Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 11.
Semakin dekat dengan hari pernikahan, Malik bukannya bersantai tapi malah makin gila kerja. Tiada hari tanpa lembur, bahkan weekend pun memaksa datang ke kantor untuk mengurusi hal remeh-temeh yang sejatinya bisa dikejarkan orang lain. Akibatnya, Yudhis selaku asisten pribadi juga jadi ikut terseret arus overtime. Mana jatah cutinya bulan ini sudah habis, jadi tak bisa seenaknya mengajukan cuti tambahan.
Yudhis sih sebetulnya tidak masalah kalau harus kerja lembur bagai kuda, toh Malik adalah bos yang adil dan amanah, di mana setiap menit yang dia dedikasikan untuk perusahaan pasti akan dibayar dengan harga yang sepadan. Kan lumayan juga kalau sering lembur, uangnya bisa ditabung untuk mewujudkan wedding dream tunangannya.
Daripada diri sendiri, Yudhis justru lebih kasihan pada Malik. Delapan tahun sudah dia bekerja dengan lelaki itu. Dan selama itu pula, ia adalah saksi betapa Malik begitu mendedikasikan dirinya pada perusahaan. Tak pernah sekali pun Yudhis lihat Malik berpacaran. Meluangkan waktu untuk sekadar kencan buta pun tidak. Hidupnya benar-benar hanya kerja, kerja, dan kerja. Malik tak banyak bicara, tak pernah secara sukarela membagikan masalah pribadinya, tapi Yudhis sudah bisa memahami bahwa pernikahan ini bukanlah yang lelaki itu inginkan.
"Yudhis,"
"Ya, Pak?" Yudhis menyahut siaga, sebagaimana mestinya.
Di depannya, Malik duduk membelakangi meja kerja. Tangan dan kakinya menyilang, pandangannya terlempar keluar menyeberangi jendela kaca besar.
"Kalau kamu mau pulang duluan, nggak apa, saya sepertinya masih mau tinggal di sini lebih lama."
"Aman, Pak, saya temani sampai Bapak selesai."
Malik memutar kursinya. Raut wajah dan sorot matanya tampak lelah. "Saya bisa sampai subuh," kata lelaki itu.
Yudhis tersenyum lembut. "Nggak masalah, Pak. Mau kita nginep di sini juga saya oke aja," kelakarnya.
Namun, Malik sepertinya sedang tidak bisa diajak bercanda. Daripada tersenyum kecil seperti biasa, lelaki itu justru menatap Yudhis lekat-lekat.
Ditatap begitu oleh bosnya jelas bukan sesuatu yang bisa membuat Yudhis merasa nyaman. Ia mulai bergerak gelisah di atas sofa dan beberapa kali berdeham salah tingkah.
"Anu ... Saya nggak bisa ninggalin Bapak sendirian."
"Kenapa? Takut saya tiba-tiba lompat dari sana?" tanya Malik sambil menunjuk jendela kaca di belakangnya.
Yudhis menggeleng panik. Kedua tangannya juga bergerak heboh. "E-engak, Pak, nggak begitu."
Tak satu pun kata keluar dari bibir Malik. Lelaki itu malah bangkit, melangkah ke rak buku di pojok ruangan, sisi di mana siluet gedung-gedung tinggi di seberang kantor mereka tampak jauh lebih dramatis. Sebuah laci di bagian bawah ditarik, memperlihatkan sebuah benda yang familier--sebuah wooden puzzle tua.
Yudhis langsung mengenalinya. Puzzle itu sudah ada sejak tahun-tahun awal mereka bekerja bersama. Dulu, saat stresnya memuncak, Malik akan duduk diam dan membongkar-bongkar puzzle itu sampai pikirannya jernih kembali. Sudah berbulan-bulan Malik tak menyentuh benda itu, Yudhis pikir malah sudah dibuang karena termpah usang. Rupanya, karena stres berat itu baru melanda Malik sekarang.
"Kadang saya mikir," gumam Malik, nyaris tak terdengar, "hidup saya juga begini."
Puzzle itu diangkat, lalu diputar di hadapan mata. "Sudah kelihatan kokoh dan rapi, tapi sekalinya ada satu bagian yang dicabut, semuanya jadi berantakan."
Yudhis hanya diam, tak berani menyela. Menyadari bahwa kondisi Malik benar-benar sedang berantakan.
Sudah hampir setengah satu ketika Malik sampai rumah. Yudhis menepati ucapannya, menunggu sampai ia selesai membongkar puzzle dan mengantarnya pulang dengan selamat. Harus dia akui Yudhis memang patut mendapatkan apresiasi. Jika bukan karena lelaki itu, Malik mungkin akan semakin kesulitan menemukan titik jernih di kepalanya kembali.
Biasanya, Oma akan menunggu di ruang tamu tak peduli jam berapa pun Malik pulang. Tapi malam ini, tak ia temukan wanita itu di sana.
Malik mengitarkan pandangan dengan heran. Kepalanya melongok sedikit ke dapur, memeriksa kalau-kalau Oma ada di sana mengambil minum. Namun nihil, jadi dia lanjut saja menaiki tangga. Berpikir positif, mungkin saja Oma sudah tidur lebih dulu karena terlalu lelah. Siang tadi Oma mengirim pesan, katanya habis menemani Anindya jalan-jalan. Bisa jadi karena itulah tenaga Oma habis sehingga tidak bisa menunggu sampai dia pulang.
Tapi, ketika kakinya tiba di depan pintu kamar, perasaan Malik mendadak tidak enak. Maka dia berderap menyambangi kamar Oma. Begitu pintu terbuka dan kepalanya bisa melongok ke dalam, pikiran Malik semakin berkecamuk tidak keruan. Sebab Oma tidak ada di kasurnya. Lampu utama belum dinyalakan, padahal Oma tidak bisa tidur dalam keadaan gelap. AC juga masih dalam keadaan mati.
"Oma," panggilnya, sambil melangkah masuk lebih dalam.
"Oma di mana?"
Tak ada jawaban.
Malik kemudian berjalan menuju kamar mandi. Pintunya tidak dikunci. Dia membukanya perlahan, dan di sanalah Oma berada. Tergeletak tak berdaya dengan tubuh basah kuyup dan shower menyala.
Malik panik. Buru-buru ia mengangkat tubuh Oma, menggotongnya keluar dari kamar mandi lalu berlarian menuruni tangga.
Di rumah ini hanya ada tiga orang yang menetap. Dirinya, Oma, dan sopir yang tidur jauh di kamar belakang. Tak ada waktu memanggil sopir, tak memungkinkan juga mengendarai mobil sendiri di saat sedang dalam kondisi khawatir, jadi Malik berlarian keluar rumah sambil membopong tubuh Oma yang mulai dingin.
Sampai di pos security, satpam yang berjaga datang menghampiri. Sama paniknya setelah mendengar penjelasan Malik. Tapi pikirannya sedikit lebih jernih sehingga cepat-cepat berkoordinasi dengan rekan jaganya yang lain.
"Pakai mobil operasional aja, cepet!" serunya. Sang rekan mengangguk dan gegas berlari ke garasi kecil dekat pos jaga utama.
Mobil SUV hitam dengan logo organisasi warga perumahan mereka keluar dalam waktu kurang dari satu menit. Selain digunakan untuk patroli setiap malam dan mengangkut logistik, mobil itu memang diadakan untuk keadaan darurat, seperti malam ini.
"Biar saya yang nyetir, Pak. Bapak di belakang aja sama Oma," kata si satpam begitu mobil tiba di depan Malik.
Tanpa membuang waktu, Malik segera masuk dibantu oleh satpam yang satunya. Tubuh Oma dibaringkan di pangkuannya. Tangannya tak berhenti mengusap pipi Oma sambil terus meracaukan nama wanita itu.
"Monitor ke Supri, minta gantiin saya sebentar!" teriak si satpam yang malam ini bertugas jadi sopir dadakan.
Rekannya mengangguk dan memberikan gestur agar mereka segera berangkat. Mobil pun dilajukan keluar gerbang utama, menyusuri jalanan kompleks yang lengang dan sedikit gelap. Lajunya cepat, tapi tetap diusahakan agar aman dan tiba di tujuan dengan selamat.
Sementara di kursinya, Malik tak henti-hentinya merapalkan doa. Memohon pada Tuhan agar Oma diselamatkan. Dia berjanji akan melakukan apa saja.
Apa pun, asalkan Oma selamat.
Bersambung....