Aruna hanyalah perawat psikologi biasa—ceroboh, penuh akal, dan tak jarang jadi sasaran omelan dokter senior. Tapi di balik semua kekurangannya, ada satu hal yang membuatnya berbeda: keberaniannya mengambil jalan tak biasa demi pasien-pasiennya.
Sampai suatu hari, nekatnya hampir membuat ia kehilangan pekerjaan.
Di tengah kekacauan itu, hanya Dirga yang tetap bertahan di sisinya. Sahabat sekaligus pria yang akhirnya menjadi suaminya—bukan karena cinta, melainkan karena teror orang tua mereka yang tak henti menjodohkan. Sebuah pernikahan dengan perjanjian pun terjadi.
Namun, tinggal serumah sebagai pasangan sah tidak pernah semudah yang mereka bayangkan. Dari sahabat, rekan kerja, hingga suami istri—pertengkaran, tawa, dan luka perlahan menguji batas hati mereka.
Benarkah cinta bisa tumbuh dari persahabatan… atau justru hancur di balik seragam putih yang mereka kenakan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5.Agoraphobia Ringan
Pagi itu, Aruna dan Dirga berjalan beriringan menuju rumah sakit. Langkah keduanya mantap, ritme yang seolah sudah terpatri sejak lama. Bagi rekan-rekan mereka, pemandangan ini bukanlah hal baru—semua tahu, pasangan itu hampir tak pernah datang sendiri-sendiri.
Dirga tampil rapi dengan kemeja dongker dan celana hitam yang dibalut jas dokter, menambah kesan wibawa sekaligus ketampanannya. Sementara Aruna, dengan setelan rok mini dan blazer pink senada, tampak anggun dan cerah. Warna lembut itu berpadu sempurna dengan kulit putihnya, membuatnya terlihat segar sekaligus profesional.
Berjalan berdampingan, keduanya memancarkan keserasian yang sulit untuk tidak diperhatikan.
Begitu masuk lobi, suara tawa manja langsung terdengar. Maya sudah berdiri dengan Raka, si dokter bedah muda yang terkenal bucin akut.
...Maya dan Raka❤...
“Aduh, Sayang, senyum kamu pagi ini nggak simetris,” ucap Raka dengan wajah serius, seolah sedang menilai hasil operasi.
Maya langsung memegang pipinya panik. “Ih, apaan sih, Baby?!”
“Kurang simetris untuk senyuman manis yang cuma boleh aku lihat. Karena kamu milik aku,” balas Raka, mencubit pipi Maya gemas.
Aruna menahan tawa sambil melirik Dirga. “Lo liat? Tiap pagi selalu ada drama.”
Dirga menjawab datar, “Kadang gue mikir, rumah sakit ini bukan tempat kerja. Lebih kayak lokasi syuting sinetron mereka berdua. Bucin mampus.”
Tak lama, Bima muncul bersama Nadya. Dokter anak itu dengan senyum hangat khasnya, sementara Nadya sibuk menatap layar ponsel.
...Nadya Dan Bima🏃♂️❤...
“Nad, nanti siang aku kosong. Mau makan bareng?” tanya Bima, sedikit menunduk mencari tatapannya.
“Oh?” Nadya baru mengangkat wajah, tersenyum ramah. “Ajak Maya sama Aruna juga ya, biar rame.”
Bima sempat terdiam sepersekian detik, lalu tertawa kecil. “Hehe… iya, bisa.”
Aruna langsung mengerling ke Dirga, berbisik geli. “Kasihan Bima. Nadya itu katanya paling peka, tapi cowok depan mata aja nggak kebaca.”
Dirga mengangguk ringan. “Mungkin dia harus coba gaya Raka. Overdosis bucin, biar nggak salah tangkap.”
Komentar itu terdengar oleh Maya. “Hei! Kalian jangan iri sama gue sama Raka. Makanya, jadian! Deket mulu, status kagak ada.” Maya mendekat ke Aruna, matanya menyipit jahil. “Lo nggak merasa digantungin, Run?”
Raka menambahkan, merangkul bahu Dirga sok akrab. “Nikahin aja, Bro. Dari SMA, kuliah, sampai kerja bareng. Jangan-jangan udah nikah diam-diam nih.”
Aruna sontak terbatuk-batuk tersedak ludahnya sendiri.
“Ngaco lo, Rak,” potong Dirga ketus sambil melepaskan rangkulannya.
Lift berbunyi ting, pintu terbuka. Mereka semua masuk berdesakan sambil tetap ribut.
“Ada gebrakan baru, nih?” tanya Bima sambil menekan tombol.
“Nggak ada,” sela Maya cepat. “Justru gue nunggu gebrakan lo. Jomblo kok dipelihara.”
Bima mendengus. “Maaf, Nona Bucin, gue nggak minat nambah drama di rumah sakit ini.”
Aruna hampir ngakak, sampai Bima melotot memperingatkan—ia tahu Aruna hafal betul perjuangannya mendekati Nadya.
Raka tak mau kalah. “Eh, kita bukan drama ya. Ini cinta murni. Lo aja nggak ngerti karena jomblo. Iya kan, Sayang?”
Maya mengangguk manja. “Iya, Baby.”
Nadya tersenyum tipis. “Bener juga. Aku sama suami dulu juga bucin kayak mereka.”
Suasana seketika hening. Kata-kata Nadya menampar Bima paling keras—senyumnya padam, sorot matanya meredup seolah ada batu besar menghantam dadanya.
Pintu lift terbuka di lantai psikiater dan kesehat anak. Aruna, Dirga, Maya, dan Nadya melangkah keluar sambil berceloteh. Bima masih diam, tak bergerak.
“Kamu nggak ikut, Bim?” tanya Nadya heran.
Bima tersentak, buru-buru tersenyum kaku. “Eh… aku ke lantai atas dulu. Ada yang mesti diurus.” Ia menekan tombol, menutup pintu lift.
Raka sempat melirik sahabatnya sebelum pintu benar-benar menutup. Ada yang aneh dengan Bima, tapi ia tahu—Bima hanya akan bercerita kalau sudah siap.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari itu, seorang pasien perempuan berusia 22 tahun bernama Utari datang ke bagian psikiater . Sejak duduk di ruang tunggu, tubuhnya tampak tegang. Jemarinya terus menggenggam erat tas kecil di pangkuan, seolah itu satu-satunya pegangan agar ia tidak goyah.
Utari adalah pasien terakhir dari sekian banyak pasien yang sudah mendaftar hari itu.
Aruna, yang bertugas menyambut pasien, sempat menunduk ramah dan memberi senyum kecil.
“Selamat siang, Utari. Silakan ikut saya, ya. Dokter Dirga sudah menunggu di ruangannya.”
Utari mengangguk ragu. Langkahnya kecil, sesekali menoleh ke kanan-kiri seolah memastikan tidak ada orang yang memperhatikannya. Aruna peka menangkap gestur itu, jadi ia sengaja berjalan sedikit di depan, memberi ruang aman bagi pasien.
Di dalam ruangan, Dirga sudah menunggu dengan meja kerja yang rapi. Ia melepaskan jasnya, hanya menyisakan kemeja dongker yang membuatnya terlihat lebih santai.
“Silakan duduk, Utari.” Suaranya tenang, penuh wibawa.
Utari duduk perlahan, matanya menunduk. Aruna mengambil posisi di samping, menyiapkan catatan.
“Boleh ceritakan, apa yang membuat kamu datang ke sini?” tanya Dirga pelan.
Butuh waktu hampir satu menit sebelum Utari berani bersuara.
“Aku… takut kalau berada di tempat ramai, Dok. Kayak… mall, pasar, bahkan kadang naik bus aja aku bisa keringetan, jantungku deg-degan banget.”
Aruna menatap lembut, lalu menyodorkan segelas air. “Minum dulu, Ras. Nggak apa-apa, pelan-pelan aja.”
Utari meraih gelas itu dengan tangan gemetar.
Dirga mengangguk pelan. “Gejala yang kamu ceritakan termasuk anxiety disorder, khususnya fobia keramaian. Biasanya ditandai dengan jantung berdebar, keringat dingin, atau pikiran seolah nggak bisa kabur dari tempat ramai. Betul seperti itu?”
Utari buru-buru mengangguk. “Iya, Dok. Rasanya kayak mau pingsan.”
Dirga mencondongkan tubuh sedikit ke depan, tatapannya menenangkan. “Utari, hal pertama yang perlu kamu tahu… perasaan itu valid. Kamu nggak lebay, nggak aneh. Banyak orang mengalami hal yang sama. Kita akan belajar pelan-pelan untuk menghadapinya.”
Aruna mencatat sambil sesekali melirik Utari, memastikan pasien merasa nyaman.
“Untuk awal, saya akan ajarkan teknik pernapasan sederhana,” lanjut Dirga. Ia menoleh pada Aruna. “Run, bisa bantu tunjukkan?”
Aruna tersenyum lalu duduk berhadapan dengan Utari.
“Tarik napas dalam lewat hidung… tahan sebentar… lalu hembuskan perlahan lewat mulut. Ayo kita coba bareng-bareng.”
Utari menuruti dengan ragu, tapi Aruna memberi contoh dengan gerakan tangan, seolah mengajaknya bermain. Setelah beberapa kali, wajah Utari mulai lebih tenang.
“Bagus,” puji Dirga. “Latihan ini kelihatannya sederhana, tapi penting. Setiap kali kamu merasa panik di keramaian, lakukan teknik ini. Tubuhmu akan mengirim sinyal ke otak kalau keadaan aman.”
Aruna menambahkan dengan suara lembut. “Kamu juga bisa latihan di rumah. Kalau mau, minggu depan kita coba terapi exposure kecil-kecilan, ya. Kita dampingi kamu menghadapi tempat yang ramai, tapi pelan-pelan. Nggak sendirian kok.”
Mata Utari berkaca-kaca. “Makasih, Dok… Suster… aku kira aku gila.”
Dirga menggeleng cepat. “Kamu nggak gila, Utari. Kamu hanya butuh belajar berdamai dengan rasa takutmu. Itu semua bisa diatasi.”
Sesi pertama itu pun ditutup dengan senyum kecil dari Utari, meski wajahnya masih tegang.
Setelah pintu tertutup, Aruna menoleh pada Dirga.
“Tentang pasien tadi, kalau seandainya ada seseorang yang ngajak dia ke tempat ramai lalu melakukan aktivitas yang menyenangkan buat mengalihkan rasa takut dia, membuktikan kalau tempat ramai nggak semenakutkan itu… boleh nggak sih, Dok?”
Dirga berhenti sejenak, menatap Aruna sambil mengangkat alis.
“Boleh saja. Tapi risikonya besar. Salah langkah, traumanya bisa makin parah. Tapi kalau tepat… bisa jadi jalan pintas.”
Aruna melongo, menatap Dirga lebih lama dari yang seharusnya. Bibirnya tanpa sadar melengkung membentuk senyum kecil, seolah sebuah ide baru mulai menyala di kepalanya.
“Lo nggak bakal lakuin yang aneh-aneh kan, Run?” tanya Dirga dengan nada menyelidik.
“Nggak lah, gue cuma mau nanya.”
Dirga mendengus, matanya menyipit. “Senyum lo mencurigakan. Terakhir kali lo senyum kayak gini, lo disuruh begadang semalaman sama Pak Martin, inget nggak?”
Aruna sempat mengerling, wajahnya langsung berubah masam. Kejadian itu masih jelas di kepalanya. Saat itu ia nekat mengajak salah seorang pasien yang punya keluhan sama—takut keramaian—untuk berjalan-jalan di tempat ramai. Sayangnya, tanpa perhitungan matang, pasien itu malah panik, ngamuk, dan bikin kekacauan. Akhirnya Aruna dihukum: merapikan semua laporan rumah sakit semalaman, plus seminggu penuh membersihkan ruangan dokter tanpa bantuan OB.
“Gue tau, Dirga,” sahut Aruna buru-buru. Tanpa menunggu komentar lanjutan, ia langsung melesat keluar dari ruangan Dirga mengukir senyuman penuh rencana di sudut bibirnya.
.
.
.
Bersambung.
Apalagi nih yyang bakal di lakuin sama Aruna dari roman -roman senyumnya jadi curiga 🤔.
Lanjut next bab ya guys. Jangan lupa like👍🏿 komen😍 and subscribe ya😊. Apain jejak kalian sangat berarti buat aku🥰