"aku...aku hamil Rayan !!" teriak frustasi seorang gadis
" bagaimana bisa laa" kaget pemuda di depannya.
Laluna putri 19 tahun gadis desa yatim piatu yang tinggal bersama neneknya sejak kecil.
Rayyan Aditya 22 tahun mahasiswa semester akhir anak orang berada asal kota.
Alvino Mahendra 30 tahun CEO perusahaan besar AM grup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rizkysonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35.
.
.
.
Sore itu, taman kota tampak lengang. Hanya suara burung dan desir angin yang menemani langkah Luna. Ia duduk di bangku tua di bawah pohon flamboyan, memandangi langit yang mulai berwarna jingga. Wajahnya pucat, mata sembab, sisa air mata yang belum sempat kering setelah berhari-hari bergulat dengan pikirannya.
Di tangannya menggenggam cup coklat berharap menenangkan sedikit perasaan. Ia tersenyum getir.
“Kalau saja waktu bisa diputar kembali...” bisiknya lirih.
Namun ketenangan itu mendadak pecah ketika sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di depan taman. Dari sana turun seorang pria berjas abu tua, dengan langkah tegap dan tatapan tajam, Alvino Mahendra, CEO muda yang dikenal kejam di dunia bisnis. Aura wibawa dan dinginnya terasa bahkan sebelum ia berbicara.
Tanpa sengaja, Luna yang hendak berdiri justru tersandung akar pohon dan membuat coklat yang ia bawa tumpah, tepat mengenai sepatu mahal pria itu.
“Ya Tuhan! Saya... saya minta maaf!” seru Luna panik, buru-buru mengeluarkan tisu dari tasnya.
Alvino menatap ke bawah, menelusuri noda di sepatunya dengan tatapan dingin penuh ketidaksukaan.
“Kau tahu berapa harga sepatu ini?” suaranya dalam dan tajam.
Luna menelan ludah, gugup. “Saya benar-benar tidak sengaja, Pak. Saya akan bersihkan..”
“Jangan sentuh,” potong Alvino dengan nada tegas. “Orang ceroboh sepertimu seharusnya tidak berada di tempat umum kalau tidak bisa menjaga diri.”
Kata-kata itu menusuk, membuat dada Luna sesak.
Ia menggigit bibir, menahan emosi. “Saya sudah bilang maaf. Tidak perlu menghina.”
Alvino mendengus kecil. “Kau pikir permintaan maaf bisa menghapus kecerobohan mu?”
Tatapannya menusuk seperti pisau. “Dunia ini tidak seramah yang kau kira, Nona.”
Luna menatap balik, kali ini dengan sorot mata yang mulai berani.
“Mungkin Bapak terlalu sering hidup di dunia yang penuh angka dan uang, sampai lupa kalau orang lain juga bisa berbuat salah tanpa niat.”
Hening sejenak. Alvino memandangnya lebih lama, bukan karena kagum, tapi karena tak menyangka seorang perempuan dengan penampilan sederhana berani membalas ucapannya.
Wajahnya mengeras. “Mulutmu tajam juga. Kalau bukan karena aku sedang terburu-buru, aku mungkin sudah membuatmu menyesal.”
Ia melangkah pergi tanpa menoleh, meninggalkan aroma parfum mahal dan hawa dingin yang menekan dada Luna.
Luna hanya berdiri terpaku, menatap punggung pria itu menjauh.
Entah kenapa, amarah dan rasa kesal bercampur menjadi satu.
“Pria sombong!” gerutunya pelan. “Semoga aku tidak perlu bertemu lagi dengan orang seperti itu.”
...
Sudah seminggu sejak Luna diizinkan pulang dari rumah sakit. Luka di tubuhnya mungkin telah membaik, tapi luka di hatinya belum.
Setiap malam, ia terbangun karena mimpi yang sama, suara tangis bayi yang semakin menjauh, seolah dipisahkan darinya dengan tembok tak kasat mata.
Luna duduk di ranjang, menatap kosong ke arah jendela. Hujan turun perlahan, membasahi kaca yang berembun.
"Nak... bagaimana keadaan kamu sekarang...?" bisiknya lirih.
Ia tahu, bayinya hidup dengan baik. Karena tau Novi begitu menginginkan Seorang bayi, Dan ia juga tahu, Novi orang yang dulu ia anggap saudara menyembunyikan sesuatu.
Sejak pulang, Novi menghindar. Telepon tak diangkat, pesan tak dibalas. Semua seperti menghilang.
...
Hari itu, Luna akhirnya memberanikan diri melangkah keluar rumah. Dengan tubuh yang masih lemah, ia menuju rumah Novi. Namun begitu sampai di depan gerbang, ia hanya menemukan keheningan. Pintu terkunci, jendela tertutup rapat.
Luna menggenggam dada, menahan gemuruh emosinya.
“Kenapa, kak... kenapa kamu tega?” ucapnya lirih, matanya berkaca-kaca.
Ia sadar, tidak bisa terus menunggu. Ia harus bertindak.
Jika Novi tak mau bicara, maka satu-satunya harapan ada pada mertuanya, ibu Rayyan yang kini berada di luar negeri menemani putranya berobat.
Meski hubungan mereka kurang dekat, entah kenapa setiap kali Luna menghubungi nya, selalu tak bisa atau di tolak terus, Luna nekat menghubungi nomor lama Bu Meri.
Tangannya bergetar saat menekan tombol panggilan.
Nada sambung terdengar lama, sampai akhirnya suara yang sangat ia nantikan menjawab.
“Halo?”
“ma... ini Luna.”
Hening sejenak. Hanya suara napas dari seberang.
“Luna? Kenapa kamu hubungi saya lagi ?”
Suara Bu Meri terdengar tegas, tapi di baliknya ada nada letih.
Degg.. Luna merasa aneh dengan nada suara Bu Meri, nada itu adalah yang biasa Luna dengar saat saat pertama ia datang ke kota.
Luna menelan ludah. “mah... maaf. Saya cuma ingin tahu kabar kak Rayyan. Dan... saya juga ingin bicara tentang anak saya.”
“Rayyan belum sadar. Tapi dokter bilang kondisinya mulai stabil, dan semua itu gara-gara kamu sampai Rayyan seperti ini.”
“maa, aku gak tau kalau kejadian nya bakal seperti ini, maafkan aku ma, aku tau aku salah, aku teledor maa...”
Luna menarik napas dalam, namun kemudian suaranya mulai bergetar, airmata nya turun tanpa bisa di tahan.
" sudahlah, saya berharap tidak bertemu lagi dengan kamu, sebaiknya kamu keluar dari rumah saya."
" maksud mama apa...?"
" saya tau semuanya, kamu hanya mau manfaatin anak saya, kamu hamil anak orang lain dan meminta Rayyan untuk menanggungnya, dan sekarang setelah Rayyan celaka kamu mau kembali lagi sama orang itu, iya kan begitu?"
" gak ma... Semua yang mama bilang gak bener ma.. Percaya sama aku.. "
" sudahlah sebaiknya kamu beresin barang kamu dan keluar dari rumah saya "
“mam, tunggu ma, aku mau tanya tentang bayi kami... aku mohon, bantu aku ma. aku tahu kak Novi menyembunyikannya. aku hanya ingin memeluk anak ku ma.”
Suara Bu Meri terdengar pelan namun tajam.
“kenapa sih tuh anak malah ambil bayi nya, sudah di suruh kembalikan juga, gak Sudi aku harus melihat anak haram itu”
Luna menunduk, air mata jatuh ke pangkuannya.
“ma aku mohon kembali kan dia ma, terserah mam mau bilang apa, yang penting aku bisa ketemu sama anakku ma... Dan satu lagi dia anak kak Rayyan.”
Hening panjang menyelimuti. Hanya terdengar desahan napas Bu Meri di seberang.
“Baiklah. Saya akan cari tahu keberadaan Novi. Tapi setelah kamu bertemu dengan anak kamu, kamu pergi dari kehidupan kami, pergi dari Rayyan untuk selamanya ”
Luna menggenggam ponselnya erat. “Saya tidak peduli apapun lagi ma, Saya hanya ingin anak saya kembali.”
“Kalau begitu, bersiaplah. ingat janji kamu, jangan pernah bertemu lagi dengan anak saya.”
Sambungan terputus.
Luna menatap layar ponsel yang gelap, tapi di balik matanya yang sembab, kini ada cahaya kecil, tekad.
Untuk pertama kalinya setelah Rayyan pergi, ia kembali punya alasan untuk berdiri tegak.
" kak Rayyan maafkan aku kak, bukan aku gak cinta lagi sama kakak, tapi aku gak mau kehilangan anak kita kak, aku mencintaimu..."
Ia tahu jalannya tidak akan mudah, tapi ia berjanji...
apa pun yang terjadi, ia akan merebut kembali darah dagingnya sendiri...
.
.
.
terimakasih untuk semua yang sudah mampir ke karya pertama ku..😊
Jangan lupa untuk dukung author dengan like dan komen dan vote ya..🤗
Love
You
😍