"Teganya kau membunuh keluargaku mas, salah apa keluargaku sama kamu mas," tangis ibu pun pecah.
keluarga yang hangat harus hancur di tangan keluarga itu sendiri, hubungan yang terjalin dengan baik harus hancur karena iri hati seorang saudara kepada adiknya sendiri.
"Santetmu akan kembali padamu,"
"Karma akan menghampirimu,"
"Tidak habis pikir kamu bisa membuh keluargaku dengan ilmu hitammu itu,"
"Kau akan mati di tanganku durjana,"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon janda#hot, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Napas Dinda tercekat terperangkap diantar isakan dan ketakutan yang merayap. Matanya terbelalak memantulkan bayangan gelap di mata laki-laki yang tadinya ia panggil sayang.
Tangan Denis terangkat bukan untuk membelai melainkan mencengkram erat rambutnya.
Sebuah tarikan brutal merobek kulit kepalanya memaksanya untuk mendongkrak, rasa sakitnya menyerbu segera mengganti rasa takutnya.
"arghhhh...sa-kit!" desisi Dinda.
"Beraninya kau mengancam ku!" desis tajam Denis seperti ingin membunuh.
Tanpa jeda genggaman itu berubah menjadi dorongan, tubuh Dinda terhuyung keseimbangannya lenyap ia merasakan punggungnya menghantam sesuatu yang keras dan dingin-lantai. Udara di paru-parunya terhempas keluar membuatnya terengah-engah merasakan getar nyeri yang menjalar dari tulang ekor hingga leher. Iya berbaring tak berdaya pandangannya kabur sementara diatas siluet tubuh pacarnya berdiri tegak seperti malaikat maut yang hendak menjemputnya.
Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan itu hanya terdengar desis san Dinda yang berjuang mencari napas dan senyum dingin kini terukir di wajah laki-laki itu. Senyum yang menjadi pembuka tirai selanjutnya.
Denis berjalan mendekati tubuh Dinda, perlahan Dinda berusaha menggerakkan tubuhnya menjauh dari sang kekasih yang kini terlihat sangat mengerikan namun sayang semuanya sia-sia.
"Akhhh.. Mau apa kamu mas! Lepas kan aku!" ucap Dinda ketakutan.
"Mau lari yah kamu hah! Kamu ndak akan bisa, hari ini aku akan memberimu pelajaran berharga!" ucap Denis menatap tajam Dinda.
"Ak-u mo-hon mas lepa-s kan aku, hikss...hiks..!" tangis Dinda.
Denis menduduki tubuh Dinda dengan tatapan membunuh. Tangannya meremas erat leher Dinda. Dengan sisa tenaga terakhirnya Dinda berusaha melawan, ia memberontak, memukul tubuh Denis agar melepaskannya namun sayang kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan sang kekasih.
Tangan dinginnya mencekik Dinda, mencuri udara dari paru-paru yang kini terbakar. Mata Dinda terbelalak menatap langit-langit plafon yang kini seperti bintang-bintang yang sedang menari dan ia tahu itu adalah hal terakhir yang ia lihat, bukan karena cahaya itu indah tetapi karena ketiadaan oksigen membuatnya gila, merangkai setiap detik yang tersisa menjadi siksaan abadi.
Napasnya tertahan di paru-paru, tercekik oleh ketakutan yang dingin akan sebuah kematian. Tangannya meraih ke udara mencari sesuatu untuk di pegang. Dinda merasa sesak dan berat, samar-samar ia mendengar suara hujan di luar jendela seolah-olah alam semesta pun menangisinya tapi itu semua hanya sebuah ilusi.
"Hahahaha...! Mati kau...mati!..dasar perempuan jahanam! Berani-beraninya kau mengancam ku , sekarang rasakan akibatnya!" ucap Denis kesetanan.
"Arghhh..am-pun, ma-afkan a-ku!" ucap Dinda memohon.
"Ampun hahaha! Rasakan...rasakan kamu akibatnya!" ucap Denis dengan mata merah penuh kebencian.
Dinda tak bisa mengeluarkan suaranya lagi. Suaranya hilang tertahan di tenggorokan terperangkap bersama kengerian. Dinda hanya bisa melihat wajah penuh kasih yang kini berubah brutal membunuhnya, seperti sebuah film bisu yang mengerikan. Air mata membanjiri wajahnya tapi bukan dari kesedihan melainkan kepanikan yang perlahan mulai sirna berubah menjadi kepasrahan.
Dingin itu merayap, tubuhnya terasa berat namun pikirannya terbang jauh membayangkan kehangatan pelukan ibu dan bapak nya, kasih sayang dari sang kakak dan adiknya. Kini ia tersenyum mengingat wajah orang-orang yang ia sayangi. Sebuah air mata terakhir jatuh memohon maaf kepada orang-orang tercinta atas semua kebohongannya namun tidak sempat terucapkan.
"Ibu,Bapak, mas Setia, mas Rizal, Intan maafkan aku...maaf! Aku menyayangi kalian semua!" ucap Dinda di sela-sela nafas terakhirnya. Kini ia pergi untuk selamanya dengan membawa sebuah penyesalan.
Melihat Dinda tak lagi bernyawa Denis seperti baru tersadar atas tindakan yang baru saja ia lakukan, segera ia mencoba memanggil dan menggoncang tubuh sang kekasih namun sayang tubuh itu kini tak bernyawa lagi.
"Din...Dinda...hey bangun sayang!" ucap Denis menggoncang tubuh kaku sang kekasih.
"Apa yang sudah aku lakukan! Ak-ku mem-bunuhnya? Tidak...ini tidak mungkin!" ucap Denis panik.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" aku harus pergi dari sini, aku tidak ingin masuk penjara! Tidak itu tidak boleh terjadi!" ucap Denis kian panik membayangkan dirinya mendekam di dalam jeruji besi.
Tangannya bergetar bukan karena penyesalan melainkan karena waktu. Ia tahu setiap detik yang terbuang adalah bukti yang tertinggal. Tanpa menoleh ke tubuh kaku yang tergeletak di lantai, ia menyambar kunci motornya, menutup pintu rapat-rapat pergi meninggalkan sang kekasih yang kini terbujur kaku tak bernyawa.
"Aku harus pergi sejauh mungkin dari tempat ini, bila perlu aku akan pindah ke kota lain. Aku tidak ingin masuk penjara. Ini semua salahnya, jika ia tidak memancing emosiku tadi tidak mungkin aku semarah itu hingga tak sengaja membunuhnya! Yah aku harus pergi jauh!" ucap Denis panik membawa motornya melaju tak tau arah.
"Akhhh... Sialan! Dasar kamu perempuan pembawa sial Dinda!" Denis berteriak marah.