Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelajaran Pertama
Shan-Tand masih terdiam menatap sobekan kertas nasi bungkus yang kini menjadi perhatian penuh gurunya. Sementara itu, Bhaskara tampak sibuk menelaah setiap goresan aksara di atas kertas tersebut.
"Ini luar biasa…," gumam Bhaskara. "Meskipun hanya sobekan, ilmu yang tertulis di sini sangat mendalam. Aku bisa merasakan kekuatan yang tersembunyi di dalamnya!"
Shan-Tand menguap kecil. "Guru, kau saja yang membacanya. Aku sudah ngantuk."
Bhaskara mendengus. "Kau ini, dasar murid kurang ajar! Tapi tak apa, istirahatlah. Aku akan mencoba memahami kultivasi dari kitab ini. Kalau berhasil, besok aku yang akan mengajarimu lebih banyak lagi!"
Shan-Tand mengangguk, lalu berbaring di atas tikar dan segera tertidur. Sementara itu, Bhaskara mulai berkultivasi, menyerap energi dari pemahamannya terhadap isi sobekan kitab itu.
Perlahan, tubuh tahunya mulai mengalami perubahan. Jika sebelumnya ia hanya bisa melompat-lompat dan berbicara, kini ia mulai bisa menggeliat dengan lebih luwes. Ia bahkan mencoba menggoyangkan salah satu sudut tubuhnya seperti tangan, dan berhasil!
Lalu dia bergerak menggeser ke kanan ke kiri dengan gerakan lebih cepat! Sampai bisa berputar seperti gasingan! Dan...
"Sruut..!! Clap!! Tlepok!! Kiiik..kiik "
Seekor tokek yang dari tadi berdiam di tiang kamar terjatuh terkena tiupan mulut tahu Bhaskara, hewan itu terlihat kesakitan karena satu tangannya buntung! Lalu pergi merayap dengan terpincang seolah ketakutan,yang aneh adalah luka bekas buntungannya mengeluarkan uap tipis dan tidak ada darah yang keluar, ini seperti dokter yang setelah mengamputasi bagian tubuh pasien lalu menutup luka nya dengan jahitan! .. Begitu hebatnya Bhaskara dalam wujud tahu saat ini!
Hal ini tidaklah aneh, karena pemahamannya tentang ilmu kesaktian sudah sangat tinggi dan mendarah daging di masa lalunya sebagai Pendekar nomer satu di zaman itu. Tapi bagi para pendekar hebat saat inipun, belum tentu akan bisa dengan mudah mempelajari isi Kitab itu tanpa panduan seorang guru yang benar-benar mumpuni ! Apalagi hanya satu sobekan kertas dari sekian lembar kitabnya!
"Ha! Aku mulai bisa mengendalikan tubuhku dengan lebih baik!" serunya girang.
Bhaskara semakin fokus, mencoba memahami lebih dalam rahasia kitab tersebut. Energi aneh mulai mengalir dalam dirinya, membuat tekstur tubuhnya terasa lebih padat, lebih kokoh. Jika sebelumnya ia hanyalah tahu lembek yang bisa bicara, kini ia merasa sedikit lebih solid, seolah ada tenaga baru yang menguatkan dirinya.
Sampai fajar menyingsing, Bhaskara terus berlatih. Ketika Shan-Tand bangun, ia terkejut melihat gurunya tampak lebih bersinar dan lebih "hidup" dari sebelumnya.
"Guru… kau terlihat berbeda. Kau bercahaya seperti tahu kukus yang baru matang!"
Bhaskara tertawa. "Itulah hasil kultivasi dari sobekan kitab ini! Aku semakin kuat, dan itu artinya kau juga harus berlatih lebih keras mulai hari ini!"
Shan-Tand menelan ludah. Ia baru saja bangun, tapi tantangan baru sudah menunggunya!
Dan mulai hari itu Bhaskara memberi tambahan beberapa pelajaran dasar kultivasi Tahu dari sobekan Kitab itu yang telah dia sesuaikan dengan tubuh shan-Tand!
******
Hari itu Di Kota raja...
Shan-Tand melangkah masuk ke warung yang ramai. Aroma rempah dan daging panggang langsung menyergap hidungnya. Para pelanggan duduk berdesakan, berbicara dengan suara keras. Pelayan berlalu-lalang membawa nampan penuh makanan. Di sudut, seorang lelaki tua dengan jenggot putih asyik menyeruput teh sambil mengamati orang-orang yang datang.
Hari ini shan-Tand kembali mengantarkan pesanan ikan asin di warung Bu Pinah.
Setelah selesai dengan urusan "bisnis" Ikannya,
Shan-Tand duduk di sudut warung sambil menunggu pesanannya dibungkus. Matanya tak henti-hentinya melirik ke arah Bu Pinah yang tengah mengambil kertas untuk membungkus nasi. Gurunya, Bhaskara, yang berada dalam labu tuaknya, ikut merasa tegang.
"Kau yakin kali ini kita akan mendapatkannya lagi?" tanya Bhaskara pelan.
Shan-Tand mengangguk mantap. "Jika beruntung, kita bisa mendapatkan sobekan lainnya. Kalau tidak, setidaknya kita tetap bisa makan enak."
Bu Pinah selesai membungkus dan menyerahkan dua nasi bungkus itu kepadanya. Shan-Tand menelan ludah, jantungnya berdegup cepat. Apakah kertas pembungkus itu akan menjadi petunjuk selanjutnya?
Saat itu juga, seseorang dari meja sebelah tiba-tiba bertanya tapi dengan setengah berbisik, "Bu Pinah, dari mana Ibu mendapatkan kertas-kertas bekas ini?"
Shan-Tand dan Bhaskara langsung memasang telinga…
Bu Pinah hanya mengangkat bahu sambil tetap sibuk membungkus nasi. “Saya tidak tahu, Ki Sanak. Anak saya mungkin menemukannya di suatu tempat, lalu dibuat mainan... Ada apa ya, Ki Sanak?”
Pria yang bertanya tadi, Ki Tolok, tampak kaget. Ia baru sadar kalau pertanyaannya terlalu mencolok. Lebih parahnya lagi, beberapa sosok di belakangnya mulai berdehem pelan—sebuah peringatan yang dingin.
Mata mereka melotot tajam, mengunci gerakan Ki Tolok yang seketika menjadi kaku. Mereka adalah pria-pria berpakaian serba hitam dengan potongan pakaian yang sama, tampak ringkas dan siap tempur. Tak hanya itu, gagang golok mencuat dari balik punggung mereka, menandakan bahwa mereka bukan orang sembarangan.
Ki Tolok merasa tenggorokannya kering. Ia tahu siapa orang-orang ini—para pemburu bayaran dari golongan hitam yang sering berkeliaran mencari harta karun persilatan,dari nama Julukannya saja sudah bikin nyali menciut " Tiga Macan Hitam Golok sakti".
Jika mereka mencium sedikit saja keberadaan kitab pusaka yang hilang, bukan tak mungkin nyawanya akan melayang lebih cepat dari yang ia duga.
“Ah... maaf, saya cuma mau pesan nasi bungkus,” ujar Ki Tolok gugup, berusaha mengalihkan perhatian mereka.
Salah satu pria berbaju hitam menyeringai, lalu menyahut dengan suara dalam yang mengandung ancaman, “Bagus kalau begitu, Ki Tolok. Kami juga cuma mau makan... bukan mencari masalah.”
Namun, meski kata-kata itu terdengar santai, tatapan mereka tetap menusuk, seakan memberi peringatan bahwa mereka tak akan segan menebas siapa pun yang menghalangi tujuan mereka.
Shan-Tand yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan menelan ludah. “Gawat,” gumamnya pelan. Ia tahu bahwa situasi ini bisa berbahaya jika dirinya dan sang guru sampai terlibat. Apalagi, jika mereka tahu tentang sobekan kitab pusaka yang kemarin ia dapatkan...
Bhaskara di dalam labu tuaknya berbisik, “Muridku, bersiaplah. Sepertinya ini bukan hanya kebetulan.”
Shan-Tand dan gurunya segera meninggalkan warung, langkah mereka cepat namun tetap tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan. Setelah berjalan cukup jauh, Bhaskara mengajak muridnya mencari tempat berteduh di bawah pohon rindang untuk beristirahat—dan tentu saja, menikmati nasi bungkus mereka.
Namun, baru saja mereka hendak duduk, sebuah suara berat dan dingin menghentikan langkah mereka.
“Anak muda, pelan dulu…”
Shan-Tand tersentak, tubuhnya menegang seketika. Ia mengenali suara itu—suara milik tiga pria yang tadi ada di warung!
Tiga sosok mendekat dengan langkah santai, namun penuh tekanan. Salah satu dari mereka, pria bertubuh kekar dengan codet melintang di pipi namanya adalah Suto berok, menyeringai sambil menatap Shan-Tand dari ujung kepala hingga kaki. Dengan nada penuh kepercayaan diri, ia bertanya, “Apakah kau tidak tahu siapa kami ini?”
Shan-Tand hanya mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat, tapi tak menemukan jawaban. Dengan polos ia menjawab, “Maaf, saya bukan penduduk sini, jadi kurang mengenal para paman ini.”
Jawaban itu membuat ketiga pria di depannya sedikit berubah ekspresi. Senyum tipis mereka menghilang, digantikan tatapan tak suka.
“Hmph! Rupanya kau berani juga,” pria bercodet mendecakkan lidah. “Dengar baik-baik, kami adalah penguasa wilayah ini.Tiga Macan Hitam Golok sakti! Siapa pun yang melewati daerah kami harus melapor. Apalagi jika orang itu mencurigakan, seperti dirimu, anak muda.”
Shan-Tand masih belum sepenuhnya mengerti maksud mereka. Apakah mereka benar-benar berkuasa di daerah ini? Atau hanya preman yang ingin mencari masalah?
Saat itulah, Bhaskara—yang masih dalam wujud tahu—berbisik pelan, “Muridku, mereka hanya ingin mencari masalah denganmu. Bersiaplah.”
Shan-Tand menelan ludah. Tapi sebelum ia bisa menanggapinya, salah satu dari tiga pria itu menghardik dengan suara lebih keras.
“Hei, anak muda! Apa kau tuli?! Cepat serahkan barang-barangmu untuk kami periksa! Jika memang tidak ada yang mencurigakan, kau boleh pergi dari sini.”
Shan-Tand mulai memahami situasinya. Ini bukan sekadar pemeriksaan biasa—mereka mencoba merampoknya dengan alasan yang dibuat-buat.
Tapi, apa yang harus ia lakukan sekarang?
Guru Tahu nya berbisik " Muridku, ada saran sederhana.. Lari! "
Tanpa pikir panjang shan-Tand langsung mundur dan... Lari sekencang-kencangnya!
Tiga Macan Hitam Golok sakti hanya melongo melihat " Target" Mereka kabur.
Detik berikutnya mereka sudah saling berkejaran, berlarian seperti anak kecil yang sedang bermain-main.
"Hei anak yang tak tahu diuntung, awas jangan lari kau..!! "
Mereka berteriak-teriak kepada shan-Tand.
Shan-Tand menengok ke belakang dan kaget melihat mereka benar-benar mengejarnya!
Tapi dia merasa lebih heran karena larinya bisa lebih cepat dari mereka bertiga!
Sebenarnya hal itu tidak begitu mengherankan, karena para pengejarnya bukanlah benar-benar pendekar hebat yang sesungguhnya. Mereka hanyalah preman pasar yang memiliki sedikit ilmu beladiri namun membuat julukan yang angker dan keren agar ditakuti orang.
"Guru, apakah aku merasa semakin kuat dari sebelumnya, apakah ini efek latihan semalam? "
" Bisa jadi muridku, ilmu baru dari sobekan Kitab itu benar-benar luar biasa. Padahal kau hanya baru mempelajarinya sedikit. Teruslah berlari dan cari keramaian! "
Bhaskara memberi intruksi singkat.
Bhaskara bukan tidak tahu kalo yang mengejarnya hanyalah masalah kecil, namun itu bagus buat latihan muridnya.
Namun tetap saja bagi shan-Tand ini adalah hal baru sehingga dia merasa berdebar dan takut.
Sesuai instruksi gurunya dia berlari kesana kemari, membelok, melompat ke samping dan terus berlari hingga dilihatnya ada beberapa pasukan keamanan sedang berpatroli.
Dia mendapatkan ide! Dia sontak berteriak "Tolong...!! "
Pasukan keamanan kerajaan yang sedang berpatroli langsung menoleh ke arah suara itu. Para penjaga mengenakan baju besi ringan dengan lambang kerajaan di dada mereka. Melihat seorang pemuda berlari tergopoh-gopoh sambil berteriak
"Perampok! Perampok!",
mereka segera bersiaga.
Di belakang Shan-Tand, tiga pria berpakaian hitam yang tadi mengejarnya tampak terkejut. Mereka saling pandang, menyadari bahwa situasi telah berbalik.
“Brengsek! Dia menjebak kita!” desis salah satu dari mereka.
Namun terlambat—beberapa penjaga sudah bergerak maju, tombak mereka terangkat, siap menghadang siapa pun yang dianggap mencurigakan.
“Berhenti di tempat! Angkat tangan kalian!” teriak salah satu penjaga.
Shan-Tand, yang masih terengah-engah, segera melambai ke arah pasukan sambil menunjukkan wajah "korban tak berdaya". "Mereka mencoba merampokku, Tuan! Saya hanya membeli nasi bungkus, tapi tiba-tiba mereka mengejar saya seperti ingin mengambil sesuatu!"
Para penjaga semakin curiga. Mereka menatap tajam ke arah tiga pria berpakaian hitam yang kini tampak gelisah.
“Kalian! Siapa kalian sebenarnya? Apa benar kalian mencoba merampok pemuda ini?”
Suto berok si Pria bercodet, yang tampaknya pemimpin dari mereka, buru-buru mengubah ekspresi wajahnya. “T-tidak, tidak! Ini hanya kesalahpahaman, Tuan. Kami hanya ingin memastikan pemuda ini tidak membawa sesuatu yang berbahaya.”
Salah satu penjaga mendengus. “Alasan yang aneh. Sejak kapan rakyat biasa harus diperiksa nasi bungkusnya?!”
Shan-Tand memanfaatkan momentum ini. Ia menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara penuh kepolosan, "Mereka hendak merampas nasi bungkus saya, padahal ini bekal makan siang saya, Tuan Penjaga…"
Kata-katanya seketika menciptakan efek luar biasa. Seolah-olah Shan-Tand baru saja menampar harga diri para pengejarnya di depan umum. Para penjaga menoleh ke tiga pria itu dengan tatapan meremehkan.
"Jadi kalian mencoba merampas bekal makan siang seorang anak muda?" salah satu penjaga mencibir.
"Hahaha! Betapa rendahnya kalian! Apa kalian sudah kelaparan sampai harus merampas makanan rakyat biasa?" timpal penjaga lain, tertawa sinis.
Wajah ketiga pria berpakaian hitam itu memerah karena malu dan amarah. Tapi mereka tak bisa membantah. Jika mereka mencoba membela diri, mereka justru akan terlihat semakin mencurigakan.
“Atau… kalian ini mata-mata?” seorang penjaga lain menambahkan dengan nada lebih tajam.
Mata ketiga pria itu membelalak. Tuduhan seperti ini bisa berakibat buruk. Jika mereka dianggap sebagai mata-mata atau pengacau, mereka bisa langsung ditahan dan diinterogasi di bawah hukum kerajaan—dan semua pendekar tahu, interogasi di bawah hukum kerajaan tidak pernah berakhir baik.
“T-tidak! Kami bukan mata-mata, Tuan! Kami hanya…” Suto berok si pria bercodet mencari alasan, tapi situasi semakin sulit untuk mereka.
Di sisi lain, Shan-Tand menatap mereka dengan tatapan polos penuh kepura-puraan. Dalam hati, ia bersorak girang. "Terima kasih, Guru! Strategimu berhasil!"
Sementara itu, Bhaskara—tertawa kecil di dalam kepalanya. “Tentu saja, muridku. Kalau mereka tetap nekat menyerang, mereka akan berurusan dengan kerajaan. Ini namanya:
menggunakan kekuatan yang lebih besar untuk menghancurkan lawan tanpa harus mengeluarkan kekuatan sendiri. Pelajaran pertamamu dalam strategi bertahan hidup.”
Shan-Tand pura-pura menelan ludah, lalu berkata lagi, "Tuan penjaga, saya takut mereka masih akan mengejar saya nanti. Bisa saya meminta perlindungan sementara di pos penjagaan?"
Para penjaga saling berpandangan sejenak, lalu salah satu dari mereka mengangguk. “Baiklah. Kau ikut kami.”
Shan-Tand menekan senyum di wajahnya. Ini bukan hanya perlindungan—ini juga cara terbaik untuk memastikan tiga pria itu tidak bisa berbuat macam-macam lagi terhadapnya.
Ketiga pria berpakaian hitam hanya bisa menggertakkan gigi, menahan kekesalan mereka. Kitab yang mereka cari mungkin saja ada di tangan pemuda itu, tapi sekarang mereka tak bisa berbuat apa-apa… untuk sementara.
Shan-Tand melangkah dengan hati-hati di antara para penjaga kerajaan yang kini mengawalnya menuju pos penjagaan. Sementara itu, ketiga pria berpakaian hitam hanya bisa berdiri kaku, wajah mereka menegang saat para penjaga mulai mengepung mereka.
“Kalian bertiga, ikut kami!” perintah salah satu penjaga, seorang pria berperawakan tinggi dengan janggut lebat. Suaranya tegas, tak memberi ruang untuk bantahan.
Pria bercodet mencoba mengendalikan situasi. “Tuan penjaga, ini sungguh kesalahpahaman. Kami hanya mencoba memastikan keamanan wilayah ini.”
Penjaga yang memimpin operasi itu menatapnya tajam. “Keamanan wilayah? Dengan mengejar seorang pemuda hanya karena nasi bungkusnya?” Ia tertawa sinis. “Kalian pikir kami bodoh?”
Seorang penjaga lain menepuk bahu pria bercodet dengan kasar. “Cukup bicara. Kalau kalian tak bersalah, kalian bisa menjelaskan semuanya di pos penjagaan.”
Ketiga pria itu saling bertukar pandang. Mereka tahu bahwa melawan hanya akan membuat keadaan semakin buruk. Dengan enggan, mereka membiarkan para penjaga mengapit mereka, sementara tangan mereka diam-diam mengepal.
Di sisi lain, Shan-Tand tetap berusaha mempertahankan ekspresi polosnya, tapi di dalam hati, ia hampir tertawa puas. “Ini lebih mudah dari yang kukira…” pikirnya.
Saat tiba di pos penjagaan, Shan-Tand duduk di bangku kayu panjang yang tersedia di teras bangunan itu. Ia pura-pura menghela napas panjang, menampilkan wajah kelelahan setelah “insiden” tadi.
“Pemuda, ceritakan lagi dari awal. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya kepala penjaga, seorang pria paruh baya dengan bekas luka di pelipisnya.
Shan-Tand menunduk sejenak, seolah mencoba mengumpulkan pikirannya. Lalu, dengan suara tenang namun penuh kepolosan, ia berkata, “Saya hanya membeli nasi bungkus di warung Bu Pinah, Tuan. Tiba-tiba, mereka mengejar saya dan memaksa ingin memeriksa nasi bungkus saya.”
Salah satu penjaga mengangkat alis. “Nasi bungkus?”
Shan-Tand mengangguk. “Ya, Tuan. Mereka bilang saya mencurigakan. Saya tidak tahu apa maksudnya, tapi saya takut. karena takut saya lari, lalu saya melihat para penjaga dan meminta pertolongan.”
Para penjaga saling berpandangan. Kepala penjaga menghela napas, lalu menatap ketiga pria berpakaian hitam yang kini berdiri dengan wajah datar.
“Sekarang giliran kalian. Jelaskan kenapa kalian mengejar pemuda ini?”
Suto berok berpikir keras. Ia tak bisa mengungkap alasan sebenarnya—bahwa mereka sedang memburu sobekan kitab pusaka yang mungkin ada di kertas pembungkus nasi itu. Akhirnya, ia mencoba mencari celah.
“Tuan penjaga, kami hanya mencoba memastikan keamanan. Kami mendengar ada banyak orang mencurigakan berkeliaran belakangan ini. Kami pikir anak ini…”
“Oh? Kalian penjaga keamanan resmi?” Kepala penjaga memotong dengan nada tajam.
Suto berok terdiam.
“Sejak kapan pasukan kerajaan menunjuk kalian untuk menjaga keamanan? Aku tak pernah menerima laporan bahwa ada kelompok seperti kalian yang bertugas di wilayah ini.” Kepala penjaga menyilangkan tangan, wajahnya penuh kecurigaan.
Salah satu pria berpakaian hitam yang berdiri di belakang pria bercodet mulai berkeringat. Situasi semakin sulit bagi mereka.
“Kami hanya…”
“Sudah cukup. Kalian bertiga akan kami tahan sementara untuk pemeriksaan lebih lanjut.”
“APA?!” Suto berok nyaris melangkah maju, tapi beberapa penjaga segera mengangkat tombak mereka, memberi peringatan tegas.
“Jangan coba-coba,” salah satu penjaga memperingatkan.
Dengan terpaksa, ketiga pria itu akhirnya menunduk. Mereka tak punya pilihan selain menurut.
Sementara itu, Shan-Tand kembali menunduk, menyembunyikan ekspresi lega di wajahnya. “Setidaknya untuk sementara, mereka tak bisa mengejarku lagi.”
Di dalam kepalanya, suara Bhaskara terdengar lembut, penuh kebanggaan.
“Kau melakukan langkah yang cerdas, muridku. Tapi ingat, mereka tak akan diam begitu saja. Ini hanya awal.”
Shan-Tand menggigit bibirnya. Ia tahu benar bahwa ini belum selesai. Tapi untuk saat ini, ia bisa menikmati nasi bungkusnya tanpa gangguan.