Dewangga tidak menyangka, perselingkuhan yang akan dia akhiri justru telah terendus oleh sang istri, Maira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Betti Cahaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Apa Ini?
Aku tidak tahan dengan sikap Maira yang diam, harus bagaimana membuatnya kembali menuntut penjelasanku?
***
Kubuatkan kopi kesukaan Maira, entah kenapa Maira selalu lari pada kopi setiap hatinya sedang tidak baik-baik saja. Aku hanya berharap dia akan senang, mengingat sedari tadi pizza dan buket bunga sama sekali tidak dilirik olehnya.
Maira sedang sibuk mencuci piring, aku tadi tidak sempat melalukannya karena sudah sangat capek. Mairaku yang aneh, kebiasaannya adalah mencuci piring dengan sabun colek, pernah suatu ketika bik Tuti membeli sabun cair Maira langsung protes karena tidak suka dengan aromanya.
"Mah ... papah bikinin kopi kesukaan Mamah, nih," ucapku padanya. Masih diam. Sabar.
"Sini biar papah yang bilasin, Mamah istirahat aja, tadi papah mau nyuciin tapi lupa," ucapku berinisiatif.
Hanya suara piring dan kucuran air yang menjawab kalimatku. Kutarik nafas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Sabar.
"Papah taruh di atas meja ya, Mah, ada pizza juga, papah perhatiin Mamah belum makan," ucapku menyerah dan kembali bersama Luna dan Lintang serta menjaga Guntur yang lelap di kasurnya.
Aku mencoba mencari informasi dari Luna, dia sudah mulai mengerti dan mengingat keadaan. Aku harap bisa mendapat pencerahan dari jawabannya.
"Lun ... mamah kecapekan, yah?" tanyaku perlahan.
"Iya," jawab Luna.
"Mamah capek sampe nangis-nangis, kasian deh, Pah, gara-gara bik Tuti libur kayaknya," lanjut Luna, anakku yang mulai pintar.
"Mamah nangis?" tanyaku lagi.
"Iya, Luna tanya katanya capek, jadi Luna bantuin mamah jagain dedek Lintang, Luna pinter nggak ganggu-ganggu mamah," ucap Luna lagi.
"Hem ... pinter anak papah, udah bisa jagain dedeknya. Ehm ... cerita dong sama papah pas kemarin Luna sama Lintang nyusulin papah," pintaku mencoba mengorek lagi.
"Oh ... kemarin, Lintang nggak sengaja numpahin susu di karpet, terus mamah marah sampai mukul Lintang, Lintang nangis kesakitan, jadi mamah ngajak kita jalan-jalan naik ojek mobil biar Lintang nggak nangis lagi," tutur Luna membuatku terkejut, Maira paling anti menggunakan kekerasan dalam mendidik anak, cuma gara-gara susu yang tumpah Maira memukul Lintang?
"Pah di sana ada rame-rame apa sih kemarin? Luna nanya mamah malah nggak dijawab," lanjut Luna.
Maira? Dia mengarang banyak cerita untuk membawa anak-anak tanpa menjatuhkanku.
"Ehm ... oh itu acara temennya mamah, Lun," jawabku asal, Luna pun kembali menonton acara tivi favoritnya.
Maira? Banyak sekali perubahan yang terjadi padanya. Apa ini karenaku?
Aku salah karena telah egois di hubungan ini, aku kecewa karena Maira tidak lagi perhatian padaku, tidak lagi melayaniku sebaik dulu. Aku tidak berpikir bahwa sebenarnya Maira pun tidak sempat memperhatikan dirinya sendiri. Aku salah, dan dari titik ini akan kumulai perubahan yang kuharap bisa meluluhkan hati Maira.
Kudekati Maira hendak mengajaknya makan di luar, biar Maira tidak perlu memasak makan malam.
"Ayuk, Mah, biar papah siapin Luna sama Lintang, yah," ucapku terus berusaha mengambil hati Maira.
Namun belum sempat Maira menjawab terdengar suara bel di pintu depan. Ternyata Maira sudah memasak makanan online sejak tadi. Bahkan tanpa satu pun kalimat dari bibirnya, Maira bisa membuatku merasa tertolak mentah-mentah.
Aku kecewa, sangat kecewa, kuambil rokok dan berjalan kesal menuju teras. Aku harus menyingkir terlebih dahulu untung mengisi ulang kesabaranku.
Diamnya Maira membuatku buntu, keacuhannya membuatku merasa tidak berguna. Kugaruk kasar rambutku meskipun tidak gatal, aku menggerutu kesal, kenapa Maira tidak marah-marah saja?
Tapi aku tidak bisa menyerah, aku tidak bisa kehilangan Maira. Meskipun kebuntuan ini membuatku kesal tapi aku menyadari satu hal, bahwa Maira terluka sangat dalam. Dan harga maaf darinya bukan sesuatu yang murah apalagi mudah.
Maira makan malam tanpa mengajakku, aku sengaja masuk kamar dan menyibukan diri dengan pekerjaan yang kubawa pulang. Sebenarnya aku berharap Maira memanggilku makan seperti biasa. Sehari menjalani hidup seperti orang asing dengan Maira, sudah membuatku tidak tahan.
Maira masuk ke kamar hendak menidurkan Guntur, dia tidak menghindariku dan tidak pula menghiraukanku. Maira bersikap seolah aku tidak ada. Membuatku dadaku semakin penuh dengan rasa penasaran.
Dia menyanyi kecil untuk Guntur sambil menyusuinya, membelainya dengan sayang. Berbeda sekali dengan Maira yang kutemui tadi siang. Menakutkan dan membuatku khawatir, aku tidak bisa meninggalkan anak-anak dengan Maira yang seperti ini lagi. Dengan sabar kutunggu Guntur lelap.
"Mah ... ayo bicara!" ucapku pelan saat melihat Guntur sudah pulas.
Maira diam, apakah telinganya bermasalah? Apa aku harus mengajaknya ke dokter THT?
"Mah?" ucapku seraya memberanikan diri meraih tangan Maira dan menggenggamnya.
"Ayo cerai!" tutur Maira, kata yang sama dengan malam kemarin. Dia menarik kasar tangannya.
"Mah! Ayo bicara, dengerin dulu penjelasan papah, papah udah berubah, hubungan papah sama cewek itu udah selesai, papah minta maaf, Mah! Jangan minta pisah, papah mohon!" pintaku dengan hati yang tulus.
Maira kembali diam, namun wajahnya tidak lagi datar. Wajahnya memerah menahan marah.
Marahlah Maira!
Marahi aku!
"Papah salah! Papah emang bodoh udah nyakitin Mamah terus! Tapi papah akan ngelakuin apa pun asal Mamah mau maafin papah." Kembali kuberanikan diri meraih tangan Maira, namun Maira dengan cepat menghindar.
"Jangan diem terus, Mah! Ayo omongin masalah ini, papah nggak mau Mamah kaya gini terus, apalagi melamun kayak tadi sampai Guntur nangis Mamah nggak denger, Luna sama Lintang nggak keurus."
"Pukul papah yang keras kalo itu bikin Mamah lega, jangan kaya gini, Mah, please!" Aku terus membujuk Maira.
"Nggak guna!" ucap Maira. Pelit sekali kata yang keluar dari mulutnya. Aku kesal dan kehilangan akal.
"Apa pun yang Mamah mau papah turutin, asal bukan pisah."
"Lihat, Mah! Guntur masih merah apa pantas Mamah tetep egois dan minta pisah gitu aja?"
Aku berusaha menjadikan Guntur sebagai alasan agar Maira memaafkanku, tapi Maira justru terlihat sangat marah. Tangannya mencengkram erat bajunya sendiri, bibirnya bergetar namun tidak sekata pun keluar darinya. Detik berikutnya Maira memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Berhenti saling menyakiti, kita sama-sama nggak bahagia, ayo pisah!" ucapnya meski sedikit panjang tapi isinya masih sama menyakitkan.
"Mah! Tolong jangan keras kepala, pikirin anak-anak!" seruku.
Perlahan Maira melihatku, kemudian mata kami bertemu, aku yakin Maira butuh banyak waktu kali ini.
Maira menggeleng pelan, "Ayo pisah!"
Hatiku menciut, rasa takut kehilangan Maira tiba-tiba membesar dan semakin besar hingga otakku hampir meledak. Dadaku tiba-tiba sesak, susah bernafas dan hampir lupa caranya memasukan udara lewat hidung.
Rasa apa ini? Perasaan aneh yang menyiksa? Sakit yang tidak jelas ujung pangkalnya.
Melihat kalimat dari bibir Maira disertai dengan kesungguhan di matanya. Mimpi buruk, ini mimpi buruk yang bahkan tidak pernah terlintas di pikiranku.
.
.
.
.
.
.
.
.
jawab jujur hai dewa, Bila itu dilakukan May.,apa kamu yakin bisa memberikan kesempatan pada May utk menebus "berkali2" itu ?? Saya rasa ego lelakimu tidak mungkin sebaik itu. 😏