Keinginan terakhir sang ayah, membawa Dinda ke dalam sebuah pernikahan dengan seseorang yang hanya beberapa kali ia temui. Bahkan beliau meminta mereka berjanji agar tidak ada perceraian di pernikahan mereka.
Baktinya sebagai anak, membuat Dinda harus belajar menerima laki-laki yang berstatus suaminya dan mengubur perasaannya yang baru saja tumbuh.
“Aku akan memberikanmu waktu yang cukup untuk mulai mencintaiku. Tapi aku tetap akan marah jika kamu menyimpan perasaan untuk laki-laki lain.” ~ Adlan Abimanyu ~
Bagaimana kehidupan mereka berlangsung?
Note: Selamat datang di judul yang ke sekian dari author. Semoga para pembaca menikmati dan jika ada kesamaan alur, nama, dan tempat, semuanya murni kebetulan. Bukan hasil menyontek atau plagiat. Happy reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meminta Saran
“Detak jantung sudah terdengar ya, Pak, Bu.” Kata dokter yang memperdengarkan detak jantung.
“Pada usia kandungan Bu Dinda saat ini, janin masih terlihat seperti titik. Kira-kira masih sebesar biji wijen. Perkembangannya bagus dan ibu juga tidak ada keluhan. Bu Dinda bisa melanjutkan minum vitamin dan mengatur pola makan.”
“Istri saya sering tidur, Dok. Apakah itu wajar?” tanya Adlan.
“Wajar, Bapak. Itu hal normal, karena adanya lonjakan hormon dan tubuh ibu hamil bekerja lebih keras untuk mendukung kehamilan.” Adlan menganggukkan kepalanya.
Setelah sesi pemeriksaan selesai, Dinda meminta suaminya untuk keluar lebih dulu, karena ada yang ingin ditanyakannya kepada dokter. Awalnya Adlan enggan, tetapi tetap keluar ruangan dokter dan menunggu di depan ruangan.
Beberapa menit kemudian Dinda keluar dan keduanya menuju kasir.
“Apa yang kamu tanyakan?” tanya Adlan penasaran.
“Hanya masalah kecil, Kak.”
“Masalah apa, sampai aku tidak boleh mendengarnya?”
Bukannya menjawab, Dinda justru memalingkan wajahnya yang tersipu. Tak ingin membuat istrinya kesal, Adlan mengalah dan tidak lagi bertanya.
Semakin hari, perubahan hormon yang dialami istrinya, berpengaruh pada sensitivitas perasaan. Dinda menjadi manja, tidak mau disalahkan, dan tidak mau dipaksa.
Pernah suatu hari, Dinda tidak ingin mandi sore. Adlan sampai membuatkannya air panas, tetapi Dinda tetap tidak mau. Merasa gemas, Adlan memaksa istrinya dengan cara mengangkat tubuh Dinda ke kamar mandi.
Alhasil, Dinda menangis dan berakhir tidur bersama sang mama. Tidak sampai di situ, Adlan juga mendapatkan omelan mamanya, karena memaksakan keinginan kepada Dinda. Sejak saat itu, Adlan memilih mengalah dan menuruti keinginan istrinya.
Sesampainya di rumah, Dinda langsung masuk ke kamar dan menyalakan AC yang baru beberapa hari di pasang atas permintaannya.
“Mana, Dinda?” tanya Mama Adlan yang baru kembali dari mengurus katering.
“Ada di kamar.”
“Kenapa? Apa ngambek lagi?”
“Tidak. Sepulang dari rumah sakit, dia tidur. Aku sedang menghubungi Ragil, makanya memilih keluar dari kamar.”
“Oh! Apa kata dokter?”
Adlan menjelaskan apa yang dijelaskan dokter sebelumnya. Sang mama menganggukkan kepala dan masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.
Setelah urusannya dengan Ragil selesai, Adlan masuk ke dalam kamar. Pelukan Adlan, membuat Dinda terbangun.
“Jam berapa, Oppa?”
“Masih siang. Ayo tidur lagi!” Adlan mengeratkan pelukannya dan memejamkan mata.
Beberapa menit berlalu, Dinda masih tidak bisa memejamkan matanya.
“Oppa…”
“Hmmm…”
“Aku ingin…”
“Ingin apa? Rujak lagi?”
“Tidak.”
“Es krim?” Dinda menggeleng.
Adlan mengendurkan pelukannya dan membalik tubuh istrinya, agar menghadap kearahnya.
“Katakan saja, kenapa ragu seperti itu?”
“Oppa jangan marah!”
“Iya.”
Dinda yang terlalu malu, membisikkan apa yang diinginkannya di telinga Adlan, membuat si empunya terkejut dan membulatkan matanya.
“Dokter melarangnya!” kata Adlan dengan nada yang sedikit tinggi.
Mendengarnya, Dinda menitikkan air matanya. Melihat Dinda menangis, Adlan segera menenangkan istrinya.
“Sayang… Kamu masih masa awal kehamilan, aku takut menyakitimu dan anak kita.” Bujuk Adlan.
“Aku sudah bertanya. Dokter membolehkannya asal tidak terlalu keras.” Adlan mengernyitkan alisnya.
“Apakah ini yang ditanyakan istrinya, tadi?” batin Adlan.
Jika ditanya, apakah dirinya tidak menginginkannya, tentu Adlan akan menjawab ia juga menginginkannya. Tetapi mengingat istrinya yang sedang hamil muda, Adlan tidak percaya dengan dirinya sendiri.
“Baiklah… Tapi kamu di atas.” Kata Adlan setelah menimbang-nimbang.
Dinda menganggukkan kepalanya.
Entah mengapa, Dinda merasa sangat sensitif dengan sentuhan suaminya semasa hamil. Makanya ia bertanya kepada dokter. Dan dokter mengatakan jika apa yang dialaminya adalah bagian dari peningkatan hormon estrogen dan progesteronnya di awal kehamilan.
Keduanya memulai permainan. Dinda yang sangat sensitif, telah mencapai puncak hanya dengan pemanasan, membuat Adlan tersenyum puas.
Saat pendakian, Adlan merasakan sensasi yang berbeda dengan sebelumnya, karena istrinya terlihat lebih menggoda dilihat dari bawah. “Apakah ini pesona ibu hamil?” batin Adlan yang membantu istrinya bergerak dalam pendakian.
Pendakian berakhir setelah Adlan mengeluarkan diri dan menyemburkannya di luar. Hal ini ia lakukan, karena dirinya takut membahayakan janin yang ada di kandungan Dinda.
Cup!
Adlan mendaratkan kecupan di puncak kepala Dinda yang ada di atas tubuhnya. Istrinya menjepitnya berkali-kali, sampai membuatnya tidak bisa menahan terlalu lama. Sepertinya ia perlu mencari tahu mengenai gairah ibu hamil.
Setelah memastikan istrinya terlelap, Adlan melepaskan diri perlahan dan mulai berseluncur di internet. Di sana ia mendapatkan banyak informasi seputar gairah ibu hamil dan bagaimana agar hubungan mereka tidak membahayakan kehamilan.
Adlan menelusuri semuanya, sampai posisi yang aman untuk ibu hamil juga ia baca. Terutama penggunaan pelindung, untuk mencegah kontraksi awal pada kasus kehamilan berisiko.
Hanya membaca, tidak membuat Adlan puas. Akhirnya ia mengirimkan pesan kepada temannya yang bekerja sebagai dokter umum di rumah sakit, tempatnya memeriksakan kandungan Dinda.
Andi: Selama dokter memperbolehkannya, aman saja melakukannya tanpa pelindung. Yang perlu kamu perhatikan adalah kebersihan dan kenyamanan istrimu. Saranku, 3 kali dalam seminggu itu sudah pas dan jangan melakukannya dengan kasar!
Membaca jawaban Andi, Adlan membalasnya dengan ucapan terima kasih. Ia sudah tahu garis besar yang harus diperhatikan. Ke depannya ia akan mengikutinya agar istri dan janin yang dikandung aman.
Keesokan harinya, Dinda mengajar seperti biasa. Tetapi saat jam istirahat di mulai, Gibran meminta waktunya sebentar, karena ada yang ingin ditanyakan. Dinda tidak keberatan dan mendengarkan cerita Gibran di bawah pohon kelengkeng.
“Aku tidak mengenal Meri dengan baik, tetapi aku tahu dia tidaklah jahat. Dia hanya menyukai Kak Adlan selama ini, makanya susah untuk menerimamu.” Kata Dinda, yang juga mengaca pada dirinya sendiri yang tidak langsung bisa menerima suaminya.
“Apakah ada saran? Hubunganku dengannya beberapa hari ini terasa canggung.”
“Apa kamu membuatnya marah?”
“Aku tidak tahu.” Jawab Gibran ragu.
Bukan karena tidak tahu. Lebih tepatnya, ia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya kepada Dinda, alasan hubungannya dengan Meri menjadi canggung.
“Kamu bisa meminta maaf lebih dulu. Salah atau tidaknya, kamu yang harus mengalah.”
“Begitukah?”
“Ya. Aku sendiri terkadang merasa malu untuk meminta maaf lebih dulu.” Gibran melihat Dinda yang sedari tadi tidak menatap ke arahnya, melainkan melihat anak-anak yang sedang bermain di halaman sekolah.
“Terima kasih. Aku akan meminta maaf lebih dulu.”
“Sama-sama. Yang penting, komunikasikan apa pun masalahnya. Dengan komunikasi, kalian tidak akan saling salah paham, dan itu bisa menumbuhkan kepercayaan.” Gibran menganggukkan kepalanya.
Ternyata, keputusannya untuk meminta saran Dinda adalah keputusan yang tepat. Selain mendapatkan solusi, ia juga merasa beban yang ada di hatinya menjadi sedikit berkurang.
.
.
.
.
.
Maaf author tidak bisa produktif. Selamat membaca...