Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Sosial media
Nayna membuka laptop, mengamati gambar yang terpampang jelas di hadapannya, lalu tersenyum kecil.
Jemarinya menari di barisan keyboard, menyusun kata, membentuk kalimat yang siap diunggah di laman instagram. Dia memilih sebuah gambar buku tulis terbuka, tanpa tinta pembentuk kata di sana, hanya kertas putih bergaris dengan sebuah pena hitam di atasnya.
Baru dua menit jarinya menekan tombol share, muncul sebuah notif di pesan masuk, diikuti beberapa notifikasi lain dari akun-akun yang menyukai postingannya.
Nayna lebih dulu membuka pesan, matanya menangkap akun yang sama sejak beberapa tahun terakhir. Gadis itu tersenyum manis seraya membaca isi pesan dengan kalimat penutup yang sama, seperti biasa.
"Tetaplah bersinar, semua layak bertumbuh dan ... dicintai."
Nayna tak kuasa menahan gejolak di dada, dia berguling di atas tempat tidur, mengulas senyum indah, sembari menatap langit-langit kamar yang bersih tanpa sapuan warna lain, selain putih.
Nay, jangan mudah terkecoh. Dia seperti itu, karena belum tahu siapa orang yang ada di balik akunmu. Ingat, jangan lupakan penolakan dan juga video yang tersebar setelahnya.
Sudahlah, Nay. Jangan terus larut dalam api amarah, nggak baik. Semua orang pernah salah, manusia tempatnya khilaf, maafkan dan lupakan saja. Jalani harimu yang lebih berwarna.
Nggak, Nay. Kamu harus ingat, dia nginjek-injek harga dirimu. Bahkan, dia nggak peduli sedikit pun, saat semua orang mencemooh dan mulai meninggalkanmu, sendiri, dengan luka menganga lebar yang teramat perih. Ingat itu, Nay!
Nayna memegang kepalanya dengan kedua tangan, berusaha menyapu bersih segala perdebatan yang muncul tanpa diundang sama sekali.
Namun, keheningan malam membuat gadis itu termenung dan tanpa diduga, serpihan puzzle masa lalu kembali datang, seolah memberi peringatan keras untuk lebih waspada ke depannya.
Nayna tersenyum getir, tatkala ingatan itu kembali hadir. Di mana tepat di hari perpisahan SMP dulu, teman-teman satu kelas sibuk dengan ponsel masing-masing. Sementara waktu itu, dirinya tak membawa ponsel karena dilarang oleh ayahnya.
Tawa dan beberapa sindiran mampir di telinga, begitu pun tatapan sinis yang mengikuti gerak-gerik ke mana dia melangkah.
"Maaf, ini ada apa, ya?" ucapnya kala itu, pada salah seorang siswa yang dia temui. Namun, cibiran dan hinaan yang menjadi jawabannya.
"Nggak salah nembak?"
"Mental apaan sih? Beraninya nembak Aksara, jelas banget beda level-lah."
"Ngarep banget dicintai cowok sekelas Aksa, haha, mimpi aja kayaknya nggak kesampaian."
"Emang muka tembok banget kamu, Nay. Mimpinya ketinggian ... "
"Awas, nanti jatuh sakit lho," sambung yang lain. Nayna paham apa yang mereka bicarakan, dia mengangguk dengan senyum yang dipaksakan, lalu menyingkir menuju ruang perpustakaan yang sepi.
Di antara barisan rak tinggi berisi buku dengan berbagai judul, Nayna duduk seorang diri dalam diam. Hatinya hancur, terlebih saat salah satu temannya memperlihatkan sebuah video, di mana dia mengungkapkan isi hatinya pada sang pujaan hati -Aksara.
Dirinya tak menyangka jika ada yang merekam momen itu, pun saat akhirnya dia pergi menahan tangis untuk kembali pulang. Semua terlihat jelas dalam video berdurasi beberapa menit itu. Yang membuatnya semakin sakit adalah respons Aksara yang tahu perihal ini semua, namun justru tak peduli, dia bersikap dingin seperti biasa, layaknya tak pernah terjadi apa-apa.
Tak ada yang peduli padanya, semua tengah berbahagia di acara pelepasan kelas IX, tanpa menyadari jika salah satu di antara siswinya, tengah menyendiri dalam ruang yang sunyi.
"Nay, kamu kenapa? Kok malah di sini?"
Sebuah sapaan yang pelan, cukup membuat Nayna terkejut. Gadis itu menoleh, matanya beradu tatap dengan pemilik manik hitam beralis tebal, Mas Bayu -si penjaga perpustakaan.
Nayna menggeleng, berusaha memberi alasan yang masuk akal. Namun laki-laki itu tersenyum, "aku tahu apa yang terjadi, kamu berhak memilih, Nay. Tapi jangan biarkan hal kecil seperti itu, membuat hari bahagiamu berubah total, senyum indahmu lenyap seketika. Jangan, Nay. Terlalu berharga jika itu semua tergantikan, hanya karena seorang laki-laki yang ... tak tahu arti mencintai," tuturnya panjang lebar. Nayna sudah akrab dengan pria itu, karena sejak masuk SMP, ruangan inilah yang menjadi tempat favorit, terlebih karena adanya sosok Mas Bayu yang baginya seperti kakak sendiri.
Di saat yang lain bersuka cita di lantai bawah, menikmati setiap momen kebersamaan dengan canda tawa dan tangis bahagia, Nayna justru menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan laki-laki yang tiga tahun terakhir menjadi 'temannya'.
Suara ketukan pintu membuat Nayna tersadar dari lamunan panjang, bergegas dia membuka dan melihat sang ayah berdiri di sana dengan wajah basah, tak lama kemudian, sang ibu datang dengan mukena putih yang membalut wajah cantiknya.
"Ayah tahu kamu belum tidur, sekarang ambil wudu, kita tahajud ya." Rahmat tersenyum, senyum yang menenangkan bagi istri dan anaknya.
Meski penasaran, Nayna belum berani bertanya, barulah setelah selesai shalat, dia mendekati sang ayah yang masih bersimpuh di atas sajadah, sementara ibunya pergi ke dapur untuk menyiapkan sahur.
"Ayah kok tahu aku udah bangun?"
Tanpa menunggu lama, Nayna menanyakan hal yang sejak tadi mengganggu pikirannya, setelah melihat sang ayah selesai mengusap wajah dengan telapak tangan.
Rahmat menoleh, lalu mengusap kepala putrinya yang masih terbalut mukena.
"Ayah lihat kamu posting sesuatu di sosmed," ucapnya sambil tertawa kecil. Sementara Nayna heran dan seketika tersadar, "Ayah tahu? Berarti Ayah juga main sosmed? Kok Nayna nggak pernah tahu soal itu? Sejak kapan, Yah?"
Namun, bukannya menjawab, Rahmat menelisik wajah anaknya dengan mimik muka serius.
"Nak, kamu kenapa? Cerita sama Ayah atau Ibu, jangan apa-apa disebarkan di dunia maya, kita nggak tahu aslinya bagaimana, jangan terlalu terbuka di dunia yang kita sendiri paham, banyak kepalsuan di dalamnya." Rahmat diam, menunggu reaksi Nayna, lalu kembali berkata, "carilah teman ngobrol yang nyata, yang jelas wujudnya dan tentu saja, tak bertopeng."
Nayna menatap sang ayah, "maksud Ayah? Aku kan nggak curhat di sosmed, Yah. Aku cuma nulis kata-kata aja," tutur gadis itu dengan heran, dia merasa sang ayah tahu semuanya.
Rahmat tertawa pelan, "jangan remehkan Ayah, gini-gini juga bisa kok main sosial media, nggak kalah sama anak muda. Mata Ayah nggak akan salah menilai perihal dirimu, Nak. Kalau kamu belum nemu orang yang pas untuk diajak ngobrol, ingat satu hal, Sayang. Kamu masih punya Dia, tempat menggantungkan setiap asa dan keluh kesah Hamba-Nya." Rahmat mengacungkan telunjuknya lalu tersenyum hangat.
Nayna paham, dia mendekati sang ayah lalu memeluknya erat, "makasih, Yah. Makasih udah mau ngertiin aku."
Ayah dan anak saling berpelukan, memberi kekuatan yang tersirat di dalamnya, namun begitu kuat terasa.
Siti tersenyum di ambang pintu, menyaksikan suami dan buah hatinya dengan hati penuh rasa haru.
"Matur suwun, Gusti."
Setelahnya, dia memanggil mereka untuk segera beranjak makan sahur sebelum masuk waktu imsak.
"Perbanyak puasa sunnah, Nak. Begitu pun dengan ibadah lain. Gantungkan setiap harapanmu pada-Nya, maka hatimu tak akan merasakan kecewa apalagi terluka. Percaya kata Ayah, pasti selalu ada jalan yang tentu saja diridhoi oleh-Nya."
Nayna mengangguk, lalu menerima piring yang disodorkan ibunya.
"Awas kalau abis ini tidur, ibu seret kamu ke kamar mandi. Besok senin, berangkat lebih pagi, jadwalmu piket kan?"
Siti melirik anaknya yang menguap lalu menutup mulut dengan telapak tangan.
"Iya, Bu. Iya," jawab Nayna sambil menyendok nasi untuk ayah dan ibunya.
Rahmat terkikik geli, "pesona ras terkuat itu memang beneran kuat ya, ... "
Belum selesai berkata, Rahmat mengunci mulutnya saat sang istri melirik tajam.
"Wah, perang nih, perang," celetuk Nayna yang mulai merasakan hawa pertempuran di sana.
***