terjebak dalam plot yang tidak ia pilih, Aksa harus menggunakan wawasannya sebagai pembaca untuk bertahan hidup. Ketika dunia yang ia kenal ternyata fiksi, siapa yang bisa ia percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Equinox_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air Mata Hannah
Kumpulan orang berkumpul dalam satu tempat. Kuil yang tadi malam penuh dengan suasana suram, darah, serta mayat berceceran, kini telah diinvestigasi dan di bersihkan oleh petugas keamanan kekaisaran.
Drak... drak...
Suara beberapa kereta kuda keluar masuk kuil membawa mayat.
Seorang petugas berseragam besi menghampiri ksatria wanita yang hanya memakai seragam putih. “Lapor, Ketua! Ditemukan sekitar 38 mayat yang sudah dievakuasi,” ucap petugas itu. “Dan tidak ditemukan sama sekali artefak yang tersisa di dalam kuil ini.”
Wanita itu memegang beberapa dokumen di tangannya, memeriksa biodata para korban untuk diinvestigasi. “Semuanya! Jangan acuh! Cari petunjuk yang ada!” Tangannya menunjukkan esensi semangat dalam mencari kebenaran. “Cari semua saksi semalam yang ada dalam kejadian ini!”
Para petugas berseragam besi serempak bereaksi terhadap perintah ketuanya dengan bersikap tegap.
“Ya! Dimengerti!”
Wanita itu mulai berkeliling tempat kejadian pembantaian, mencari petunjuk yang ada. 'Siapa pun pelakunya, tak peduli statusnya, harus dihukum,' pikirnya dengan tegas. 'Beraninya membuat kejadian seperti ini di Kekaisaran Shepnia yang terhormat.'
Matanya menyapu reruntuhan kayu dari altar. Di antara reruntuhan kayu itu, ia melihat seutas kain yang tak wajar, seolah sengaja ditutupi untuk disembunyikan. Dengan ujung pedangnya yang tipis, ia menyingkap kain itu. Ia menemukan sebuah artefak yang bisa merekam kejadian, berbentuk kubus panjang dengan ukiran kayu.
'Ini barang bukti!' Ia bergegas masuk ke dalam kereta dan pergi menuju Galeri Artefak Kekaisaran.
“Tak mungkin ini kasus pencurian artefak biasa,” bisiknya di dalam kereta kuda megah itu.
Krak! Krak! Suara kereta kuda yang cepat.
Aksa, yang harusnya masuk kembali ke akademi saat ini, memilih termenung di kamarnya sambil memegang guling. “Kuil Dewa Klinx... apakah yang membantai kuil dewa lain?” ujarnya dalam renungan di pagi hari. “Apa itu ulah dari pengikut Dewa Ordahn, sang dewa waktu dan takdir?”
Ia memasang ekspresi sedih tak karuan dengan mata sembab, seolah menangis semalaman. ”Atau ulah dari pengikut Dewa Tharquel, sang dewa kematian dan penjaga jiwa?”
Pikirannya berlarut dalam mencari pelaku utama pembantaian. Ia teringat dengan tetua yang selalu menasihatinya sedari ia kecil. Sejak kecil, ayahnya meninggalkan keluarganya karena selingkuh. Kondisi ini yang membuat tetua Kuil Dewa Klinx memulai ikatan batin dengan Aksa karena prihatin dengan efek dari kejadian itu, yang hingga membuat Aksa memiliki sifat yang sangat kasar dan nakal dahulu.
Baginya, tetua kuil sudah seperti keluarga yang selalu menasihatinya hingga saat ini ia menjadi orang yang cukup penyabar, menurutnya.
Di tengah ingatan kesedihannya, sepotong ingatan semalam muncul: wajah tetua yang bersimbah darah, yang mencoba untuk berkata dengan suara lirih, tapi tak kunjung berkata karena ajal dahulu yang menjemputnya. 'Apakah ada yang ia lewatkan? Sebuah petunjuk?'
'Tak ada gunanya terus berlarut dalam kesedihan. Mungkin aku harus kembali menuju kuil,' pikirnya.
Ia bangun dari kasurnya dan mengenakan pakaian kasual untuk pergi. Saat ia sampai di ruang keluarga, ibunya melihat Aksa yang tidak pergi ke akademi dan menanyainya, ”Aksa, mau ke mana kamu? Bukannya harus pergi ke akademi?” Badannya mencegah Aksa di depan pintu keluar.
Aksa hanya melihat ibunya dengan mata sayu dan nada lirih. Ia mencoba menjelaskan kejadian semalam yang ia alami.
Ibunya mendengar dan menyimak perlahan setiap kalimat yang dikeluarkan oleh Aksa dengan penjelasan yang rinci. “Jadi, Bu, aku ingin ke kuil sebentar untuk mengecek kembali,” ucapnya.
Ibunya tak kuasa menahan tubuhnya. Lututnya jatuh berlutut ke lantai, tangannya menutupi mulutnya. “Tak mungkin...,” sebuah tangisan berasal dari mata ibunya.
Tidak hanya dengan Aksa menjalin ikatan batin,akan tetapi tetua kuil Klinx juga sering membantu keuangan keluarga Aksa
Tentu ini membuat ibunya menangis sejadi-jadinya.
Aksa mencoba merangkul ibunya dan mendudukkannya di salah satu kursi makan. Ia mencoba pamit kepada ibunya, tapi ibunya sendiri masih dalam kondisi yang sedih.
Ia mencoba mengabaikannya dan fokus pada tujuannya, pergi membuka pintu dan keluar menuju kuil.
Sesampainya di sana, ia melihat beberapa petugas keamanan kekaisaran yang memakai seragam besi. Beberapa menegurnya agar tidak masuk ke dalam karena sedang ada tindak lanjut investigasi. “Nak, kau tidak boleh memasuki area ini,” ucap salah satu penjaga keamanan sambil menghalangi dengan tombaknya.
Aksa tak membalas larangan sang penjaga keamanan itu. 'Huh? Ini semakin serius,' pikirnya. Ia mengurungkan niatnya untuk mendapatkan kembali petunjuk dari kuil itu.
'Sudah kuduga ini pasti tidak sesederhana itu.'
.
.
Bisik-bisik antar siswa terdengar di dalam kelas. Dalam suasana itu, seorang guru pirang yang memakai kacamata mengakhiri pelajaran. “Semuanya, untuk tugas minggu depan, saya harap kalian mengumpulkannya tepat waktu,” ucapnya, perlahan merapikan buku dan meninggalkan ruangan kelas.
“Brian,” sapa Auriel mendekatinya.
Ia yang baru selesai merapikan buku-buku pelajarannya menoleh. ”Oh, hei. Kenapa, Auriel?” tanyanya dengan nada lembut.
Mata gadis itu melihat sekeliling kelas, mencari pria berambut hitam, tapi tak ada orang yang ia cari sama sekali di tempat itu. “Aksa mana?”
“Entahlah, aku pun mencarinya. Kutebak ia sekarang menjadi gila karena buku itu,” ucapnya dengan gelak tawa. “Hahaha.”
“Yah, yang pasti aku akan ke rumahnya untuk bertanya. Apa kau mau ikut, Auriel?” ajak Brian.
Gadis itu melipat tangannya di antara kedua dadanya. 'Huh, untuk apa aku ke sana, lagian?' pikirnya.
Dengan tegas, ia menolak mentah-mentah ajakan Brian dan pergi meninggalkannya. Namun, langkahnya tidak secepat biasanya. Terdapat kerutan di wajahnya yang tidak dilihat oleh Brian.
Brian, yang sudah biasa dengan sikap Auriel terhadap dirinya, mengacuhkan hal tersebut dan mulai pergi meninggalkan kelas itu.
Saat ia berada tepat di depan pintu rumah Aksa, ia ragu sejenak, lantaran hari sudah menjelang malam, tapi tak ada artefak lampu yang menyala sama sekali.
Tok... tok...
Ketukan tangan Brian terdengar pelan dan nyaring.
“Aksa... keluar kau,” tegasnya sambil merangkul tas kecil di pundaknya.
Beberapa saat tidak ada respons sama sekali dari rumah tersebut hingga seseorang membuka pintu itu.
Pandangan Brian yang tertuju pada pintu itu berharap Aksa yang membukanya. Alih-alih seorang pria berambut hitam, yang membuka membuka pintu didepannya, terdapar seorang gadis kecil berambut perak yang menyapanya.
“Halo, Kak Brian,” sapanya.
Pandangan matanya yang tadi sejajar dengan tubuhnya sekarang menurun ke bawah, sejajar dengan lututnya. ”Oh, hey, Hannah, lama tidak bertemu. Apakah Aksa ada di rumah?” tanya Brian.
“Tidak ada, Kak, sedari pagi hari.”
Brian yang masih berdiri di depan pintu masuk tertegun dan berpikir. 'Ke mana perginya anak itu?' pikirnya.
“Baiklah, Hannah, aku pulang saja jika tak ada Aksa,” ucapnya melangkah menjauh.
Gadis kecil yang memegang boneka di tangan kanannya mencoba memanggil Brian sebelum ia melangkah terlalu jauh. “Kak Brian!” teriaknya.
Lelaki pirang itu menoleh ke arah sumber suara. “Ada apa, Hannah?” tanyanya, mendekati Hannah kembali.
Mata gadis itu berkaca-kaca, perlahan mengeluarkan air mata, dan tangan kanannya yang memegang boneka lalu mengusap air matanya. “Hiks... Kakak dan Ibu sedari pagi bertingkah aneh.” Isak tangis menjalar menuju telinga pria pirang itu.
“Kamu kenapa, Hannah?” tanyanya. ”Bertingkah aneh bagaimana?” Ia mencoba menenangkan Hannah yang menangis dengan memegangi pundaknya dan mencoba mengusap air mata Hannah.
“Mereka tidak tertawa sedikit pun dari tadi pagi hingga sekarang,” ujarnya. “Dan Ibu baru tertidur setelah selesai menangis dengan mata bengkak... hiks.” Ingus mengalir keluar dari hidung Hannah.
“Tenang, Hannah. Aku akan mencari Aksa terlebih dahulu.” Tangannya mengeluarkan sapu tangan dari saku seragam akademi untuk membersihkan ingus Hannah. “Untuk sekarang, Hannah hanya cukup dekat dengan Ibu saja. Biar aku yang mencari kakakmu.”
“Emm...,” gadis itu mengangguk setuju karena bantuan dari Brian, dan ia pergi ke dalam sembari menutup pintu dengan pelan-pelan.
Brian terdiam di depan pintu yang baru tertutup. Sejenak, ia menerka adegan dari mana ini semua terjadi. 'Semenjak buku usang itu ada, Aksa mulai bertindak aneh,' pikirnya. 'Hingga membuat Hannah dan ibunya seperti ini. Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Aksa?'
Langkah kakinya menjejak tanah. Pria berambut pirang itu pergi mencari Aksa.