Bagi Nadin, bekerja di perusahaan besar itu impian. Sampai dia sadar, bosnya ternyata anak tetangga sendiri! Marvin Alexander, dingin, perfeksionis, dan dulu sering jadi korban keisengannya.
Suatu hari tumpahan kopi bikin seluruh kantor geger, dan sejak itu hubungan mereka beku. Eh, belum selesai drama kantor, orang tua malah menjodohkan mereka berdua!
Nadin mau nolak, tapi gimana kalau ternyata bos jutek itu diam-diam suka sama dia?
Pernikahan rahasia, cemburu di tempat kerja, dan tetangga yang hobi ikut campur,
siapa sangka cinta bisa sechaotic ini.
Yuk, simak kisah mereka di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35.
Pagi itu, suasana rumah terasa terlalu tenang untuk ukuran keluarga Alexander. Tak ada obrolan ringan dari Araya di dapur. Hanya denting sendok bertemu cangkir dan aroma kopi yang menyebar di udara.
Nadin duduk di meja makan, mengenakan dress kasual lembut warna krem. Wajahnya tampak segar, tapi matanya menunjukkan bekas lelah. Di depannya, sepiring roti dan buah masih utuh.
Marvin datang beberapa menit kemudian, mengenakan kemeja biru tua dan jam tangan kerja. Ia tampak seperti biasa tenang, elegan, tapi kali ini tatapan matanya sedikit berbeda: terlalu hati-hati.
“Pagi,” katanya sambil duduk di seberang meja.
“Pagi.” Nadin tersenyum kecil, berusaha terlihat wajar. “Kopi kamu udah aku buat, nggak terlalu manis.”
Marvin mengangguk, mengambil cangkir itu tanpa banyak bicara. “Kamu nggak makan?”
“Belum lapar.”
“Harusnya kamu tetap makan. Apalagi sekarang kamu...”
“Hamil, iya,” potong Nadin cepat, tapi masih dengan nada lembut. “Aku tahu, Marvin.”
Sunyi, hanya terdengar suara jam dinding. Marvin memandangi istrinya beberapa detik. Tatapan yang dulu hangat kini terasa seperti pisau tumpul tidak melukai, tapi tetap menusuk.
“Aku dengar kamu semalam keluar ruang tamu jam sepuluh lewat,” katanya pelan, seolah sekadar mengingat. “Kamu nungguin seseorang?”
Nadin berhenti mengaduk jus di tangannya.
“Oh, itu ... aku cuma ngobrol sama Rico lewat telepon. Ada beberapa hal soal laporan sosial kemarin yang belum aku serahkan ke tim.”
“Telepon?” Marvin menatapnya lurus. “Bukan ketemu langsung?”
Nadin membalas tatapan itu, bibirnya terangkat kecil. “Kamu mengira aku keluar rumah malam-malam?”
“Bukan mengira.” Marvin meletakkan sendoknya perlahan. “Aku dengar suara pintu samping dibuka.”
Nadin tak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata ringan,
“Mungkin kamu salah dengar. Pintu itu sering bunyi karena angin malam, kan?”
Marvin mengangguk pelan. “Mungkin.”
Tapi ekspresinya tetap sama dingin, tenang, namun menyimpan sesuatu. Setelah beberapa saat diam, Nadin membalikkan situasi.
“Kantormu gimana? Aku dengar proyekmu sedikit terganggu.”
“Sedikit,” jawab Marvin cepat. “Tapi aku sudah tahu sumbernya dari mana.”
“Oh?”
“Ya.” Ia menatap Nadin lebih tajam. “Dari seseorang yang pandai menyembunyikan langkah.”
Kali ini, Nadin tak lagi menatap canggung. Ia menegakkan tubuhnya, tersenyum samar.
“Kalau begitu kamu harus hati-hati. Orang seperti itu biasanya lebih berbahaya daripada yang terang-terangan menyerang.”
Mereka saling menatap lama, tak ada yang mengalihkan pandangan. Senyum Nadin tetap manis, tapi matanya menyala seperti seseorang yang tahu lebih banyak dari yang ia katakan. Marvin pun serupa terlihat santai, padahal nadinya berdenyut cepat di bawah kulit. Setelah beberapa detik, Marvin mengalah lebih dulu. Ia berdiri, merapikan jasnya.
“Aku berangkat dulu.”
Nadin hanya mengangguk, suaranya lembut. “Jangan terlalu keras bekerja, kamu belum sarapan.”
“Begitu juga kamu,” jawab Marvin sambil berjalan ke arah pintu.
Sebelum keluar, ia sempat berhenti sejenak dan menatap kembali ke arah Nadin.
“Dan, kalau kamu butuh sesuatu ... jangan sungkan bilang padaku. Aku nggak suka kalau ada orang lain tahu sesuatu lebih dulu dari aku.”
Pintu tertutup perlahan. Nadin menatap kosong ke arah pintu, lalu menghela napas panjang. Tangan kirinya menyentuh perut, sementara tangan kanan menggenggam ponselnya erat.
“Maaf, Marvin,” bisiknya pelan. “Aku belum bisa kasih tahu kamu sekarang.”
Hari sudah sore ketika awan menggantung berat di langit kota. Di kantor Alexander Group, suasana lebih sunyi dari biasanya. Para karyawan menatap layar komputer tanpa banyak bicara, seolah merasakan hawa tegang yang merayap di udara.
Di lantai paling atas, Marvin berdiri di depan jendela besar ruangannya. Ponsel di tangannya bergetar pesan dari tim internal audit yang sejak seminggu lalu ia tugaskan diam-diam.
“Kami menemukan pola transaksi mencurigakan, Pak. Semua mengarah ke anak perusahaan yang dikelola oleh salah satu staf lama, di bawah koordinasi divisi pemasaran proyek sosial.”
Marvin menatap layar itu beberapa detik. Jantungnya berdegup cepat. Ia tahu siapa kepala divisi pemasaran proyek sosial, Aidan, staf yang dulu direkrut oleh Anita Mudi.
“Jadi ini kerjaan kalian,” gumamnya dingin.
Tanpa banyak bicara, ia menekan nomor sekretarisnya.
“Siapkan ruang rapat. Hanya saya, Aidan, dan Anita Mudi. Tutup pintu rapat, jangan biarkan siapa pun masuk.”
Beberapa menit kemudian, ruangan itu sunyi. Aidan duduk gelisah di ujung meja panjang, sementara Anita masuk dengan senyum tipis, seolah yakin semuanya masih bisa dikendalikan.
“Marvin, ada apa sampai harus rapat tertutup begini?” tanya Anita manis, duduk dengan anggun.
Marvin tak langsung menjawab. Ia menyalakan proyektor, menampilkan serangkaian data dan grafik di layar. “Kamu lihat ini?” katanya pelan tapi tegas. “Transfer dana proyek sosial ke rekening perusahaan bayangan. Aidan yang mengurus, tapi data pengesahan datang dari pihak perusahaan Mudi.”
Anita menegang. “Kamu menuduh aku?”
“Aku cuma menunjukkan bukti,” jawab Marvin dingin. “Dan aku tahu motifnya. Mengacaukan proyek Alexander agar investor menarik diri, lalu Mudi Group masuk mengambil alih, cerdas. Tapi terlalu bersih untuk ukuran kamu, Anita. Kamu pasti dibantu.”
Aidan langsung pucat, suaranya bergetar. “Aku ... aku cuma ikut perintah, Pak. Semua perintah dari Nona Anita!”
“Diam!” bentak Anita, tapi terlambat. Marvin sudah berdiri, menatapnya lurus.
“Jadi kamu benar-benar sejauh ini, Anita?”
Anita bangkit, menahan napas. “Aku hanya ingin kamu sadar, Marvin. Dulu kamu milik keluarga Mudi bukan hanya keluarga Alexander. Kamu berubah sejak menikahi perempuan itu!”
Marvin tersenyum dingin. “Ya, aku berubah. Karena aku akhirnya tahu siapa yang tulus dan siapa yang cuma ingin menang.”
Ia menekan tombol interkom. Dua staf keamanan masuk. “Kawal mereka ke bagian hukum. Semua bukti sudah aku kirim ke tim legal.”
Anita menatap Marvin tak percaya, lalu melangkah keluar dengan wajah penuh amarah. “Kamu akan menyesal, Marvin! Dunia bisnis nggak sesederhana pernikahanmu itu!”
Marvin tak menjawab. Ia hanya menatap layar yang kini menampilkan foto-foto Nadin saat memimpin proyek sosial berdiri di panggung, tersenyum tulus, dengan tangan memegang mikrofon. Untuk pertama kalinya hari itu, ia tersenyum.
“Masalah ini selesai,” gumamnya. “Sekarang aku cuma perlu pulang … dan minta maaf karena sempat curiga.”
Sore harinya di rumah. Nadin sedang membaca buku di ruang tamu saat suara pintu depan terbuka. Marvin masuk, wajahnya letih tapi lega.
“Kamu pulang cepat,” kata Nadin pelan.
“Masalah kantor sudah beres,” jawab Marvin, mendekat. Ia duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Dan aku mau bilang maaf, karena sempat curiga tanpa alasan.”
Nadin menatapnya lama, kemudian tersenyum lembut.
“Kamu nggak salah, Vin. Aku pun sempat sembunyikan sesuatu.”
Marvin mengerutkan kening. “Sembunyikan apa?”
“Aku juga cari tahu tentang sabotase itu … lewat orang kepercayaanku. Aku nggak mau kamu tanggung semua sendirian.”
Marvin terdiam beberapa detik, lalu menarik Nadin ke dalam pelukan hangat.
“Berarti kita sama-sama bodoh,” katanya pelan.
Nadin tertawa kecil di bahunya. “Bodoh, tapi saling lindungi.”
Mereka berdua duduk diam, membiarkan keheningan menyelimuti. Di luar jendela, hujan mulai turun perlahan, membawa hawa segar ke seluruh rumah.
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍 😍 😍
semangat Nadin....halau dan hempaskan pelakor yang masuk ke dalam rumah tangga .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍