NovelToon NovelToon
EXONE Sang EXECUTOR

EXONE Sang EXECUTOR

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Dunia Lain
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aegis zero

Seorang penembak jitu tewas kerena usia tua,dia mendapatkan dirinya bereinkarnasi kedunia sihir dan pedang sebagai anak terlantar, dan saat dia mengetahui bahwa dunia yang dia tinggali tersebut dipenuhi para penguasa kotor/korup membuat dia bertujuan untuk mengeksekusi para penguasa itu satu demi satu. Dan akan dikenal sebagai EXONE(executor one) / (executor utama) yang hanya mengeksekusi para penguasa korup bahkan raja pun dieksekusi... Dia dan rekannya merevolusi dunia.



Silahkan beri support dan masukan,pendapat dan saran anda sangat bermanfaat bagi saya.
~Terimakasih~

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aegis zero, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

seven eclipse

Beberapa penyihir yang dikirim langsung oleh kerajaan berdiri di lokasi pembunuhan dua penguasa sebelumnya. Mereka meneliti dengan cermat jejak-jejak sihir yang tersisa.

"Jejak sihir in satu penyihir sambil menyentuh tanah. "Para penjaga dibunuh dari jarak dekat dengan benda tajam, tapi ada juga yang kepalanya berlubang. Ini bukan akibat senjata jarak dekat, melainkan senjata jarak jauh. Begitu pula dengan si penguasa..."

"Berarti pelakunya dua orang?"

"Iya. Dan pelacakan sangat sulit. Mereka seperti ahli dalam menyembunyikan jejak... atau mungkin jejak ini sengaja mereka tinggalkan."

"Kita serahkan laporan ini ke atasan dulu."

"Baik."

Salah satu dari mereka menyeringai.

"Apakah akan terjadi revolusi... di kerajaan bobrok ini?"

Arya dan Dina berjalan di tepi hutan.

"Hey, Ar... menurutmu kita bakal aman setelah membunuh dua penguasa kota?" tanya Dina pelan. "Target selanjutnya siapa?"

"Tenang saja," jawab Arya. "Seperti yang kubilang, kita meninggalkan sedikit jejak sihir kita dan menghapus sisanya. Karena ada dua jenis serangan dan elemen sihir yang berbeda, mereka pasti kesulitan melacaknya, seahli apapun mereka. Target selanjutnya ada di timur. Kota bernama Ekpiro."

"Ekpiro? Nama apaan tuh, jelek banget," dengus Dina. "Eh, omong-omong, gimana nasib kota yang penguasanya kita bunuh?"

"Pasti diganti orang lain. Mudah-mudahan penggantinya orang baik. Seperti kota Lila yang katanya sekarang punya penguasa baik. Tapi kalau di Siju ternyata penggantinya orang jahat juga... ya berarti mereka nggak takut mati."

"Mwahahaha! Jadi kalau penggantinya jahat lagi, kita bunuh juga?"

"Tentu saja! Tapi... sepertinya lebih baik mulai meninggalkan pesan di lokasi kejadian. Seperti 'Tujuan kami adalah para penguasa korup mati'."

Dina menatapnya curiga. "Pesan? Bukannya itu malah ngasih mereka kesempatan buat pura-pura jadi baik biar gak dibunuh? Dan bukannya itu bikin kita jadi gak misterius lagi?"

Arya tersenyum. "Iya juga sih. Kamu pintar juga kadang-kadang."

"Tch."

"Hei Ar, kamu beneran mau langsung masuk dan bertarung di mansion?"

"Tentu saja! Tanganku udah gatal pengen bunuh penguasa kota Ekpiro!"

"Aku sendiri juga bisa, tahu..."

"Gak mungkin kubiarkan kamu yang bunuh makhluk sebusuk itu. Aku gak mau tanganmu dikotori oleh sampah seperti dia. Dia bukan cuma menaikkan pajak dan bikin rakyat menderita, tapi juga penjual budak. Semua rumor tentang dia selama perjalanan isinya kebusukan."

"Aku juga pengen bunuh dia sendiri sih."

"Serahkan padaku," kata Arya sambil mengusap kepala Dina seperti anak kecil.

Kota Ekpiro ternyata lebih mengerikan dari yang mereka bayangkan. Orang-orang kelaparan berkeliaran, sementara di tempat-tempat mewah diadakan pelelangan budak. Arya dan Dina segera menyusun strategi setelah melihat betapa bejatnya kota itu.

Malam pun tiba.

Arya mengangkat pistolnya yang telah dialiri sihir api dan air—diperkuat menjadi sihir es. Dentuman senjata api terdengar dalam kegelapan. Mereka mengamuk, membunuh semua yang berhubungan dengan penguasa. Para penjaga, penjual budak, pembeli budak—semuanya dibantai.

DOR DOR!

Peluru menembus kepala, membakar dan membekukannya dalam sekejap. Tebasan pedang Dina menghantam tubuh musuh, memotong leher, tangan, perut, dan kaki dalam sekali gerak.

"Tuan, larilah! Banyak penjaga mati!"

"Apa gunanya mereka?! Aku sewa seratus lebih penjaga!"

"Percuma saja, Tuan! Mereka berdua terlalu kuat! Penjaga kita, meskipun petualang veteran, tetap kalah! Dan lawannya... dua anak kecil!"

"Anak kecil?! Petualang veteran kalah oleh dua anak kecil?! Sial!!"

SRETT! Suara pintu terbelah oleh tebasan Dina.

Arya dan Dina melangkah masuk. "Selamat malam, wahai binatang sampah. Semoga kekal di neraka."

Arya menembak kepala penguasa dan sekretarisnya. Sebelumnya, ia juga membunuh anak dan istri penguasa yang sama bejatnya. Para pelayan hanya berteriak histeris—dan seperti biasa, dibiarkan hidup.

Dua hari kemudian...

"Heh, kamu udah dengar? Katanya penguasa Ekpiro juga mati!"

"Haha! Syukurlah! Mereka cuma nyusahin rakyat."

"Katanya tempat kejadian ngeri banget. Bahkan setelah kejadian, pelakunya masih sempat bersiul santai."

"Ada yang kasih julukan buat mereka lho."

"Ya, EXONE. Executor One."

"Julukan keren! Karena mereka cuma eksekusi sampah hidup!"

Di Istana Kerajaan...

Sekius menggebrak meja. "EXONE?! Siapa yang kasih mereka julukan itu?! Bukannya itu bikin mereka malah dapat panggung?!"

"Yang Mulia... julukan itu diberikan oleh rakyat."

"Apa pelakunya sudah ditemukan?!"

"Belum. Penyelidik kesulitan, bahkan yang paling ahli sekalipun. Mereka meninggalkan sedikit sihir, seolah sengaja memberi celah."

"Cih, tak berguna!"

Sekius—raja yang bahkan lebih kejam dari para penguasa yang sudah dibunuh—menggertakkan gigi. Di sampingnya, berdiri seorang pria misterius. Ia bawahan langsung raja, pemimpin organisasi pilihan yang kekuatannya diyakini seimbang dengan gabungan Arya dan Dina.

Sementara itu...

"Achoo!" Arya dan Dina bersin bersamaan.

"Kenapa kita bersin bareng ya?" tanya Dina.

"Gak tahu... mungkin banyak yang ngomongin kita."

"Bisa jadi. Bahkan saat perjalanan, kita denger nama EXONE disebut-sebut."

"Haha!"

"Kenapa ketawa?! Suka dikasih julukan begitu?!"

"Enggak juga. Tapi mungkin biar gampang nyebut kita aja. Biarin lah."

Di suatu ruangan gelap...

"EXONE? Siapa mereka?"

"Pembunuh berantai yang menargetkan penguasa korup."

"Hooo... menarik. Aku gak peduli penguasa korup mati, tapi aku suka yang kuat."

"Ada yang mau turun tangan?"

"Aku!" seru salah satu dari mereka. "Jangan ganggu, biar aku saja!"

Mereka adalah SEVEN ECLIPSE. Tujuh anggota tanpa moral, di bawah perintah ajudan raja...

Setelah keberhasilan mereka di Ekpiro, Arya dan Dina melanjutkan perjalanan menuju kota Seji. Berdasarkan peta, kota ini terletak di utara.

“Menurut peta, kalau ke utara kita akan sampai di Seji,” kata Arya. “Tapi ini bukan target. Kota ini damai.”

“Jadi kamu gak turun tangan langsung?” tanya Dina.

“Enggak. Kita hanya lewat saja.”

Mereka memasuki kota Seji dan mendapati rumor yang beredar cukup baik. Tidak ada tanda-tanda penguasa korup.

“Ada aroma makanan enak nih,” kata Arya sambil mengendus udara.

“Aku mau beli! Omong-omong, kita masih punya uang dari kota sebelumnya, kan? Dapat banyak harta tuh,” ujar Dina.

“Masih. Aku ambil sebagian buat bekal.”

“Yay! Kita harus beli banyak persediaan. Lagian kita punya kantong ajaib.”

“Jangan banyak-banyak. Nanti uangnya cepat habis.”

“Iya iya...”

Setelah mengisi persediaan, mereka melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya: Tizar. Untuk sampai ke sana butuh waktu lima hari. Di tengah perjalanan, mereka melihat seorang pedagang budak yang menyiksa seorang anak.

“Hei! Cepat jalan! Lambat sekali kau!”

“I-iya...”

Dina menoleh pada Arya. “Gimana? Aku turun tangan?”

“Silakan. Hati-hati.”

Clang—slash! Dengan kilat, Dina menebas para bajingan itu hingga tubuh mereka tercincang habis.

Dina berjongkok. “Kamu nggak apa-apa? Hei, Ar, sini deh. Dia kelihatan lemas banget. Kamu bisa sihir penyembuhan kan?”

“Iya. HEAL!”

Anak itu sembuh, tapi masih tampak lemah. Arya mengeluarkan makanan dari tas dan menyodorkannya.

“Nih, makan dulu.”

“T-terima kasih banyak...”

“Sekarang kamu sudah aman. Makan perlahan... Namamu siapa?”

“Tidak punya...”

“Hm? Gimana kalau aku kasih nama dan kamu ikut kami?”

“Untuk apa? Ke mana?”

“Perkenalkan, aku Arya Setya dan ini wanita penggila pertarungan bernama Dina. Kami ada untuk mengeksekusi para penguasa korup. Kulihat kamu punya bakat. Kamu bisa bantu mengisi kekurangan di kelompok kami.”

“Hah?! Siapa yang kau panggil penggila pertarungan?!” sela Dina.

“Aku... aku nggak punya bakat. Kalau aku punya, aku gak akan jadi begini...”

“Justru karena kamu berbakat, makanya kamu diincar untuk dijual. Percayalah padaku. Kita ada untuk merevolusi dunia.”

Anak itu menatapnya penuh harap. “Baiklah... Kumohon bawa aku. Aku ingin balas dendam pada mereka yang membunuh orang tuaku.”

“Semangat bagus! Sekarang, namamu adalah Gamma. Artinya ‘tiga’, karena kamu orang ketiga di kelompok ini. Selamat bergabung, nona cantik.”

“Gamma...? Terima kasih... Bolehkah aku memanggilmu kakak?”

“Tentu saja. Dan panggil dia kakak juga.”

“Salam kenal, Gamma,” kata Dina sambil tersenyum.

“Salam kenal, Kakak kedua,” jawab Gamma malu-malu.

“Haha, bagus! Oh iya... berdasarkan yang kulihat, kamu berbakat dalam hal menghilang. Cocok jadi intel. Tugasmu hanya cari informasi, bukan bertarung di garis depan.”

“???” Gamma bingung. “Apa-apaan itu?”

“Kamu akan mengerti nanti. Aku akan ajari.”

Mereka bertiga masuk ke dalam hutan untuk melatih Gamma. Latihan itu berlangsung dua minggu sampai Gamma bisa menghilang sempurna. Eksekusi di kota Tizar pun tertunda. Tapi akhirnya, debut Gamma pun tiba.

“Nah, kamu udah mahir menghilang. Kamu dibelakangku kan?" tanya Arya sambil berjalan di depan.

Gamma menjawab dari belakang. “Kok Kakak tahu aku di belakang?”

“Jangan dipikirkan,” potong Dina. “Dia itu abnormal!”

“Aku nggak mau dengar itu darimu!” balas Arya.

“Apa?!”

Gamma tertawa kecil melihat mereka bertengkar.

“Gamma, nanti kamu masuk ke kota dan kumpulkan informasi. Kami nunggu di pinggir kota. Ini uang buat kamu.”

“Eh, aku juga minta dong,” sela Dina.

“Iya iya, nih.”

Gamma mulai dari bar. Dalam keadaan tak terlihat, ia mencuri dengar kondisi kota, lalu menyusup ke mansion. Ia menghitung jumlah penjaga, lokasi penguasa, ruang tersembunyi tempat budak dikurung, hingga anggota keluarga. Setelah semuanya dicatat, ia kembali.

“Bagus banget, Gamma!” puji Arya sambil mengelus kepala gadis kecil itu.

“Hebat banget debutmu,” tambah Dina.

“Terima kasih...” pipi Gamma memerah.

“Malam ini, kamu tahu cara buka ruang tersembunyi kan? Bebaskan semua budak di sana.”

“Baik, Kak!”

Malam tiba. Dina membunuh penjaga gerbang dan pintu masuk dengan senyap. Ia masuk ke mansion, membunuh satu per satu dengan tenang—mungkin ingin menunjukkan kinerjanya ke Gamma.

“Ar, udah selesai nih. Posisi penguasa ada di lantai tiga, dalam kamar.”

“Oke. Ketemu, dan... selamat tinggal.” Phuu! Peluru sunyi menembus kepala penguasa yang tertidur. Begitu pula keluarganya. Hanya pembantu yang dibiarkan hidup.

Kerchak! Suara pintu tersembunyi terbuka. Gamma masuk.

“Wuih... mengerikan banget... Sekarang kalian bebas. Silakan pergi satu per satu. Kak, beberapa dari mereka terluka. Bisa sembuhkan?”

“Tunggu di situ.” Arya menghampiri, menyembuhkan mereka, dan menyuruh mereka pergi.

Eksekusi pun sukses lagi.

Sementara itu, di kota Deraji...

“Hei!!! Beri kami alkohol terbaik!! Gak tahu siapa kami?! Kami EXONE!!”

Bisik-bisik

“Hah?! Exone?! Tapi kenapa kelakuan mereka kayak penjahat?”

“Ssst! Diam! Nanti kamu dibunuh!”

“Bawa wanita itu ke sini. Dia cantik banget!”

“Cepat ikut! Bos kami menginginkanmu!”

“Kyaaa! Jangan sentuh aku!”

“Hah?! Kamu pikir kamu siapa?! Kami ini EXONE!”

Bisik-bisik

“Mereka di sini udah seminggu. Tapi menurut rumor, exone itu dua anak kecil... Kenapa mereka kayak bapak-bapak terlilit utang judi?!”

“Ssst! Diam! Mau mereka exone atau bukan, kalau ngomong sembarangan bisa mati!”

Tiba-tiba...

Kerchak!

Mars berdiri di ambang pintu, senyum bengis di wajahnya. “Hooo... jadi kalian Exone?”

“S-siapa itu? Anak kecil? Pulang sana, jangan ganggu! Kami ini Exone!”

“Jadi kalian beneran Exone, ya? Kalau begitu... matilah.” FIRE STORM!

Mars mengeluarkan api besar yang membakar habis seluruh bar dan orang-orang di dalamnya.

Saat api padam, ia mendengus kesal. “Eh? Kenapa mereka malah mati?! Perjalanan berminggu-minggu cuma buat ngejar penipu?! Sialan!”

Di kota Merak...

Arya duduk santai sambil menyesap teh. Dina dan Gamma bersantai di sampingnya.

“Wuuhh... kedamaian itu indah, ya,” gumam Arya.

“Benar. Penguasa kota ini baik. Kotanya juga rapi,” kata Dina.

“Makanannya juga enak-enak banget! Kak Dina, ayo ke pemandian air panas!” ajak Gamma.

“Yuk!”

Mereka pergi berdua, meninggalkan Arya.

“Kak Dina cantik banget ya... Rambut biru langit dan mata coklat,” puji Gamma.

“Ah enggaklah. Kamu yang tercantik dan terimut. Rambut emas dan mata hijau zamrud... Kamu tuh gemesin!” Dina memeluknya erat.

“Aduh! Kakak, sakit! Jangan peluk terlalu kuat!”

“Maaf~ Hehe. Soalnya kamu imut!”

“Kakak dari desa yang sama kayak Kak Arya?”

“Iya. Kami dari desa terlantar. Dulu semuanya kelaparan. Arya mulai membangun desa itu, ngajarin bercocok tanam, bangun saluran air... Lalu kami berlatih di hutan. Setelah tiga tahun, kami pergi. Katanya, dia cuma percaya sama aku.”

“Apakah gak ada anak-anak lain di desa itu?”

“Ada. Tapi katanya kalau bawa banyak orang bakal merepotkan. Anak-anak lain juga nggak berbakat. Beda dengan kamu. Kamu punya bakat, jadi bisa bantu.”

“Orang tuaku dibunuh pedagang budak... Kami pedagang, tapi dijarah bandit. Kami dijual, dan orang tuaku dibunuh karena dianggap nggak bernilai... Makanya aku mau balas dendam.”

Dina memeluknya lembut. “Kamu mengalami hal seberat itu ya... Tenang, kita akan hapus semua orang jahat dari dunia ini.”

“...”

“Yuk, udah cukup berendamnya. Kelamaan nanti pusing.”

“Iya, Kak.”

Mereka menemui Arya yang masih minum teh.

“Gimana? Menyenangkan?” tanya Arya.

“Enak! Nyegerin banget!” seru Gamma.

“Benar,” tambah Dina.

“Target kita selanjutnya adalah kota Eryua. Kali ini penjaganya elit, dan kemungkinan ada yang mengejar kita juga.”

“Penjaga elit masih wajar. Tapi siapa yang ngejar?” tanya Dina.

“Tadi kudengar warga bilang ada kelompok yang ngaku-ngaku Exone di Deraji. Dua hari lalu mereka lenyap dibakar bersama barnya.”

“Berarti yang ngejar tahu arah tujuan kita?”

“Mungkin. Kota terdekat dari Tizar adalah Merak. Setelah itu Eryua. Kalau ada yang mencurigakan, langsung lapor lewat alat komunikasi, oke? Jangan bertindak sendirian.”

“Baik!”

“Besok kita ke Eryua. Perjalanan tiga hari. Siapkan barang, lalu tidur. Gamma, selama perjalanan kita latihan.”

“Latihan? Buat apa?”

“Kamu bagian intel. Meskipun nggak bertarung di depan, kamu harus punya dasar untuk bertahan. Menghilang itu hebat, tapi masih bisa dilacak kalau lawan punya kemampuan Search. Siap latihan?”

“Siap, Kak! Kumohon ajari aku!”

“Bagus. Kalau sambil latihan, kita bakal sampai dalam tujuh hari. Tidurlah sekarang.”

“Selamat malam~”

Di kota Tizar...

Mars berjalan mondar-mandir di reruntuhan.

“Cih! Kemana mereka?! Susah banget dilacak! Bahkan setelah ditelusuri ke kota yang mereka lewati pun, nggak ada satu pun rumor yang cocok! Dua anak kecil? Siapa juga yang mau repot-repot nyari anak kecil?! Coba ke kota Merak aja... Berdasarkan arah tujuan, mereka pasti di kota Merak...”

1
luisuriel azuara
Karakternya hidup banget!
Nandaal: terimakasih banyak
total 1 replies
Ani
Gak sabar pengin baca kelanjutan karya mu, thor!
Nandaal: terimakasih banyak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!