Semua ini tentang Lucyana Putri Chandra yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
Apakah Lucyana berani jatuh cinta lagi?
Kali ini pada seorang Sadewa Nugraha Abimanyu yang jauh lebih muda darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Setelah Badai
Bagai disambar petir, Dewa membeku di tempat. Kata cerai seperti menghantam keras dadanya. Ia tidak pernah—bahkan dalam mimpi paling buruk—membayangkan mendengarnya dari perempuan yang ia nikahi. Bagi Dewa, pernikahan itu hanya sekali seumur hidup.
“Apa lo bilang barusan?”
Suaranya rendah, tapi bergetar menahan amarah. Tangannya mengepal. “Cerai? Lo pikir gampang?!”
Perempuan itu tersentak kecil, sedikit mundur selangkah. Hatinya tercekat melihat perubahan drastis suaminya. Ia berkedip cepat, air mata yang menggantung di pelupuk jatuh tanpa bisa ditahan.
Dewa menarik napas panjang, namun justru terdengar seperti desis.
“Lucy… gue tau kita nikah tiba-tiba.”
Ada jeda. Dadanya naik turun.
“Tapi bukan berarti lo bisa ngomong cerai gitu aja.”
Lucy tidak menjawab. Tangannya gemetaran halus, berusaha menghapus air matanya yang turun semakin deras. Ia tidak berani mengangkat wajah. Ini pertama kalinya ia merasa… takut? Bukan karena pria itu akan menyakitinya, tapi karena ia baru benar-benar melihat betapa kerasnya luka ucapan itu bagi Dewa.
Pria itu menatapnya lama, napasnya berat seolah sedang menahan sesuatu yang hampir meledak lagi.
“Ini pertama dan terakhir kalinya gue denger lo ngomong kayak gini.”
Suaranya tegas namun serak.
“Sampai kapanpun… gue gak akan pernah ceraiin lo.”
Tanpa menunggu respons, ia berbalik. Langkahnya cepat namun kacau, seperti seseorang yang ingin menjauh sebelum emosinya benar-benar pecah. Pintu kamar bergetar saat Dewa menutupnya.
Lucy berdiri mematung beberapa detik—masih terkejut, masih memproses bahwa suaminya bisa semarah itu. Kemudian tubuhnya perlahan melemah, ia jatuh terduduk di tepi ranjang. Bahunya berguncang, dan air mata mengalir lebih deras, menyadari bahwa mereka baru saja melukai satu sama lain.
Dewa meraih kunci motor dengan gerakan cepat, seolah takut jika ia berhenti satu detik saja, emosinya akan pecah kembali. Ia keluar rumah tanpa menoleh, helm disambar, lalu mesin motor menyala dengan deruman tajam.
Ia bukan kabur. Ia hanya butuh ruang—untuk dirinya, juga istrinya. Mencegah pertengkaran mereka berubah semakin buruk. Di jalan, angin sore menerpa wajahnya. Lampu-lampu toko mulai menyala satu per satu, sementara lalu lintas dipenuhi kendaraan yang bergerak lambat. Klakson terdengar bersahutan, bayangan trotoar berganti-ganti, tapi pikiran Dewa tetap kusut.
Beberapa menit kemudian, motor Dewa berhenti di depan outlet Reddog miliknya. Ia melepas helm dengan kasar, menggantungnya di motor, lalu melangkah masuk. Asep, yang sedang mengecek stok minuman, langsung menyapa dengan senyum lebar.
“Wih, manten baru. Baru nongol lagi dimari.”
Nada bercandanya ringan.
Tapi Dewa hanya melewatinya begitu saja, tidak menyahut, bahkan tidak menoleh. Asep otomatis berhenti tersenyum, kepalanya miring sedikit, memperhatikan bahu bosnya yang tegang. Asep menggeleng pelan. Ia tahu betul: bosnya sedang tidak baik-baik saja.
Dari arah dapur, Aldo muncul sambil mengeringkan tangan dengan lap. “Si bos kenapa tuh dateng-dateng wajahnya manyun begitu?”
Asep mengangkat kedua bahunya. “Gak tau, udah biarin jangan di ganggu dulu.”
Sementara itu, Dewa sudah masuk ke ruang istirahat karyawan. Ruangan kecil itu sunyi, hanya ada suara kipas yang berputar malas di langit-langit. Dewa menjatuhkan dirinya ke kasur tipis, berbaring terlentang. Lengan kanannya melindungi kepala sebagai bantal sementara tangan kirinya menutup mata, menahan pening yang muncul karena emosi sejak tadi tidak reda. Helaan napasnya keluar panjang, berat.
Sial… kenapa jadi kayak gini?
Niat gue tadinya cuma mau jelasin soal chat itu. Tapi malah— ia mengusap wajahnya kasar —malah berujung begini.
Dadanya terasa sesak. Kata-kata wanita itu masih terngiang, tajam, dingin, dan menyayat. Dewa menekan jemari ke pelipisnya, berharap kekacauan di kepalanya ikut mereda. Tapi justru semakin jelas. Semakin menghantam. Ia menutup mata lebih rapat, berusaha mengatur napas—namun kegelisahannya tidak kunjung reda.
...****************...
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Roller shutter outlet Reddog perlahan diturunkan, bunyinya bergema di sepanjang deretan toko yang mulai gelap. Beberapa karyawan sudah pamit pulang. Kini, hanya Aldo dan Asep yang tersisa. Mereka berdiri di dekat pintu ruang istirahat, saling bertukar pandang sebelum mengintip ke dalam.
Dewa masih di sana—terlentang di kasur tipis dengan lengan menutupi mata. Dari luar, seolah ia tertidur. Tapi dada yang naik turun gelisah menandakan sebaliknya.
Aldo menghela napas pelan lalu masuk.
“Bang… ada masalah?”
Ia mendekat, Asep mengikutinya dari belakang. “Kenapa? Lo berantem ama istri ya?”. Pria itu menyilangkan tangan di dada.
Pertanyaan itu membuat Dewa membuka mata pelan. Ia mengusap wajahnya, lalu bergeser duduk bersandar ke tembok. Napas panjang lolos dari bibirnya. “Ya… gitulah.”
Aldo dan Asep ikut duduk di lantai, berjejer di samping Dewa. “Bang, gue kasih tau nih…”
Ia menatap langit-langit sebentar, seolah mengingat sesuatu. “Pernikahan itu isinya cuma dua hal.”
Dewa menoleh, alisnya terangkat bingung. mencoba mencerna apa yang di ucapkan Karyawannya itu.
“Dua hal ?"
Aldo mengangguk mantap.
"Iya, menerima… dan memaafkan, bang. Artinya lo cuma perlu nerima kekurangannya, dan memaafkan kesalahannya.”
Ia mengangkat bahu, nada suaranya lebih lembut.
“Memang nggak gampang. Tapi kalau kalian saling menjalaninya… gue yakin masalah kayak gini bisa lewat.”
Pria itu termenung, matanya menatap ke lantai. Kata-kata itu menancap pelan—lebih masuk justru karena datang dari anak bawahan yang polos. Asep, sejak tadi hanya diam, mengangguk kecil mendukung.
Dewa mendecak sambil memijit tengkuk.
“Ah, gaya lo kayak udah nikah aja.
“Lah, gue emang udah nikah bang!”
Dewa menoleh cepat, kaget. “Hah? Serius? Bukannya umur lo baru dua puluh-an? Sama kayak gue.”
Aldo nyengir sambil menggaruk belakang kepalanya malu-malu. “Itu… karena gue dulu kebobolan, Bang. Hehe.”
Dewa memejamkan mata sejenak. “Astaga… bener-bener lo ya.”
Aldo mengangkat dua tangan, seolah membela diri. “Eits! Tapi meski awalnya salah, gue sekarang serius, Bang. Gue tanggung jawab kok nafkahin keluarga kecil gue.”
Dewa terdiam sebentar, kemudian mengangguk tipis."Iya, haruslah itu...”
Asep menepuk lututnya lalu berdiri.
“Biarpun dia masih muda, seenggaknya bisa kasih tips sederhanalah, Bang. Siapa tau bermanfaat. Ya nggak, Do?”
Aldo mengangguk ikut berdiri sambil mengacungkan jempol. Aldo: “Betul!”
Dewa menghela napas, wajahnya sedikit lebih tenang. “Iya, iya… makasih sarannya. Udah, lo berdua pulang aja, udah malem. Biar gue di sini.”
Asep menepuk bahu Dewa lembut.
“Oke, Bang. Kita balik dulu. Sabar ya.”
Aldo menambahkan sambil tersenyum kecil.
“Semangat, Bang.”
Pria itu mengibaskan tangan, menyuruh mereka pergi tanpa perlu basa-basi. Setelah keduanya hilang di balik pintu, sunyi kembali mengisi ruangan kecil itu. Dewa membiarkan tubuhnya jatuh perlahan ke kasur tipis yang ada disitu. Kata-kata Aldo terus berputar di kepalanya: Menerima… dan memaafkan.
Di ruang istirahat Reddog, pria itu mencoba meredakan dadanya yang sesak.
Sementara di tempat lain, Lucy masih mengenakan pakaian kerjanya. Blazer belum sempat dilepas, rambut yang terikat mulai mengendur ikatannya, wajahnya pun tampak lelah. Ia duduk di tepi ranjang, menatap ujung jarinya sendiri yang saling meremas gelisah. Dalam hati, ia menggerutu lirih:
Kayaknya ucapan gue tadi… emang keterlaluan.
Ia mengangkat wajah, menatap jam dinding. Jarumnya sudah mendekati angka satu. 00:57. Dan tetap… belum ada tanda-tanda suaminya pulang.
“Udah jam segini… dia ke mana, coba,” gumamnya, suaranya pelan tapi sarat khawatir.
Tangannya otomatis meraih ponsel. Layarnya gelap—tidak ada pesan. Tidak ada panggilan.
Ia menggigit bibir bawahnya, ragu beberapa detik, lalu menyingkirkan gengsi yang masih mengganjal. Dengan langkah pelan nan gelisah, ia keluar kamar menuju ruang tamu yang remang. Sambil berjalan ia menekan nama Sadewa di daftar kontak.
Hanya suara operator yang datar, menusuk jantungnya pelan-pelan. Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.
Lucy menunduk, menelan kecewa. “Dewa… di mana sih lo?” bisiknya.
Khawatir mulai menyalip rasa marah.
Gue takut… kalo dia tidur ga di rumah, gimana kalau sleepwalking-nya kambuh lagi…
Napaknya berat saat ia kembali menuju sofa. Ia duduk perlahan, menarik napas panjang. Rasa bersalah dan cemas bercampur jadi satu, menumpuk di dada sampai sulit bernapas. Kepalanya bersandar pada sandaran sofa. Sekejap saja kelopak matanya terasa berat. Dan akhirnya, di tengah kekhawatirannya sendiri… Lucy tertidur di sofa, masih menggenggam ponsel di tangannya.
Keesokan paginya, Dewa bangun lebih awal dari biasanya. Outlet masih sepi, belum ada satu pun karyawan yang datang. Ia memilih menghabiskan waktu dengan merapikan tempat itu—menyapu sedikit, menata kursi, lalu mengelap etalase dapur.
Dengan punggung menghadap ke arah meja kasir, ia fokus pada kaca etalase yang berembun. Gerakan tangannya berhenti ketika terdengar suara pintu dibuka dari depan. Ia refleks menoleh.
“Mohon maaf, kita belum buk—”
Kalimatnya menggantung di udara. Seketika tubuhnya membeku. Di ambang pintu, berdiri seorang wanita yang tak ia sangka akan muncul sepagi itu—seseorang yang langsung membuat napasnya tercekat.
...----------------...
Masih pagii, siapaa yang bertamu itu?? Ada yang bisa nebak?
Staytune terus ya untuk setiap kelanjutan kisah Dewa-Lucy, hanya disini~ 😍
Jangan lupa untuk berikan vote like dan komentar ya readers! 🤗
Terimakasih! 💕
Sehat selalu readers~ 💓
apapun kondisi anaknya,hati seorang ibu tetaplah tulus pada anaknya....