Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35
Ratih memaksakan senyum lelah kepada Dara, berusaha menyingkirkan sisa-sisa mimpi buruk di terminal. Namun, ketenangan yang palsu itu tidak menghilangkan rasa dingin yang menusuknya. Di dalam bus yang kini melaju membelah malam, dia bisa merasakan denyutan samar dari Liontin Penyatuan Hati di lengannya. Itu adalah resonansi, bukan hanya dari ikatan mereka, tetapi juga dari ancaman yang baru saja mereka hadapi. Pecahan Entitas Tunggal itu nyata, dan entah bagaimana, ia telah mengikuti mereka ke dunia ini.
Mereka tiba di ibukota saat fajar menyingsing. Kota itu terasa asing, namun juga akrab—semua kebisingan, bau polusi, dan hiruk pikuk yang telah mereka lupakan di dimensi batin. Dengan sisa uang tunai yang tipis, mereka membayar taksi daring ke kosan lama Ratih.
Kamar kos itu menyambut mereka dengan kebekuan. Aroma karpet tua, debu yang menempel di furnitur, dan keheningan yang menyesakkan. Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian dengan baju lama yang tersisa, mereka duduk di tepi ranjang.
“Kita punya sekitar lima ratus ribu rupiah,” bisik Dara, memegang dompet Ratih. “Itu cukup untuk makan beberapa hari dan biaya transportasi.”
“Kita harus cepat,” kata Ratih, menatap liontinnya. “Kita tidak bisa diam. Kita butuh petunjuk yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa.”
Malam harinya, setelah makan seadanya, Ratih dan Dara berbaring untuk beristirahat. Kelelahan membuat mereka cepat terlelap, tetapi bagi Dara, tidur bukanlah pelarian.
Dia menemukan dirinya berada di lorong tak berujung yang terbuat dari abu. Semuanya abu-abu, dingin, dan sunyi. Dia mengenali tempat itu: Ruang Antara, lapisan tipis di ambang Void.
Tiba-tiba, dia mendengar suara napas yang terengah-engah. Suara itu berasal dari sudut lorong, dan saat Dara mendekat, dia melihatnya: sesosok bayangan yang terikat pada rantai energi.
Itu adalah Wijaya.
Wijaya terlihat lebih tua, jubahnya robek, dan matanya penuh penderitaan. Di punggungnya, pedang panjangnya masih utuh, tetapi diselimuti lapisan es tipis. Dia tidak melihat Dara; matanya tertutup rapat, dan dia meronta melawan ikatan tak kasat mata.
“Wijaya!” teriak Dara, berlari.
Saat Dara menyentuh bahunya, Wijaya tersentak. Dia membuka mata, dan Dara melihat kengerian yang tersembunyi di dalamnya.
“Pergi, Dara! Jangan sentuh aku!” teriak Wijaya, suaranya pecah. “Kami terjebak dalam putaran waktu. Entitas itu… ia mencoba memutar kembali apa yang telah kita hancurkan. Jaya… dia… dia menahan diri. Dia membuat kita terpisah!”
Di sisi lain lorong, bayangan lain berdenyut, jauh lebih besar dan kuat. Itu adalah Jaya, yang berdiri di tengah lingkaran aksara kuno yang terbakar. Wajahnya kejang, dan dia memegang gulungan perkamen yang menyala.
“Ini harga dari kebebasan, Dara! Kami harus menjaga agar Pintu Dimensi Batin tetap stabil di sisi ini!” raung Jaya, suaranya memantul dengan gema yang menyakitkan. “Kami membeli waktu, Dara! Cari… cari yang sudah lama ditinggalkan… yang diabaikan…!”
Saat itu, lorong mulai runtuh. Dari celah-celah abu, mata ungu kosong yang familiar muncul—mata Kakek Misterius.
“Penyesalan adalah umpan yang lezat,” bisik suara itu, membelah seperti pecahan kaca.
" Mari berkorban anak cantik, aku akan kembalikan jaya padamu, tapi ambil leotin itu untuku" ha ha ha
Dara merasakan sakit yang hebat di dadanya, rasa sakit karena kehilangan dan keraguan.
Dara terbangun dengan napas memburu, tubuhnya berkeringat dingin. Dia mencengkeram tangan Ratih erat-erat.
“Kita tidak punya waktu, Ratih,” bisik Dara, wajahnya pucat pasi. “Mereka sedang menahan pintu itu. Mereka butuh petunjuk yang lama!”
Pagi itu, dengan tekad baru yang dibentuk oleh mimpi buruk, mereka menuju Perpustakaan Nasional. Bukan untuk mencari buku baru, tetapi mencari bangunan yang sudah diabaikan dan terlupakan: Perpustakaan Tua di distrik kota lama.
Bangunan itu, dengan arsitektur kolonialnya yang suram dan dinding yang berlumut, terasa seperti kapsul waktu. Di dalamnya, udara berbau kertas tua, debu, dan sejarah yang stagnan. Mereka berpura-pura menjadi mahasiswa yang sedang meneliti sejarah lokal.
Mereka menyadari pesan Jaya: “cari yang sudah lama ditinggalkan… yang diabaikan…”
Mereka menghindari bagian modern dan langsung menuju ruang arsip yang jarang dikunjungi, yang berisi catatan tentang legenda, mitos, dan sejarah pinggiran kota. Mereka mencari kata kunci yang berhubungan dengan desa kuno, batu megalit, dan anomali dimensi.
Setelah berjam-jam mencari dengan tangan kotor dan mata perih, Ratih menarik sebuah buku usang yang tertutup debu, berjudul "Kumpulan Cerita Rakyat dan Keseimbangan Alam Batin Jawa Barat" dari tahun 1950-an.
Di dalamnya, di bawah bab tentang kepercayaan lama, ada sebuah sketsa tangan yang kasar tentang tiga batu megalit. Di bawah sketsa itu, ada catatan pendek:
“...Tiga Batu itu dulunya dikenal sebagai Tiga Jangkar Dimensi Batin, sebuah portal menuju alam di mana waktu dan ruang menari. Dulu dijaga oleh para penahan keseimbangan, yang dikenal sebagai Pewaris Jantung Putih. Namun, setelah bencana gempa besar di tahun 1920, area itu ditutup oleh pemerintah kolonial, dianggap sebagai lahan kosong yang tidak memiliki nilai. Para penjaga dilaporkan menghilang, konon terserap ke dalam portal yang mereka jaga. Konon, kunci untuk membukanya kembali bukanlah tempat, tetapi sebuah Gulungan Mantra Pengorbanan yang disembunyikan di balik prasasti paling tua di kuil kota lama.
Gulungan Mantra Pengorbanan.
Saat Ratih menutup buku itu, dia merasakan getaran di dadanya. Itu adalah sensasi yang familiar: rasa lapar. Mereka belum makan sejak semalam.
“Dara, kita harus segera mencari Kuil Kota Lama,” bisik Ratih.
Dara mengangguk, namun matanya tertuju pada dompet tipis yang disembunyikan di saku jubahnya.
“Kita punya uang untuk naik bus satu kali lagi, Ratih,” jawab Dara, suaranya tercekat. “Setelah itu, uang kita habis. Kita harus mencari gulungan itu, tetapi kita juga harus bertahan hidup di sini.”
Mereka memutuskan. Sebelum melanjutkan misi, mereka harus mencari pekerjaan secepatnya. Misi ini bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, dan mereka tidak bisa mengandalkan keajaiban dimensi untuk mengisi perut mereka.
Kekuatan Api Putih dan Cahaya Ungu mereka telah hilang, tetapi Dara masih memiliki logika yang tajam, dan Ratih memiliki wajah yang mudah dipercaya.
Mereka menyewa sebuah kamar kontrakan kecil yang kumuh di pinggiran kota. Hanya satu hari, mereka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki dari toko ke toko, menawarkan jasa mereka.
Dara, dengan kemampuan berhitungnya, mendapat pekerjaan paruh waktu mencatat inventaris di sebuah warung grosir. Pekerjaan itu melelahkan, membuat tangannya kotor, dan upahnya kecil, tetapi itu cukup untuk makan dan sewa satu minggu.
Ratih, dengan keterampilan sosial dan ketenangannya, mendapat pekerjaan sebagai pelayan di sebuah warung kopi sederhana. Dia harus berdiri berjam-jam, menghadapi berbagai macam pelanggan, tetapi setiap sen yang ia hasilkan adalah selangkah lebih dekat untuk menemukan Jaya dan Wijaya.
Sore harinya, setelah pekerjaan melelahkan mereka, mereka bertemu di kontrakan. Mereka saling berbagi sepotong roti dan sarden, kelelahan fisik mereka adalah sebuah ironi setelah menaklukkan Entitas Kosmik.
“Rasanya sangat konyol, Ratih,” ujar Dara, tertawa kecil. “Kita menghentikan kehancuran alam semesta, tapi kita berjuang untuk membeli telur.”
Ratih tersenyum. “Itulah arti menjadi ‘jangkar’ di dunia ini, Dara. Kita harus berakar pada realitas agar dimensi kita stabil. Tapi setidaknya, ini memberikan kita waktu untuk merencanakan.”
Ratih mengeluarkan buku tua dari tasnya. “Gulungan itu di Kuil Kota Lama. Kita punya cukup uang untuk hidup selama empat hari lagi, dan kita harus bekerja paruh waktu. Kita akan pergi ke sana besok malam, setelah warung kopi tutup. Kita harus memecahkan ‘Mantra Pengorbanan’ itu.”
Liontin Penyatuan Hati di lengan Ratih berdenyut, seolah bersemangat. Mereka telah jatuh dari ketinggian kosmik ke lumpur realitas, tetapi semangat mereka tidak pernah padam. Mereka adalah bagian dari ikatan itu, dan mereka akan menemukan jalan kembali, meskipun harus dimulai dengan menjadi pelayan dan pencatat inventaris.
Halo teman-teman, ayo saling sapa, siapa aja ni yang udah baca novel author 🙏🤗