NovelToon NovelToon
The Legend Of The Shadow Eater

The Legend Of The Shadow Eater

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / TKP / Hantu
Popularitas:447
Nilai: 5
Nama Author: Senara Rain

Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5

Lira duduk bersandar di kursi rotan berderit di balkon penginapan. Di bawah, suara air sungai bercampur dengan riuh serangga pagi. Tangannya memegang cangkir teh, tapi isinya sudah dingin karena pikirannya terus berputar.

“Kai,” suaranya pelan, namun tegas. “Semalam aku ketemu pria yang juga pernah muncul di Jakarta. Dia… bukan manusia, seperti yang aku duga. Dia cuma bilang namanya Yash.”

Kai yang sedang membuka catatan buru-buru menoleh. “Yash?” Dahinya berkerut. “Jangan-jangan dia Lelepah?”

Lira menggeleng, ekspresinya bingung. “Aku nggak tahu. Kalau pun iya, kenapa dia malah nyelametin aku? Semalam aku diserang… Wewe Gombel. Dia muncul dan narik aku keluar dari cengkeraman itu.”

Kai terperanjat, hampir menjatuhkan pensilnya. “Serius? Pantes aku denger suara tembakan di hutan.”

“Iya, tapi percuma,” Lira menghela napas, tatapannya kosong. “Peluru itu nggak ada gunanya.”

“Ya tentu saja,” Kai menutup bukunya pelan.

Keheningan sesaat. Hanya suara angin yang mengibaskan tirai tipis di balik mereka.

“Kai,” Lira menoleh dengan mata yang sedikit berkaca, suaranya bergetar menahan emosi. “Kalau ternyata pelaku di balik orang-orang yang bunuh diri itu beneran Lelepah… siapa yang harus kutangkap? Ini gila, Kai. Bagaimana polisi sepertiku bisa menangkap makhluk halus? Siapa juga yang bakal percaya kalau aku laporannya begini?”

Kai menatapnya lama, lalu tersenyum hambar. “Nggak ada yang akan percaya, Lira. Dunia kita memang nggak dirancang untuk menerima hal-hal kayak gini.” Ia mencondongkan tubuhnya, menatap lurus ke arah Lira. “Tapi bukti kematian itu nyata. Dan kalau ada yang harus menghadapi kebenaran ini… ya kita.”

Lira menunduk, jarinya menggenggam cangkir teh yang sudah dingin. Kata-kata Kai menusuk, karena di balik ketakutannya, ia tahu itu benar.

Kai menarik napas panjang. “Kalau memang Lelepah yang main di balik semua ini, cara satu-satunya bukan menangkap… tapi mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan. Kenapa mereka muncul lagi setelah ratusan tahun.”

Lira menggigit bibir bawahnya, suaranya lirih namun penuh kegelisahan.

“Bagaimana kalau… mereka memang tak pernah bersembunyi, Kai?”

Kai terdiam sesaat, menimbang kalimat itu. Matanya menyipit, lalu ia mengangguk pelan.

“Itu artinya,” ucapnya dengan nada serius, “kita harus cari tahu kenapa makhluk halus bisa hidup sedekat itu dengan manusia. Apa yang bikin mereka bertahan di sini, dan… kenapa baru sekarang mereka mulai ikut campur dengan cara sekejam ini.”

Lira merasakan bulu kuduknya meremang. Untuk pertama kalinya, ia sadar kalau kasus bunuh diri yang sedang ia tangani bukan sekadar pekerjaan. Ada sesuatu yang jauh lebih besar, dan ia sudah terjebak di tengahnya.

Siang itu, terik matahari menyelinap di antara dedaunan hutan kecil di pinggir desa. Lira dan Kai akhirnya sampai di rumah sederhana Pak Merta. Aroma tanah basah dan dedaunan kering memenuhi udara, seolah tempat itu memang terpisah dari hiruk-pikuk dunia luar.

“Selamat siang, Pak Merta. Ada yang ingin kami tanyakan,” ucap Kai dengan nada sopan, menunduk sedikit.

Pak Merta menoleh pelan. Tatapannya tajam, namun penuh ketenangan. Sesaat, matanya berhenti pada Lira. Bukan sekadar memandang—seolah sedang menelusuri sesuatu jauh di balik wajahnya.

Lira bergeser tak nyaman. Ada rasa aneh, seakan pria tua itu bukan hanya sedang melihat dirinya, melainkan mencari sesuatu yang tersembunyi.

“Ada apa, Nak?” suara Pak Merta dalam, serak, tapi berwibawa.

Kai melirik Lira sebelum melanjutkan, “Kami dengar, dulu desa ini pernah… diganggu makhluk halus. Banyak orang percaya itu berkaitan dengan Lelepah. Kami ingin tahu… apa benar?”

Pak Merta tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Lira lagi, tatapan yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Seperti ada rahasia yang Pak Merta tahu, tapi belum siap ia ucapkan.

“Pertanyaan kalian berat sekali,” gumamnya, sambil meraih tongkat kayu di samping kursinya. “Apalagi untuk orang muda seperti kalian. Tapi… mungkin memang sudah waktunya kalian mendengar.”

Angin tiba-tiba berhembus kencang, membuat dedaunan berjatuhan di teras rumahnya. Lira merasakan tenggorokannya mengering, sesuatu di dalam dirinya bergetar, meski ia tak tahu apa.

Pak Merta mengetuk pelan tongkat kayunya ke lantai papan. Bunyi beratnya menggema, seolah menegaskan kata yang hendak diucapkannya. “Lelepah…” suaranya rendah, namun menyimpan ratusan tahun beban sejarah.

“Lelepah sama seperti makhluk halus lainnya. Mereka tak seharusnya ikut campur dalam urusan manusia, begitu pula manusia tak seharusnya mencampuri urusan mereka. Namun, keserakahan membuat manusia melakukan kesalahan besar—mereka membuka gerbang itu.”

Ia menatap lurus ke depan, suaranya semakin dalam.

“Ritual-ritual yang dilakukan bukan untuk keselamatan, melainkan untuk memperkaya diri. Tanpa sadar, mereka merobek tabir yang memisahkan dua dunia. Sejak saat itulah tatanan kehidupan menjadi berantakan.”

Lira terdiam, ingatannya segera melayang pada malam sebelumnya. Pak Merta menoleh sekilas, seakan tahu apa yang ia pikirkan.

“Seperti kejadian kemarin malam—anak Pak Samin yang diculik wewe gombel. Nak Lira pasti melihatnya sendiri. Itu hanyalah satu contoh kecil dari ketidakseimbangan.”

Kai mengepalkan tangan. “Jadi… semua ini karena ulah manusia?”

Pak Merta mengangguk perlahan. “Makhluk halus itu sebenarnya juga manusia, roh mereka yang tak diterima leluhur karena dendam yang terlalu pekat. Dan tempat ini…” ia mengetuk tanah dengan tongkatnya, “…sejak dulu dikenal sebagai gerbang utama dua dunia itu. Gerbang yang terbuka itu hanya bisa ditutup oleh seseorang yang telah ditakdirkan sejak awal.”

Pandangan matanya berhenti pada Lira—tajam, dalam, seakan sedang mencari sesuatu di balik wajahnya.

Sore itu matahari meredup di balik pepohonan, meninggalkan cahaya jingga samar yang tersangkut di pucuk-pucuk dahan. Jalan setapak menuju penginapan sepi, hanya suara serangga dan desir angin melewati semak basah.

Lira melangkah pelan, pikirannya masih terguncang oleh tatapan penuh rahasia Pak Merta—tatapan yang seakan menyimpan sesuatu tentang dirinya. Kai berjalan beberapa langkah di depan, sibuk memeriksa layar ponselnya yang nyaris tak mendapat sinyal.

Tiba-tiba, Lira menghentikan langkah. Hawa aneh menyusup dari arah sungai di sisi jalan. Airnya… bergelembung, seperti mendidih, meski tidak ada panas. Gelembung-gelembung itu makin besar, hingga riak air berputar seakan ada sesuatu yang bergerak di bawahnya.

“Kai,” panggil Lira, suaranya tegang. “Coba lihat ini…”

Kai menoleh, menurunkan ponselnya, lalu mengikuti arah pandang Lira. Matanya langsung membesar. “Apa itu…?”

Sebelum sempat menjawab, ledakan air memecah permukaan. Sosok raksasa melompat keluar—setengah manusia, setengah buaya, tubuhnya berlapis sisik putih pucat yang berkilau menakutkan di bawah cahaya sore. Matanya berwarna hijau menyala, menatap tajam pada Lira.

Kai mundur dua langkah, terperanjat. “LIRA! AWAS—!”

Tapi terlambat. Cakar siluman buaya itu menyambar cepat, mencengkram leher Lira. Darah langsung mengucur saat kuku runcing itu menembus kulitnya, meninggalkan luka dalam yang berdenyut panas—racun menyebar. Lira menjerit, tubuhnya diseret ke sungai dengan kekuatan brutal.

“LIRA!!” Kai berlari, hampir terjun ke air, tapi arus berputar liar, seolah menutup jalan masuk. Di sela riak hitam pekat, ia melihat Lira berjuang ditelan kegelapan.

Di bawah air, Lira menendang, meronta, tubuhnya melawan meski racun di leher membuat ototnya kaku. Matanya perih, paru-parunya terbakar kehabisan udara, tapi ia menolak menyerah begitu saja. Dengan tangan gemetar, ia meraih pisau lipat di ikat pinggangnya, lalu menghujamkannya ke perut makhluk itu.

Darah hitam menyembur, bercampur dengan pusaran air. Siluman buaya meraung ganas, cengkeramannya justru semakin erat, kuku-kukunya menancap lebih dalam di kulit Lira. Gelembung-gelembung udara terakhir lolos dari mulutnya.

“Jangan mati di sini, Lira…” batinnya menjerit, sisa kesadarannya menggema di dalam kepala. “Kamu harus berjuang… kau belum boleh berhenti di sini… belum sekarang…!”

Dengan sekuat tenaga yang tersisa, Lira menggoyangkan pisaunya, menusuk lebih dalam, meski pandangannya mulai berkunang dan cahaya di sekitarnya memudar.

Siluman buaya meraung di dasar sungai, cakarnya menancap di leher Lira yang semakin lemah. Air di sekitar mereka mendidih, hitam, seperti jurang yang menelan cahaya. Pisau di tangan Lira sudah hampir terlepas, jari-jarinya kehilangan tenaga.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!