Shinamura Haruki, seorang siswa SMA kelas dua berusia 16 tahun, baru saja mengalami patah hati terburuk. Empat bulan lalu, cintanya ditolak saat malam Natal. Dalam kesedihan, ia memutuskan untuk membeli kopi sebelum pulang, tapi takdir berkata lain. Ia malah ditabrak oleh Aozora Rin, gadis teman satu sekolahnya. Bagaimana pertemuan tak terduga ini akan mengubah kisah cinta mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdulpro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benih Musim Semi
Setiap musim semi, dunia seolah bangun dari tidurnya. Bunga-bunga bermekaran dengan keindahan yang tak terlukiskan, setiap kelopaknya seakan menyimpan rahasia kebahagiaan. Angin sepoi-sepoi yang menerpa membuatnya menari, menebarkan wangi yang mengundang senyum. Di sebuah kursi taman sekolah yang teduh, Hana, Aika, dan Rin sedang asyik berbincang.
Tiba-tiba, mata Hana berbinar. Ia meraih tangan Rin dan Aika, mencengkeramnya dengan semangat yang menular.
“Aku punya ide!” serunya, suaranya dipenuhi kegembiraan.
“Bagaimana kalau minggu depan kita pergi ke festival bunga?”
Aika tersenyum tipis, kenangan masa kecilnya bersama sang ayah di taman kota terlintas di benaknya.
“Oh, festival yang di taman kota itu, ya?” sahutnya.
“Tepat sekali!” jawab Hana, tatapannya penuh ambisi. “Sekalian, aku mau beli beberapa bibit bunga untuk dijual.”
Rin, yang biasanya kalem, ikut terhanyut dalam semangat Hana. Matanya berbinar. “Boleh juga idemu! Aku ikut!” serunya.
Mereka tak sabar menunggu hari yang dijanjikan. Dalam bayangan mereka, sudah terhampar lautan bunga yang berwarna-warni, aroma manis yang menguar di udara, dan tawa mereka yang bergema saat memotret dan merangkai bunga.
Hari-hari berlalu. Akhirnya, pagi yang cerah itu tiba. Ketiganya bertemu di rumah Aika yang tidak jauh dari jalan raya.
“Ayo kita berangkat!” seru mereka serentak, melompat-lompat kegirangan seperti anak-anak.
Mereka naik bus, perjalanan selama satu jam terasa begitu singkat. Pemandangan di luar jendela—pepohonan rindang, hamparan sawah hijau, dan sungai yang berkelok—menemani obrolan mereka tentang bunga-bunga impian.
Saat bus berhenti, aroma semerbak bunga langsung menyambut mereka, seakan mengundang mereka untuk segera masuk. Dari gerbang, pemandangan itu sudah memanjakan mata. Lautan warna dan wangi yang memabukkan memenuhi udara.
“Kira-kira ke mana dulu, ya?” tanya Aika, matanya menjelajahi taman yang luas.
Hana tak bisa menahan diri. Ia menarik tangan Aika dan Rin, berteriak riang,
“Kita lihat bunga matahari itu dulu, yuk!”
Di taman bunga matahari, cahaya mentari seolah memantul dari setiap kelopak kuning cerah, membuatnya tampak berkilau. Hana dengan lembut menyentuh, mengusap, dan mencium kelopak-kelopak itu, seakan menyapa setiap bunga secara pribadi.
“Wah, indah banget!” Rin memegang satu bunga dengan kedua tangannya, senyumnya tulus.
“Hana, tolong fotokan aku, dong!” pinta Aika, berpose dengan dua jari dan mendekatkan bunga ke pipinya.
“Coba lihat, aku penasaran!” Aika mendekat, mengamati hasil foto di ponsel Hana.
“Aku juga!” Rin memohon, mata lebarnya meminta-minta.
“Iya, iya, nanti kita foto bareng, ya!” balas Hana sambil tertawa.
Setelah Hana memotret Rin dan Aika, mereka meminta bantuan seorang pengunjung untuk mengambil foto bertiga. Berbagai pose lucu mereka lakukan dengan latar belakang lautan bunga yang indah, menciptakan kenangan yang tak akan terlupakan.
“Yuk, kita lihat bunga yang lain lagi!” ajak mereka.
Ketiganya bergandengan tangan, menelusuri setiap sudut taman, memastikan tak ada satu pun bunga yang terlewat.
Saat melewati taman mawar, Rin bertanya, "Hana, kok warna mawar bisa beda-beda, ya?"
Hana, dengan gaya sok tahu, menjawab, "Itu karena setiap warna punya artinya sendiri. Ada yang melambangkan cinta, kelembutan, kebahagiaan, dan persahabatan!"
Rin mengangguk polos, memercayai sepenuhnya. Aika yang mendengar itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil menepuk dahinya.
“Singkatnya,” Aika memotong.
“Perbedaan warna bunga disebabkan oleh pigmen seperti antosianin dan karotenoid. Juga, dipengaruhi faktor genetik, pH sel, dan lingkungan.”
Rin melongo. “Wah, ternyata banyak, ya, penyebabnya!” serunya. Hana dan Aika hanya bisa tertawa kecil melihat betapa polos dan antusiasnya Rin.
Setelah puas berfoto, mereka memutuskan untuk istirahat. Hari sudah siang, dan rasa lapar mulai datang. Mereka duduk di bangku taman sambil menikmati es kepal cokelat. Sensasi dinginnya di tengah teriknya matahari terasa sangat nikmat. Sambil menyantap es, mereka melihat kembali foto-foto yang sudah diambil, mengenang setiap momen kebahagiaan.
“Hana, kirim fotonya, dong,” pinta Rin.
“Aku juga,” tambah Aika.
Hana mengirimkan puluhan foto, membuat penyimpanan ponselnya berkurang drastis.
“Aika, aku titip foto ke kamu, ya. Penyimpanan ponselku hampir habis,” kata Hana, menunjukkan sisa memori di ponselnya.
“Tenang saja, aku akan simpan semuanya di Drive,” jawab Aika santai.
Rin teringat Haruki, Ia ingin sekali mengirim beberapa foto. "Nanti malam saja, ah. Kasihan, dia pasti lagi sibuk," batin Rin.
Waktu terus berjalan. Angin sore mulai bertiup, membawa aroma bunga yang bercampur dengan kehangatan senja.
“Oh, iya, hampir lupa!” seru Hana, tiba-tiba. “Aku mau beli benih dan bibit bunga dulu. Kalian tunggu di sini saja.”
Hana berjalan menuju toko bunga dan bibit. Ia membeli dalam jumlah banyak, membuatnya kesulitan membawa kardus-kardus berat itu. Ia menarik napas dalam, mencoba mengangkatnya sekuat tenaga, tetapi tidak berhasil.
Tiba-tiba, sebuah suara familiar menyapanya.
“Hai, Hana. Sini, aku bantu bawakan.”
Hana mendongak dan terkejut. Itu Naomi.
Wajahnya langsung memerah, ia menunduk sambil memainkan ujung jarinya.
“Terima kasih… aku… aku merasa tertolong sekali.”
Naomi mengambil alih semua kardus dengan mudah. Hana merasa tidak enak, ia mengambil kantong plastik berisi benih.
“Naomi, biar aku bawa yang ini,” ucapnya. Mereka berjalan beriringan, dalam suasana canggung namun terasa serasi.
“Ngomong-ngomong, kamu datang ke sini sama siapa?” tanya Hana, mencoba memecah keheningan.
“Aku cuma menemani ibuku liburan,” jawab Naomi.
Naomi lalu bertanya balik padanya
“Kamu sendirian?”
“Enggak, kok. Aku sama teman-teman. Kebetulan aku belanja dulu, jadi aku suruh mereka tunggu,” jawab Hana sambil tersenyum hangat. Ia merasa nyaman mengobrol dengan Naomi.
“Kamu beli bunga sebanyak ini buat apa?” tanya Naomi, memandangi bibit-bibit itu.
“Mau dijual. Ibuku jualan bunga di desa,” jawab Hana.
Naomi mengangguk. “Kalau benih ini, kamu tanam sendiri?”
“Iya, aku tanam sendiri. Nanti kalau sudah jadi bibit, bisa aku jual ke teman-temanku,” jelas Hana dengan ceria.
“Oh, ya, kita kan belum terlalu kenal,” ujar Naomi, suaranya sedikit ragu.
“Bagaimana kalau kita tukaran nomor telepon biar lebih akrab?”
Mendengar ajakan dari cowok yang ia kagumi, Hana langsung mengambil ponselnya. Jantungnya berdebar kencang.
“I-ini nomor teleponku,” ujarnya, suaranya sedikit bergetar. Dalam hati, Hana bersorak gembira. Perjalanan singkat namun berharga itu akhirnya berakhir saat mereka sampai di tempat Rin dan Aika menunggu.
Aika menyenggol Rin, berbisik jail. “Wah, Hana enggak cuma bawa bibit bunga, tapi juga bibit gebetan, xixixi.”
Rin berbalik, membalas bisikan Aika. “Iya, ya, mereka terlihat serasi banget. Semoga beneran terjadi, hehe.”
Hana melihat tingkah aneh kedua temannya, lalu Naomi melambaikan tangan.
“Itu mereka! Hai, Rin, Aika,” seru Hana sambil menghampiri.
“Akhirnya sampai juga. Terima kasih, ya, Naomi, sudah menolongku,” kata Hana. Ia mengambil satu bibit bunga dari kardus dan memberikannya kepada Naomi.
“Kalau tidak keberatan, ini hadiah dariku sebagai ucapan terima kasih.” Hana mengalihkan pandangan karena malu.
Naomi yang bingung hanya bisa menerima bibit bunga itu.
“Mungkin ini cuma bibit,” tambah Hana, suaranya tulus.
“Tapi kalau kamu rawat dengan baik, bibit ini bisa jadi tanaman bunga yang indah.”
Naomi menatap wajah Hana, lalu tersenyum.
“Baiklah, aku terima. Aku janji akan merawatnya sampai tumbuh cantik… sama sepertimu.”
Seketika, Hana, Rin, dan Aika terkejut. Pipi Hana langsung memerah, ia salah tingkah, menoleh ke kanan dan kiri, lalu menggigit bibirnya pelan.
“Kalau begitu, aku kembali dulu, ya. Sampai jumpa!” Naomi berlari ke arah ibunya sambil melambaikan tangan.
Hana berbalik, menatap Rin dan Aika yang sudah menahan tawa. “Kalian ini kenapa, sih? Jangan begitu, dong! Aku jadi malu,” katanya sambil menutupi wajahnya.
“Waduh, baru ditinggal sebentar aja sudah dapat gebetan,” goda Rin.
“Pasti udah nikah, tuh, dia, hahaha,” tawa Aika.
“HEI, KALIAN INI, YA! Sudah, ayo kita pulang!” seru Hana, memasang raut wajah kesal dengan pipi yang merona.
Mereka berjalan ke halte bus sambil mengemil kuaci. Langit senja menjadi saksi bisu benih-benih cinta Hana. Momen singkat namun berkesan itu menciptakan suasana hangat yang tak terlupakan.
Malam pun tiba. Bintang-bintang menghiasi langit, dan cahaya bulan menerangi bumi. Rin mengirim beberapa foto dari festival tadi kepada Haruki.
(Foto)
Rin: Tadi aku, Aika, dan Hana pergi ke festival bunga 🌸
Notifikasi ponsel Haruki berbunyi. Ia segera melihat foto-foto itu dan tersenyum.
Haruki: Wah, indah sekali, pasti seru, ya? 😍
Rin: Iya, nih. Tadi Hana sempat dekat sama Naomi, lho. Mereka serasi banget.
Haruki tersenyum, membayangkan mereka berdua.
Rin: BTW, proyek kamu gimana? Udah jadi belum?
Haruki: Belum nih, mungkin dua hari lagi. Cuma tinggal pasang cover-nya aja, sisanya aman.
Rin merasa senang proyek Haruki hampir selesai. Ia mengirim pesan penyemangat.
Rin: Semangat, ya, Haruki. Aku menunggumu! 💕
Seperti biasa, balasan Rin membuat Haruki salah tingkah.
"Wah, kalau begini terus enggak adil! Aku harus balas!" gumam Haruki.
Haruki: Iya, sayang 😘🥰
Melihat balasan itu, Rin langsung menutupi wajahnya dengan bantal, menendang-nendang kasur, dan berteriak kegirangan.
“Rin! Jangan teriak-teriak begitu, sudah malam!” seru ibu Rin.
“Maaf, Bu!” balas Rin.
Terkadang, hal-hal kecil seperti ini membuat mereka saling terhubung dan memberi kebahagiaan. Keduanya tidur dengan senyum yang membekas di wajah. Esoknya, mereka kembali bersekolah, tetapi suasana terasa sedikit berbeda. Hari itu terasa seperti benih-benih cinta yang mulai tumbuh di antara mereka.
(Bersambung…..)