Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35
Di kamar mewah yang terasa dingin dan luas, Ara bolak-balik gelisah di atas ranjang. Sudah hampir pukul satu dini hari, namun Edward, suaminya, belum juga kembali.
Ketakutan itu mulai merayap naik, dingin dan menyesakkan. Ia tahu Edward pergi menemui Julia, mantan kekasihnya, dan bayangan mereka berdua di kamar yang sama membuat hati Ara seperti diremas.
“Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Setelah ini, Edward pasti memutuskan untuk kembali pada Julia,” pikirnya panik.
Sungguh, Ara tak bisa membiarkan itu. Meskipun pernikahan ini berawal dari paksaan dan hutang, Ara telah jatuh terlalu dalam.
Ara akui, ia sudah mulai mencintai Edward, sosok dingin dan kejam itu, dengan segala kerumitan yang menyelimutinya.
Dan kini, Ara bertekad akan memperjuangkan apapun demi bertahan di sisi Edward, di rumah ini, sebagai istrinya.
Dengan tekad yang bulat, Ara bangkit. Ia mengambil jubah tidur dan mengenakannya. Kakinya yang cacat, akibat kecelakaan yang merenggut nyawa orang tuanya, terasa sedikit nyeri saat menapak lantai.
Perlahan, Ara membuka pintu kamar. Ia harus menyusul Edward. Mungkin suaminya saat ini sedang berada di kamar milik Julia, di lantai bawah.
Begitu ia mencapai lorong, sebuah suara kecil mengagetkannya.
“Tante mau ke mana?”
Ara tersentak dan menoleh.
Di sofa panjang di sudut lorong, duduklah Alex yang tampak asyik membaca buku tebal yang jauh dari kata pantas dibaca anak seusianya.
“Eh, kamu... belum tidur, Alex?” tanya Ara, berusaha terdengar normal meski jantungnya masih berdebar.
Alex menggeleng pelan, tanpa mengalihkan pandangan dari lembar buku di tangannya.
“Aku selalu tidur menjelang pagi atau bahkan tidak sama sekali. Banyak yang harus aku kerjakan, Tante," jawab bocah cerdas itu, kata-katanya terdengar seperti seorang manajer keuangan yang sibuk.
Ara berjalan mendekat, rasa cemasnya terhadap Edward sejenak tergantikan oleh kehangatan melihat kepolosan yang dibalut kedewasaan saat menatap Alex.
Ara menunduk dan mengusap penuh kasih sayang kepala Alex. “Tentu saja, banyak pekerjaan, ya. Mau Tante bacakan cerita?”
Alex spontan mendengus. “Cih, aku bukan anak kecil, Tante Ara,” balasnya sambil menutup buku dengan sedikit kasar, menunjukkan protesnya.
Ara terkekeh pelan. Ternyata Alex memang berbeda dari bocah seusianya yang tak mau diperlakukan seperti anak kecil.
Namun, menurut Ara, Alex tetaplah kecil, dan sikapnya itu justru membuatnya makin menggemaskan.
“Baiklah, baiklah, Tante minta maaf,” kata Ara, masih berjongkok di hadapan Alex. Ia berusaha menahan sakit yang mulai terasa di lututnya. Ia tak bisa berjongkok terlalu lama.
“Kau mau Tante melakukan apa supaya kau cepat tidur?” tanya Ara.
Melihat Ara berjongkok dengan susah payah, Alex mengerti. Tatapan mata anak itu berubah serius.
Alex meraih lengan Ara dan memapah tubuhnya agar berdiri tegak.
“Jangan memaksakan diri, Tante,” tegur Alex. Ia kemudian menarik tangan Ara dan mengajaknya duduk di sofa yang tak jauh dari sana, tempat Alex tadi membaca.
“Tidak Mama, tidak Tante Ara. Semua wanita suka sekali berbohong,” gumam Alex dengan nada bijak yang ironis. “Kenapa wanita senang sekali bicara yang tidak sesuai dengan hati dan pikirannya?”
Ara hanya tersenyum tipis, merasa terpojok oleh pertanyaan polos tapi menusuk dari bocah itu.
Alex kemudian duduk di lantai, tepat di hadapan Ara.
Dengan gerakan yang mengejutkan, ia mengangkat kaki Ara yang sakit dan menaruhnya perlahan di pangkuannya.
Jari-jari mungil Alex mulai memijat kaki Ara. Ara meringis pelan karena pijatan itu mengenai otot yang tegang.
“Ini pertama kalinya dalam hidupku memijat kaki seseorang selain Mama,” kata Alex, fokus pada pijatannya.
“Benarkah? Wah, aku beruntung sekali kalau begitu,” ucap Ara, mulai menikmati sentuhan lembut Alex yang terasa menghangatkan.
Rasa sakitnya mulai mereda, tergantikan oleh rasa takjub pada keponakan suaminya.
Alex mendongak, matanya bertemu dengan mata Ara.
“Ya, Tante beruntung. Dan sebentar lagi, Tante akan diratukan oleh Paman Edward, bahkan keluarga besar kami.”
Ucapan Alex sontak membuat Ara bingung. Ia menegakkan tubuhnya, melupakan rasa sakit di kakinya.
“Maksudmu?” Ara bertanya, jantungnya kembali berdetak kencang, kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena harapan yang tiba-tiba muncul.
Perkataan bocah ini terasa begitu aneh dan penuh rahasia. Seolah-olah Alex mengetahui sesuatu tentang Edward yang ia tidak tahu?
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul