Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
Pagi itu, Nina terbangun lebih awal dari biasanya. Biasanya, suara sendok di dapur atau aroma kopi panas buatan Devan-lah yang menyambutnya. Tapi hari ini sunyi. Tak ada bunyi. Tak ada aroma.
Ia bangkit dari tempat tidur dengan jantung sedikit berdebar. Devan ke mana? pikirnya cemas.
Namun begitu membuka pintu kamar, ia di buat tertegun.
Ruang tamu telah dihias dengan sangat sederhana tapi manis. Ada lilin aroma lavender di meja tengah, dan seikat bunga lili yang ditata rapi di vas kaca bening. Di atas meja makan, ada dua piring dengan nasi goreng dan telur mata sapi yang dibentuk hati. Di sebelahnya, dua cangkir teh melati hangat mengepul ringan.
Dan di sana, berdiri Devan, yang memakai celemek bergambar kartun kelinci—hadiah ulang tahun dari Nina bertahun lalu saat mereka masih SMA.
“Selamat pagi, Bu Nina,” ujarnya sambil memberi hormat dengan spatula di tangan.
Nina menutup mulutnya, nyaris tidak percaya. “Elo... apaan sih dan ini?” Nina menatap makanan yang ada di atas meja sana.
“Anniversary minggu pernikahan kita,” jawab Devan ringan. “Tiga minggu memang belum apa-apa, tapi untuk pernikahan yang dimulai dari ‘bukan cinta’, gue rasa setiap minggu layak dirayakan.”
Nina terdiam. Matanya perlahan memerah.
“Devan... elo ini...”
“Gue pengen elo bahagia, meski sedikit demi sedikit.”
Devan mulai menarik kursi untuk Nina, seperti seorang pelayan profesional. Dan Nina duduk, masih belum mampu menyembunyikan senyum yang tumbuh perlahan di wajahnya.
"Silahkan nikmati." Kata Devan sambil tersenyum.
Nina mengulum bibirnya. "Makasih Devan."
Devan tersenyum, entah mengapa ucapan terimakasih itu membuat hatinya menghangat.
Hari itu hujan turun lagi. Jakarta seperti tak pernah kehabisan air mata langit. Tapi sore ini berbeda. Karena Nina berjalan berdampingan dengan Devan di bawah satu payung, dengan tangan mereka tak bersentuhan, tapi lengan mereka sesekali bergesekan, menciptakan getaran halus yang membuat jantung Nina berdetak lebih cepat dari biasanya.
Mereka baru saja pulang dari toko buku. Nina baru saja membeli dua novel fiksi favoritnya, dan Devan—seperti biasa—membeli buku teknik yang tidak Nina mengerti sama sekali.
Tapi yang membuat Nina tertegun adalah kejadian di depan gang rumah.
Payung mereka tiba-tiba diterbangkan angin. Hujan mendadak deras. Mereka berlari kecil, dan sebelum sampai ke teras, Devan sempat menarik tangan Nina lalu memeluknya di bawah pohon mangga yang basah kuyup.
Mata Nina terbelalak. “Van—”
“Ssst,” bisik Devan. “Gue cuma pengen... peluk lo. Nggak apa-apa, kan?”
Nina kaku sesaat. Tapi kemudian, tubuhnya rileks. Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya... pelukan itu terasa aman. Terasa pas.
Tak ada kata cinta. Tapi pelukan itu lebih dalam dari ribuan puisi.
Dan Devan merasa bahagia saat Nina hanya diam, tanpa melepaskan pelukan mereka.
Beberapa hari kemudian, Nina pulang kerja lebih malam karena lembur. Ia masuk ke rumah dengan wajah lelah dan tubuh pegal. Tapi begitu membuka pintu, ia mendapati suasana rumah temaram. Hanya ada cahaya lampu kuning hangat dan... suara musik klasik yang sangat ia sukai.
Di ruang tamu, meja kayu kecil disulap menjadi ruang makan dadakan. Ada lilin kecil, sepiring pasta aglio olio—masakan favorit Nina saat stres—dan secangkir cokelat panas.
Devan keluar dari dapur dengan celemek lucu lagi. “Maaf ya, mungkin nggak seenak buatan restoran Italia. Tapi gue cuma pengen elo tahu, kalau elo nggak sendirian meski hari ini berat.”
Nina menatapnya, dan tanpa sadar, air mata jatuh. Ia merasa terlalu lelah untuk berkata apa pun, tapi terlalu penuh untuk menahan rasa syukur.
“Van... Elo ini sebenernya siapa sih?” gumam Nina sambil menyeka air mata. “Kenapa elo tahu semua yang gue suka? Semua yang gue butuh?”
Devan mendekat. Menatap wajah cantik yang lelah itu. “Karena gue udah ada di samping elo selama lebih dari setengah hidupmu. Dan karena... gue nggak pernah berhenti merhatiin elo, bahkan saat elo nggak ngelihat gue.”
Nina mematung. Jantungnya berdetak begitu keras.
Kenapa dia bisa se-kejam itu pada pria seperti Devan?
Malam itu, setelah makan malam dan menonton film romantis yang dipilih Nina, mereka duduk berdampingan di sofa. Filmnya sudah selesai, tapi tidak ada yang bergerak. Hening. Hanya suara kipas angin pelan dan detak jantung yang entah milik siapa.
Nina memiringkan tubuhnya, pelan-pelan, dan menyandarkan kepala di bahu Devan.
“Boleh gue begini terus?” tanyanya lirih.
Devan tersenyum kecil. “Kapan pun elo mau.”
“Van... gue belum tahu ini cinta atau bukan... Tapi gue ngerasa tenang kalau sama elo. Nggak tahu kenapa.”
“Nin... tenang adalah awal dari cinta yang dewasa.”
Nina menarik napas pelan.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, mereka tidur di ranjang yang sama. Bukan karena nafsu. Tapi karena hati mereka, akhirnya mulai saling menemukan jalannya—meski pelan-pelan, meski tanpa kata.
*
Hari itu, Nina pulang lebih cepat dari biasanya. Sinar matahari sore menerobos tirai jendela, menciptakan bayangan keemasan di lantai rumah mereka yang sederhana namun hangat. Ia menggantung tasnya, melepas sepatu, dan berjalan ke arah dapur untuk melihat apakah Devan sudah pulang.
Tapi belum sempat ia melangkah ke ruang tengah, terdengar suara tawa perempuan.
“Wah, kamu pinter banget masak, Mas Devan. Nggak nyangka, suami idaman banget sih.”
Langkah Nina terhenti.
Ia menajamkan pendengaran. Itu suara asing. Suara perempuan. Dan... suara manja.
Dengan hati yang tak menentu, Nina berjalan pelan ke arah dapur. Dan di sanalah ia melihat pemandangan yang menusuk dada.
Seorang perempuan cantik dengan blazer putih dan rambut panjang kecokelatan sedang duduk di bangku dapur, memakan potongan kue sambil menatap Devan dengan senyum yang... mengganggu.
Devan berdiri sambil memotong buah, tampak kikuk. Tapi Nina bisa melihat perempuan itu tertawa berlebihan atas komentar kecil yang Devan ucapkan.
“Eh, Nina!” seru Devan ketika melihat istrinya berdiri di ambang pintu.
“Oh, elo udah pulang?” tambahnya dengan canggung.
Perempuan itu menoleh, tersenyum cerah. “Kamu pasti Nina, ya? Saya Dinda, teman kantor Mas Devan. Saya mampir karena tadi lewat dan sekalian nitip laporan. Tapi… ternyata dapat suguhan juga nih.”
Nina tersenyum, tipis. “Wah, beruntung ya.”
Dinda tak menangkap nada halus dalam ucapan Nina. Ia terus saja berbicara, tertawa, sesekali menyentuh lengan Devan saat menceritakan sesuatu.
Devan terlihat makin canggung, dan itu justru membuat Nina semakin... panas.
Setelah Dinda pamit pulang dengan senyum mengembang, Nina tidak bicara sepatah kata pun. Ia langsung masuk ke kamar, menutup pintu sedikit lebih keras dari biasanya. Devan menyusul beberapa menit kemudian, wajahnya penuh tanda tanya.
“Elo kenapa?” tanya Devan hati-hati.
Nina membelakanginya. “Nggak kenapa-napa.”
“Yakin?”
“Lo sering kayak gitu di kantor? Masakin buat semua cewek yang mampir?”
Devan terdiam. “Nggak… gue nggak pernah. Dia cuma—”
“Cuma teman? Yang ngelirik lo karena pakai mata genit dan ketawa tiap tiga detik?”
Nada suara Nina meninggi, dan baru saat itu ia sadar… ia sedang cemburu.
Devan menatap Nina dalam. “Nina… Elo cemburu?”
Nina menunduk. “Gue… gue nggak tahu! Gue cuma… nggak suka lihat dia dekat-dekat Elo.”
Hening. Devan mendekat, menundukkan tubuhnya agar sejajar dengan Nina yang duduk di pinggir ranjang. Matanya lembut, penuh pengertian.
“Kalau lo cemburu... itu bukan salah. Itu artinya lo mulai peduli.”
Nina masih diam. Tapi hatinya berdebar. Ia ingin menyangkal, tapi… ia tak bisa bohong pada dirinya sendiri.
“Gur emang mulai peduli,” bisiknya. “Tapi gue takut... kalau ternyata gue terlambat. Kalau lo... udah bosen nunggu.”
Devan menghela napas, lalu menggenggam tangan Nina.
“Gue nunggu lo, Na… bukan karena gue nggak punya pilihan lain. Tapi karena lo memang satu-satunya yang gue tunggu sejak lama. Bahkan sebelum lo tahu lo butuh gue.”
Kalimat itu menampar pelan tapi tepat sasaran. Mata Nina berkaca-kaca.
“Jangan pergi ke mana-mana, ya,” ucap Nina pelan.
Devan menariknya ke pelukannya, hangat dan kuat.
“Gue nggak akan ke mana-mana. Sampai kamu yakin hati lo punya ruang buat gue. Dan bahkan setelah itu... gue akan tetap tinggal.”
Hari-hari setelah itu berubah.
Nina mulai lebih terbuka. Ia mulai memeluk Devan saat berangkat kerja, membawakan bekal makan siang, bahkan menunggu di ruang tengah saat tahu Devan lembur. Ia masih belum mengucap cinta. Tapi tindakannya mulai berbicara lebih keras dari kata-kata. Dan mereka sudah sepakat untuk mengubah panggilan mereka, dari lo-gue menjadi kamu dan aku, terdengar geli, karena sudah terbiasa dengan panggilan itu. Namun, mereka harus membiasakannya, karena status mereka yang sudah menikah.
Suatu malam, saat mereka duduk berdua di taman kecil dekat rumah, Nina menyandarkan kepalanya di bahu Deva dan berkata, “Kalau waktu bisa diulang… aku pengen dari dulu aja kamu jadi suamiku.”
Devan menoleh. “Dan kamu?”
“Aku mungkin nggak langsung jatuh cinta... Tapi kamu satu-satunya yang bisa buat aku percaya cinta itu bukan luka lagi.”
Deva mencium kening Nina, pelan dan lembut.
“Pelan-pelan aja. Aku nggak butuh kamu mencintai aku hari ini. Aku cuma butuh kamu tetap di sisiku besok, dan lusa, dan selamanya.”
Nina menutup mata. Dan malam itu, cinta yang selama ini bersembunyi mulai muncul, sedikit demi sedikit, mengisi ruang-ruang kosong di hati Nina yang dulu pernah retak.