🌹Alan Praja Diwangsa & Inanti Faradiya🌹
Ini hanya sepenggal cerita tentang gadis miskin yang diperkosa seorang pengusaha kaya, menjadi istrinya namun tidak dianggap. Bahkan, anaknya yang ada dalam kandungannya tidak diinginkan.
Inanti tersiksa dengan sikap Alan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Untuk Mereka
🌹VOTE🌹
AUTHOR POV
"Hallo?"
'Hallo, Inanti. Assalamualaikum, hehe. Maaf ganggu ya?'
"Siapa ya?"
Inanti enggan beranjak dari tempat tidur, lagian ini masih malam. Pukul dua dini hari. "Ini siapa?" Inanti tanya lagi saat terdengar suara menguap.
'Ini Judi, yang mirip Justin Bieber.'
"Oh, kamu. Kenapa malem malem nelpon?"
'Abis tadi gue gak liat lu lagi di warungnya Mbok Maemunah, katanya lu berhenti. Gue telponin kemarin kemarin ga diangkat. Lu gak papa kan? Sehat wal afiat kan?'
"Engga, aku ga papa kok. Emang aku keluar, gak kerja lagi di sana."
'Ya, gak bakalan ketemu lagi dong.'
Dari nada suaranya Inanti menebak, ini bule pasti mau ngomong banyak. "Jud, sorry nih, ini malem. La--"
'Lagi tidur? Iya gue yang harusnya minta maaf. Iseng sih nelpon lu lagi, eh ternyata diangkat.'
"Iy--"
'Yaudah kalau lu baik, gue juga mau keluar disamper temen. Eh kapan kapan ketemu lagi ya, ntar gue telpon lagi.'
"Ta--"
'Assalamualaikum.'
"Waalaikum salam."
Inanti menghela napas, menyingkirkan hape telolet. Asli, kamar ini panas banget, mana pengab lagi. Yang bisa Inanti lakukan hanya membuka pintu jendela, yang mana menghadap langsung ke arah kolam renang belakang.
Kasurnya di atas lantai, bantal guling lepek. Ya Allah, malangnya nasibnya ditempatkan di kamar pembantu.
Rasa gerah membuatnya membuka baju, menyisakan tanktop dan celana kolor pendek berwarna ungu. Masa bodo lah, gak ada yang liat ini.
Saat lapar, Inanti ingat Bi Idah membeli semangka sebelum dia pulang.
"Dede lapar ya? Jam segini udah minta makan lagi," gumamnya pada perut yang masih datar.
Sebenci apapun Alan, sejelek apapun dia dan saudara juga temannya menilai dirinya, Inanti akan selalu berdoa supaya mereka dibukakan pintu hatinya.
"Dede tenang saja, nanti jika Mama sudah punya uang yang banyak, kita bisa menjauh dari sini."
Inanti menghabiskan seperempat semangka, membuat perutnya kekenyangan.
"Astaga, ini pasti punya Kak Alan." Saat melihat tas ransel besar di tengah rumah. Dan benar saja, saat membukanya, isinya adalah pakaian.
"Ini kotor." Opininya melihat pakaian itu terbalik, menandakan bekas dipakai. "Sebaiknya Inanti mencuci saja, lagian belum ngantuk."
Setidaknya ada tiga kemeja dan dua kaos di tas itu. Mumpung menyalakan mesin cuci, Inanti ikut serta memasukan pakaiannya yang kotor. Karena biasanya, Inanti selalu mencuci manual, mengingat Alan melarangnya melakukan segala hal.
"Dia tidak akan marah, Inanti mencuci pakaian miliknya juga," ucapnya meyakinkan dirinya sendiri.
Pakaian bekas Ibu, Inanti juga mencucinya.
"Lebih baik dijemur sekarang, supaya besok tinggal istirahat."
Jemuran biasanya di atas, tapi mengingat ini malam, Inanti menggantung baju Alan di tempatnya biasa mengeringkan pakaian, tepatnya di belakang kamar pembantu. Inanti sendiri yang membuat tali untuk pakaiannya.
"Bissmillah, semoga Kak Alan mulai menerima Inanti dengan awal semua ini."
🌹🌹🌹
"Inanti! Inanti!"
"Iya, Kak."
Mengangkat rok mukena, Inanti berlari keluar kamar. Wajah marahnya menyambut. "Kenapa, Kak?"
"Baju saya di sini, kamu kemanain?"
"I… Itu…. Inanti cuci."
"Apa? Kamu cuci?"
"Itu baju kotor 'kan? Jadi Inan cuci."
Tanpa berkata, dia melangkah ke tempat Inanti menjemur pakaian. Kaki Inanti otomatis mengikutinya. Dia melangkah lebar, dengan amarah tertahan. Tangannya mengambil paksa salah satu pakaiannya yang Inanti cuci, lalu menciumnya seolah mencari aroma sesuatu.
"Inan mencucinya," kata Inanti lagi.
Tatapan marahnya terlempar lagi pada istrinya. "Kan saya sudah bilang, kamu itu jangan sentuh barang pribadi saya. Wilayah kamu itu cuma kamar belakang, diem di sana, jangan sentuh area saya."
"Inan cuma mau bantu, kan pakaiannya kotor."
"Ga usah bantu kalau ga tau."
"Inan cuma mau bantu," kata Inanti lagi menahan air mata.
"Kamu tahu? Sekarang parfume Vanesa hilang gara gara kamu. Dasar bodoh, bisanya bikin orang marah aja. Gak usah hidup kamu kalau kerjaannya bikin orang lain susah. Dasar bodoh."
Dia mengambil semua bajunya, dan berlalu begitu saja. Inanti menangis di sana, mata Inanti menatap rok mukena yang kotor karena terinjak. Semua yang Inanti lakukan salah, Alan tetap membencinya.
Bahkan, saat Inanti masuk ke dalam, Alan enggan menatap. Yang mana membuatnya segera berlalu ke dalam kamar dan menangis di sana. Inanti ingin keluar dari tempat ini, tapi ke mana Inanti akan pergi? Dalam keadaan hamil di usia yang masih muda, tidak ada yang mau menerima Inanti bekerja.
Maka darinya, Inanti menyingkirkan semua rasa malu. Memilih kontak dalam telpon hingga Inanti berani menghubungi Dokter Imam. Pria itu tahu kisahnya, serinci rincinya.
"Hallo, Assalamualikum."
'Waalaikum salam. Inan? Kamu kenapa?' Dokter Imam seakan peka dengan suara tangisannya. 'Kamu sakit, Nan?'
"Maaf jika Inan lancang, Dok. Apa boleh Inan bekerja di klinik dokter?" Inanti berani menanyakannya karena Inanti tahu dokter Imam tengah mencari pembersih di kliniknya.
'Nan, kamu tahu saya sedang membutuhkan tukang bersih bersih. Kamu kan se--'
"Gak papa, Dok. Inan Mau, boleh ya? Mulai hari ini Inan akan bekerja. Gimana dok?"
'Jarak dari rumah kamu ke klinik saya kan jauh, apalagi nanti pulangnya malam. Ga baik buat kamu.'
"Tapi Inan butuh pekerjaan, Dok," ucapnya dengan menahan tangisan.
Dan Inanti tahu dokter Imam pasti mendengar suara tangisnya.
'Inanti…..' suaranya lembut. 'Kamu boleh datang, jam tujuh sudah ada di sini ya.'
"Makasih, Dok."
Keheningan melanda, dokter Imam tidak menjawab.
'Jangan nangis lagi, Inanti.'
Dan entah mengapa, kalimat itu menyiratkan banyak sekali kepedulian.
"Makasih, Dok."
Alasannya ingin bekerja tentu saja supaya punya uang dan lari dari sini. Toh, pada akhirnya Alan akan terus mengejar Vanesa, Bapak akan keluar dari penjara dan menempati rumah bekas Ibu. Inanti tidak ingin terus menerus dalam posisi ini. Setidaknya Inanti harus punya tabungan untuk persiapan anak anaknya.
"Bu, ini pisang yang Ibu minta kemarin."
"Saya bawa aja, Bi," ucapnya memasukan ke dalam tas slempang besar.
"Ibu mau keluar?"
"Iya, Bi. Liat Kak Alan nggak?"
"Tuan sudah keluar tadi, katanya mau sarapan di luar. Ibu mau makan apa?"
"Saya juga mau makan di luar, Bi."
"Pulang jam berapa, Bu?"
"Agak malam, Bi. Saya mau ke rumah temen. Bibi siapkan makanan untuk Kak Alan nanti ya."
"Baik, Bu."
Dan Inanti berjanji pada dirinya sendiri mulai saat itu, Inanti tidak akan peduli lagi pada Alan. Biarlah dia sesukanya dengan hidupnya, pun dengan dirinya. Inanti akan menata hidup dengan baik. Supaya saat anak anaknya lahir nanti, mereka jauh dari orang orang yang tidak menginginkan mereka.
Ya, anak anak. Inanti mengandung anak kembar.
🌹🌹🌹
tbc..