NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35. Luka dibalik perintah Raja

Malam menua perlahan di langit Samudra Jaya. Angin laut membawa aroma asin dan dingin, melewati taman-taman istana yang mulai redup oleh cahaya pelita. Di paviliun belakang, Putri Dyah Anindya duduk sendirian di tepi jendela. Lentera berayun pelan tertiup angin, memantulkan cahaya lembut di wajahnya yang pucat. Ia belum juga tidur sejak berbicara dengan sang ayah. Kata-kata Prabu Harjaya masih terngiang di telinganya—“Kadang dewata memilih jalan yang paling berat bagi mereka yang paling kuat.”

Dyah menutup mata, namun yang muncul justru wajah Panglima Aruna mata yang dalam, suara tegas, dan tatapan yang pernah begitu dekat namun kini terasa sejauh langit dan bumi.

“Kenapa semua ini terasa salah?” bisiknya lirih. “Padahal aku hanya ingin hidup dengan hati yang jujur.” Ia menatap keluar jendela. Di halaman latihan, cahaya obor masih tampak samar. Di sanalah Aruna biasanya menghabiskan malam—berlatih sendirian, menenangkan pikirannya dari segala beban istana. Entah dorongan apa yang membuat langkahnya bergerak, tapi sebelum sadar, Dyah sudah berdiri dan menyelampirkan selendang.

“Warih,” katanya pelan pada dayangnya yang berjaga di depan pintu, “aku ingin berjalan sebentar. Jangan khawatir, aku hanya ke taman belakang.”

Dayang itu menunduk. “Baik, Gusti. Tapi setidaknya izinkan hamba membawa lentera.”

Dyah menggeleng lembut. “Tak perlu. Biarkan malam menuntunku.”

Taman belakang istana sunyi. Hanya suara gemericik air kolam dan desir angin yang menembus daun kamboja. Cahaya rembulan jatuh di atas rerumputan, membentuk bayang panjang pepohonan yang menari perlahan. Dyah berjalan melewati jembatan kecil menuju lapangan latihan. Dari kejauhan ia melihat sosok tegap berdiri sendirian di tengah tanah lapang — Panglima Aruna, dengan pedang di tangan dan peluh di dahi, memandang langit tanpa kata. Langkah Dyah terhenti. Hatinya bergetar hebat, tapi bibirnya tak mampu memanggil nama itu. Ia hanya menatap — membiarkan matanya berbicara lebih dulu sebelum suara sempat lahir. Namun seolah disadari oleh naluri, Aruna menoleh. Begitu matanya menemukan sosok sang putri, ia menunduk hormat.

“Paduka Putri…” suaranya rendah, sedikit bergetar, “malam telah larut. Apa yang membawa Paduka ke tempat latihan prajurit?”

Dyah melangkah pelan, matanya tak lepas dari wajah Aruna. “Kadang malam justru terasa terang saat hati terlalu gelap,” jawabnya pelan. “Dan hanya di tempat seperti ini aku bisa mengingat bahwa aku masih hidup.”

Aruna menatapnya lama. “Paduka tidak seharusnya berjalan sendiri di waktu seperti ini. Jika ayahanda tahu—”

“—Ayahanda akan memarahiku,” potong Dyah lembut, senyum pahit tersungging di bibirnya. “Tapi biarlah malam ini aku memandang langit tanpa harus takut pada titah langit itu sendiri.” Keheningan turun di antara mereka. Angin malam menyusup di sela rambut Dyah, membuat selendangnya berkibar ringan. Aruna menatapnya — begitu dekat, tapi terasa mustahil dijangkau.

“Apakah Gusti Putri telah menerima surat dari Raden Kusumanegara?” tanya Aruna akhirnya, meski suaranya terdengar seperti pedang yang menusuk dirinya sendiri.

Dyah menunduk. “Sudah. Tujuh hari lagi ia akan datang.”

Aruna menegakkan tubuhnya, menatap langit untuk menahan gejolak di dadanya. “Selamat, Gusti. Mandalapura adalah negeri besar. Raden Kusumanegara… lelaki yang gagah dan terhormat.”

Dyah tersenyum getir. “Kau bicara seolah hatimu tidak ikut terluka.” Aruna terdiam lama. Lalu perlahan ia berkata, “Tugas seorang prajurit adalah menanggung luka yang tak boleh terlihat. Sama seperti pedang—tajam di dalam sarungnya.”

Dyah melangkah mendekat, suaranya bergetar. “Kalau begitu, biarkan malam ini aku menjadi saksi bahwa ada satu luka yang kita bagi bersama, meski tak bisa diobati oleh waktu.” Aruna menatapnya—mata mereka bertemu dalam diam yang panjang. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan perih itu. Hanya desah napas, hanya getar yang menahan segalanya agar tak pecah.

“Paduka,” ucap Aruna akhirnya dengan suara yang nyaris pecah, “andai keadaan lain, mungkin aku berani memohon pada Dewata untuk mengubah takdir.”

Dyah menatapnya dengan mata basah. “Dan andai Dewata mendengar, mungkin aku akan meminta hal yang sama.” Hening. Hanya suara angin dan detak jantung mereka yang terasa. Putri Dyah mendekat lalu mengulurkan tangannya memegang tangan Aruna mengelus lembut lengan kekar itu yang penuh dengan luka-luka perang.

“Kau pasti sakit saat luka ini menggores kulitmu,” Putri Dyah menitikkan airmatanya lalu mencium tangan Aruna, laki-laki itu mendongak berusaha untuk tidak meneteskan air mata setitik pun, Putri Dyah sudah tak bisa membendung air matanya hingga luruh begitu saja sambil mendekap tangan Aruna didadanya.

“Gusti jangan seperti ini, hamba tidak ingin Gusti merendah pada cinta yang terhina seperti hamba,” suara Aruna terdengar lirih dan serak berusaha menahan airmata yang akhirnya luruh tak tertahankan.

“Cinta tak memandang kata hina Aruna, dan aku tak pernah memandang kau siapa. Aku hanya ingin kau tahu betapa aku mencintaimu tanpa memandang status dan pangkatmu walau kenyataannya cinta ini hanya akan aku pendam dalam hatiku,” suara Putri Dyah bergetar bersamaan dengan tangisnya.

“Jangan memendam cinta Gusti, itu sangat menyakitkan. Biarlah...biarlah hamba yang memendamnya bersama dengan luka hati yang selama ini hamba rasakan. Biarkan aku menjaga cinta dan negara ini asalkan kau bahagia bersamanya,” ucapan Aruna semakin membuat Putri Dyah menangis tersedu, dia memegang tangan Putri Dyah lalu meletakkan tangan itu dipipinya, Putri Dyah membelai lembut rahang tegas itu lalu perlahan mendekat hingga tak ada jarak lagi dan tak ada kata yang terucap diantara mereka hanya perasaan yang tak ingin berakhir malam ini, Panglima Aruna menutup matanya merasakan belaian lembut tangan Putri Dyah dipipinya merasakan setiap sentuhan dan belaian itu untuk terakhir kalinya karena setelah ini dia harus merelakan cintanya terkubur dalam-dalam selamanya. Hingga akhirnya Putri Dyah mengecup bibir Aruna singkat membuat laki-laki itu membuka matanya perlahan dan kemudian ia pun membalasnya tidak terburu-buru ciuman terasa lama dan intens serta penuh kerinduan, kerinduan yang akan berakhir esok hari. Aruna mengeratkan dekapannya menekan kepalanya Putri Dyah begitu juga sang Putri yang begitu erat memeluk Aruna. Dua anak manusia yang terjebak dalam cinta yang terpendam dan takdir.

Hingga akhirnya ciuman itu perlahan terlepas, nafas mereka tersengal saling menatap lalu detik berikutnya, Dyah melangkah mundur. “Kita sudah terlalu jauh, Aruna,” katanya perlahan. “Langit tidak akan mengizinkan kita melangkah lebih jauh dari ini.”

Aruna menunduk dalam. “Maafkan hamba Gusti...hamba terlalu___” dia tak bisa meneruskan kata-katanya, Putri Dyah tersenyum pilu.

“Tak apa Aruna, biarkan malam ini menjadi saksi untuk terakhir kalinya aku mengungkapkan seluruh perasaanku sebelum aku bersanding dengan seseorang yang tak aku inginkan,”ucap Putri Dyah terisak. Hati Panglima Aruna semakin sakit mendengarnya.

“Biarlah hamba yang menanggung penderitaan cinta ini Gusti asalkan Gusti tetap bahagia, asalkan Gusti Putri dan Samudra Jaya tetap dalam lindungan sang Dewata,” mereka melepas pelukan itu lalu Putri Dyah berbalik perlahan meninggalkan lapangan, tapi sebelum ia benar-benar pergi, suara Aruna menahan langkahnya.

“Paduka… jika nanti Raden Kusumanegara datang, aku akan berdiri di dermaga untuk menyambutnya.”

Dyah berhenti, menatapnya dari balik bahu. “Kau?” suaranya tercekat.

Aruna mengangguk. “Itu titah langsung dari Paduka Prabu. Aku diperintahkan memimpin penyambutan kerajaan.” Sekujur tubuh Dyah terasa dingin. Ia memejamkan mata sejenak, menahan air mata yang hampir jatuh. “Jadi bahkan Dewata pun ingin menambah luka kita,” bisiknya pelan. Aruna menunduk, suaranya hampir tak terdengar. “Tidak apa, Gusti. Biarlah aku yang berdiri di tepi dermaga itu, menyambut dia yang akan menggantikan tempatku di hatimu.” Dyah menatapnya untuk terakhir kali malam itu—tatapan yang panjang, penuh duka, namun juga pasrah pada takdir yang tak bisa dilawan. Lalu ia pergi, langkahnya perlahan menjauh di bawah cahaya rembulan. Aruna masih berdiri di tempat yang sama, menatap punggung sang putri sampai lenyap di balik taman. Ia menatap pedang yang ditancapkannya di tanah

“Dewata,” ucapnya lirih, “izinkan aku menjalankan tugas, meski hati ini telah mati sebelum perang dimulai.” Dan malam itu, di bawah langit Samudra Jaya yang redup, dua hati yang saling mencinta terpisah bukan oleh jarak, melainkan oleh kehendak takdir yang tak bisa ditawar.

****

Sementara itu Puspa berjalan pelan sambil membawa jamu malam untuk Raden Arya rambutnya tersanggul rapi, sampai di paviliun Raden Arya, Puspa mengetuk pintu.

“siapa?”

“Hamba Raden, Puspa...mengantarkan jamu malam untuk Raden,” jawab Puspa.

“Masuklah,” titah Raden Arya. Puspa masuk dengan sedikit canggung karena sejak perkataan sang Brahma Satyajaya tentang ramalannya dengan Raden Raksa sikap Raden Arya padanya terlihat sedikit berubah entah perasaannya saja atau memang pangeran Samudra Jaya itu mulai mengawasi setiap tingkah lakunya.

“Letakkan disini,”ucap Raden Arya, Puspa lalu meletakkan jamu itu di meja depan Raden Arya. Sementara Raden Arya menatap setiap gerak-gerik Puspa saat akan beranjak pergi Raden Arya menahannya.

“Tak bisakah kau tinggal disini untuk sejenak saja, aku hanya ingin kau disisiku walau hanya sebentar,” ucap Raden Arya membuat Puspa kaget lalu reflek mendongak tapi dengan cepat dia menunduk kembali.

“Ampun Raden, hamba harus melanjutkan tugas berikutnya dari nyi Jayem,”jawab Puspa, Raden Arya tersenyum getir lalu berdiri dan berjalan mendekat ke arah Puspa, dayang muda itu sedikit mundur perlahan.

“Nyi Jayem? Atau kau akan menemui Raksa dengan rambutmu yang tergerai indah itu, Puspa....lihat aku....tatap mataku,” dengan ragu Puspa mendongak menatap Raden Arya, terlihat gurat kesedihan dan keputusasaan diwajah tampan nan tegas itu. Saat pertama kali melihat Raden Arya terselip rasa kagum karena sifatnya yang sopan dan santun serta tutur katanya yang lembut tapi entah kenapa rasa itu sekarang perlahan-lahan memudar, Puspa tahu kalau Raden Arya benar-benar mengharapkan cintanya terbalaskan. Puspa hanya bisa menunduk, merasakan jantungnya berdetak cepat seolah tak mampu mengatur napas. Tatapan Raden Arya begitu lembut, tapi juga penuh luka yang tak bisa ia tanggung. Ia tidak pernah berniat melukai siapa pun, terlebih lagi seorang pangeran sebaik Raden Arya. Namun malam itu, hatinya terasa berat, seolah ada kebenaran pahit yang akhirnya harus ia terima.

“Ampun, Raden,” ucap Puspa dengan suara nyaris bergetar, “hamba tidak pantas berada di sisi Raden terlalu lama.” Raden Arya menatapnya lekat, mencoba membaca makna di balik kata-kata itu. “Mengapa tidak pantas, Puspa? Apa aku memperlakukanmu dengan kasar? Atau hatimu kini telah berpaling?”

Pertanyaan itu menusuk lembut, namun cukup untuk membuat Puspa terdiam lama. Dalam benaknya, bayangan masa lalu muncul—saat Raden Raksa menatapnya dalam senja yang sepi, mengucapkan kata-kata yang tak pernah ia lupakan. Tatapan mata itu berbeda. Bukan tatapan seorang pangeran kepada dayangnya, melainkan tatapan seorang pria yang memandang dirinya sebagai manusia, bukan pelayan. Entah sejak kapan perasaan itu tumbuh. Entah sejak kapan ia mulai membandingkan kelembutan Raden Arya yang penuh aturan, dengan ketegasan Raden Raksa yang justru terasa jujur dan hangat.

“Hamba…” Puspa mencoba berbicara, tapi suaranya tercekat. Ia menatap lantai, menahan gejolak dalam dada. “Hamba tidak bermaksud menyakiti hati Raden. Tapi… ada hal yang tidak bisa hamba jelaskan dengan kata-kata.” Raden Arya perlahan mendekat, suaranya menurun menjadi lebih lembut. “Puspa, aku hanya ingin tahu… apakah aku telah kehilangan tempat di hatimu?” Puspa mengangkat wajahnya sedikit, menatap pangeran itu dengan mata berkaca-kaca. “Hamba mohon ampun, Raden… mungkin memang begitu adanya.” Keheningan menyelimuti ruangan itu. Hanya suara lentera yang berderik ditiup angin. Raden Arya memejamkan mata sejenak, menahan perih yang mulai merayap di dadanya. Ia tahu, sejak ramalan Brahma Satyajaya disampaikan di balairung, ada jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka. Ia mencoba menepisnya, berusaha percaya bahwa takdir bisa diubah, tapi kini kenyataan itu berdiri di hadapannya dengan wujud Puspa yang menunduk penuh duka.

“Apakah karena ramalan itu, Puspa?” tanyanya lirih. “Apakah karena kata-kata sang Brahma, yang menyebut bahwa takdirmu akan menyatu dengan Raksa dan menghidupkan kembali darah Wiratanu yang hilang?” Puspa terdiam, napasnya tertahan di tenggorokan. Ia tidak ingin menjawab, karena apa pun jawabannya hanya akan memperparah luka yang sudah terbuka. Ia tidak bisa menyangkal bahwa kata-kata sang Brahma menancap di benaknya, namun bukan itu alasan sebenarnya. Hatinya memilih dengan sendirinya, tanpa ia sadari, tanpa ia inginkan.

Raden Arya tersenyum pahit. “Jadi semua ini karena takdir, bukan karena hatimu?”

Puspa menggigit bibir, menahan isak yang hampir pecah. “Hamba hanya tahu satu hal, Raden… bahwa cinta hamba tidak pantas untuk mengikat langkah seorang pangeran. Hamba hanyalah dayang rendah yang tidak layak bersanding dengan darah bangsawan. Sedangkan Raden… Raden adalah putra kebanggaan Samudra Jaya. Akan tiba saatnya Raden dipersatukan dengan putri yang terhormat dan sepadan.” Kata-kata itu diucapkannya perlahan, tapi tiap suku katanya seperti belati yang menancap dalam di dada Raden Arya. Ia berusaha tersenyum, tapi bibirnya bergetar. “Kau berbicara seolah aku tak punya hak memilih kebahagiaanku sendiri,” katanya pelan. “Apakah kau tahu, Puspa… setiap kali aku melihatmu, aku merasa bukan seorang pangeran, melainkan manusia biasa yang ingin dicintai tanpa gelar dan tahta?”

Air mata Puspa jatuh tanpa bisa ditahan. “Justru itu yang membuat hamba takut, Raden. Karena hamba tahu, cinta yang lahir dari perbedaan derajat hanya akan membawa luka. Hamba tidak ingin menjadi alasan Raden kehilangan segalanya.” Raden Arya menatapnya lama, kemudian menunduk, menarik napas panjang. “Kau lebih berani daripada yang kukira, Puspa. Kau mampu mengorbankan perasaanmu demi menjaga kehormatan orang lain. Tapi ketahuilah… luka yang kau tinggalkan ini, tidak akan mudah sembuh.”

Puspa memberi sembah, suaranya gemetar, “Ampun, Raden… izinkan hamba undur diri.” Raden Arya tidak menahannya. Ia hanya menatap langkah kecil Puspa yang menjauh, seolah setiap langkah itu mencuri sebagian dari jiwanya. Ketika pintu paviliun menutup perlahan, Raden Arya masih berdiri diam, memandangi lentera yang mulai padam. Senyum getir terbit di wajahnya, samar dan penuh kelelahan. “Andai saja takdir tidak sekejam ini,” gumamnya lirih, “mungkin aku masih bisa memelukmu, Puspa… tanpa takut kehilangan segalanya.”

Puspa berjalan pelan menuju paviliun Raden Raksa dengan nampan di tangannya. Malam telah larut, dan seluruh istana mulai sunyi. Hanya suara serangga dan desir angin yang menemani langkahnya. Saat sampai di depan pintu, ia mengetuk perlahan.

“Siapa?” terdengar suara berat dari dalam.

“Hamba, Raden. Mengantarkan jamu malam,” jawab Puspa.

“Masuklah,” titahnya singkat. Begitu pintu tertutup, Raden Raksa bangkit dari kursinya. Tatapannya langsung tertuju pada Puspa yang berjalan menunduk, meletakkan jamu di meja kecil di hadapannya. Saat hendak berpaling, tangan Raksa terulur menahan langkahnya.

“Jangan pergi dulu,” ucapnya lirih. “Aku hanya ingin kau di sini… sebentar saja.”

Puspa menunduk, ragu. “Ampun, Raden. Hamba—” Namun Raksa sudah mendekat. Ia menatap wajah Puspa yang diterangi cahaya lentera, seolah ingin menghafalnya dalam ingatan. “Puspa,” katanya perlahan, “apa kau tahu… betapa sulitnya aku menahan diri untuk tidak mencarimu setiap malam?” Puspa terdiam, dadanya bergetar hebat. Ia ingin menjawab, tapi bibirnya kelu. Raden Raksa menarik napas panjang, lalu memeluknya lembut. “Aku tidak peduli apa kata dunia,” bisiknya di telinga Puspa. “Sekalipun ibuku, Ken Suryawati, tidak merestui kita… hatiku hanya terpaut padamu. Tak ada takhta, tak ada garis darah yang bisa menghapusnya.” Puspa menggigil dalam pelukannya, antara bahagia dan takut. “Jangan bicara begitu, Raden,” bisiknya nyaris menangis. “Restu seorang ibu adalah langit bagi seorang anak.”

Raksa menggeleng pelan. “Maka biarlah aku hidup di bawah langit yang gelap, asalkan ada kau di sisiku.” Keheningan menyelimuti paviliun. Lentera bergoyang pelan, memantulkan cahaya hangat di wajah keduanya yang nyaris bersentuhan. Malam itu, cinta mereka terasa nyata—tapi juga getir, karena mereka tahu walau sang Dewata telah merestui tapi cinta mereka terhalang oleh gelar dan takhta.

****

Dan tujuh hari kemudian, dermaga Samudra Jaya kembali ramai. Kapal besar dari Mandalapura berlabuh di bawah panji kebesaran. Dari atas geladak, tampak sosok gagah berbusana bangsawan turun perlahan—Raden Kusumanegara, datang untuk menepati janjinya. Di tepi dermaga, Panglima Aruna berdiri tegak menyambutnya, menyembunyikan luka yang belum sembuh di balik senyumnya. Hari itu, Samudra Jaya bersiap menyambut tamu agung… dan dua hati yang dahulu bersatu dalam diam, kini akan kembali diuji oleh takdir yang sama.

1
Hafizah Rizkia
cerita nya hanya berputar di sekitaran keraton.. bikin kebosanan para pembaca.... tidak ada cerita tentang pendekat,pahlawan,atau penjahat..atau tentang petualangan misal nya.. bosan baca cerita nya..
Indah Devi: oke makasih sarannya
tapi karena ceritanya fokus sama samudra jaya nanti di bab selanjutnya bakal diperbarui lagi
total 1 replies
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!