Menjadi seorang dokter bedah ilegal di dalam sebuah organisasi penjualan organ milik mafia berbahaya, membuat AVALONA CARRIE menjadi incaran perburuan polisi. Dan polisi yang ditugaskan untuk menangani kasus itu adalah DEVON REVELTON. Pertemuan mereka dalam sebuah insiden penangkapan membuat hubungan mereka menjadi di luar perkiraan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zarin.violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berbohong Demi Nurani
Malam itu, ruang otopsi terasa sangat dingin seperti biasanya. Lampu neon yang menggantung di langit-langit memantulkan bayangan Ava yang terpaku dan gemetar di samping meja stainless steel.
Di hadapannya, terbaring seorang anak kecil—tubuh mungil yang seharusnya masih berlari-lari di taman, bukan terbujur kaku di sini.
Ava menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi tangannya tetap bergetar saat dia mengangkat pisau bedah. ‘Ini salah,’ bisik hatinya. Tapi dia tidak punya pilihan.
Mark, asisten Don Vittorio yang selalu dingin, berdiri di sampingnya dengan tangan terlipat. "Kita harus cepat," katanya, suaranya datar. "Semua organnya pasti masih bagus karena dia masih kecil. Ginjal, hati, jantung, semuanya bernilai tinggi."
Ava menatap wajah pucat anak itu. Pipinya masih menggembung, rambutnya ikal sedikit kusut. Seolah-olah dia hanya tertidur.
"Ini anak siapa?" tanyanya, meski dia tak yakin ingin tahu jawabannya.
Mark menghela napas. "Anak salah satu ketua geng. Tertembak ayahnya sendiri saat perang antar geng. Darahnya terlalu mahal untuk sia-sia, jadi ayahnya jual mayatnya pada kami."
Perut Ava mual dan hatinya sakit. Dijual. Seperti barang.
Ia menekan pisau ke kulit dingin anak itu, tapi hatinya memberontak. Setelah membedahnya, tiba-tiba, dia menarik tangan kembali.
"Tidak bisa," bisiknya.
Mark mengerutkan kening. "Apa?"
"Aku ... aku lihat ada yang tidak beres." Ava menelan ludah, berbohong dengan cepat. "Dia sepertinya sakit kanker darah, leukemia. Organ-organnya sudah rusak. Tidak layak untuk diambil."
Mark memandangnya skeptis. "What? Kau yakin?"
"Ya. Lihat saja warna hatinya, sudah tidak normal." Ava mengangguk, berusaha meyakinkan.
Mark mengutuk pelan, tapi dia tidak punya pengetahuan medis untuk membantah.
Don Vittorio tidak akan menerima organ yang cacat.
"Fucckk!! Kubur saja," geramnya sebelum berbalik pergi.
Ava melepaskan napas yang tidak sia sadari ditahannya sejak tadi. Dengan hati-hati, dia menjahit kembali sayatan di dada anak itu, memberinya sedikit kehormatan terakhir.
Ia membungkus tubuh kecil itu dengan kain putih, seperti membungkus seorang bayi yang baru lahir.
‘Aku harus melakukan ini meskipun risikonya besar,’ batinnya. ‘Pergilah ke surga, Sayang. Kau masih begitu suci dan tanpa dosa.’
*
*
Layar komputer Devon menyala dalam kegelapan ruang kerjanya. Wine sudah setengah habis di sampingnya, dan asap rokoknya masih mengepul di udara.
Sebuah notifikasi muncul.
1 New Email.
Biasanya, sia mengabaikan pesan yang bukan dari rekan kepolisian. Tapi subjeknya membuatnya harus segera membukanya.
[Daftar Orang Dalam Don Vittorio.]
Pengirimnya bukan anggota polisi. Ini dari salah satu orang-nya—orang yang bekerja di balik bayang-bayang, di dunia yang tidak tercatat dalam database resmi.
Devon meng-kliknya. Beberapa detik kemudian, sebuah file terenkripsi terbuka. Daftar nama muncul, satu per satu, termasuk nama dokter yang terlibat.
Namun, tidak ada nama lengkap. Hanya inisial, julukan, atau petunjuk samar. Devon mengumpat karena harus mengungkap teka teki lagi.
Terhitung ada lima orang dokter dan diantaranya adalah satu wanita. Julukannya adalah AV. Hanya itu saja.
“Menyebalkan!” gerutunya, dan dia segera menelepon anak buahnya yang lain.
“Tiga hari lagi aku akan menggerebek tiga markas mereka. Cari tahu, di mana markas yang paling banyak menyimpan barang bukti karena itu target utamaku,” kata Devon serius.
“Baik, Tuan. Aku akan segera mencari tahu. Dalam dua jam, kami akan mengirimkan lokasinya.”
“Oke, aku tunggu secepatnya.” Lalu sambungan telepon itu terputus.