NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:321
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 30

Mobil berhenti tepat di depan pintu besar mansion keluarga Aksa dan Azka. Bangunan itu menjulang megah, dengan dinding putih elegan dan halaman depan yang rapi. Zia turun lebih dulu, matanya sempat berkeliling, mengagumi kemewahan tempat itu. Tapi sebelum ia sempat berkomentar, suaranya Grey yang tadi di perjalanan terngiang lagi di kepalanya — “calon tunangan.”

Refleks, Zia melirik Azka yang baru saja keluar dari mobil. Wajah cowok itu datar seperti biasa, seolah tidak terpengaruh sama sekali. Tapi justru sikap tenang itulah yang bikin Zia makin penasaran.

Mereka berjalan masuk. Begitu pintu besar itu dibuka, aroma wangi bunga segar langsung menyambut. Di ruang tamu, lampu gantung kristal berkilauan memantulkan cahaya sore yang lembut. Azka dan Aksa langsung meletakkan jaket mereka di sofa.

“Azka,” Zia memanggil pelan sambil mengikuti langkahnya. “Tadi Grey bilang kamu… calon tunangannya? Itu maksudnya apa?” Nada suaranya terdengar ringan, tapi sorot matanya penuh rasa ingin tahu.

Azka tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Zia sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke arah adiknya. “Tanya Aksa aja.”

Aksa, yang baru saja menaruh kunci mobil di meja, menghela napas sambil berdecak. “Kok gue sih yang harus jelasin?”

“Ayo dong, Aksa yang baik hati,” ucap Zia dengan nada memohon sambil menatapnya penuh rasa penasaran.

Aksa menghela napas, lalu menatap Azka sekilas. “Ayahnya Grey itu pernah datang ke sini. Dia mohon-mohon ke keluarga kami supaya Azka mau dijodohkan sama Grey. Alasannya klasik, katanya cocok secara bisnis dan keluarga. Tapi—” Aksa menatap kakaknya dengan senyum miring, “ bang azka langsung nolak, tanpa pikir panjang.”

Zia membelalakkan mata, kaget. “Nolak? Kenapa?”

Azka hanya duduk di sofa, meraih botol air, lalu menjawab singkat, “Karena gue nggak tertarik.”

Jawaban itu terlalu simpel buat Zia. Ada rasa tidak puas, tapi dia memilih diam dulu. Namun, entah kenapa, tatapan Grey yang penuh percaya diri tadi membuat hatinya tidak nyaman.

Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Suasana sebenarnya santai, tapi Zia bisa merasakan ada ketegangan samar di udara. Mungkin cuma perasaannya, atau mungkin karena Grey.

Tak lama, salah satu pelayan datang membawa nampan berisi minuman dan camilan. Di situ ada dua gelas jus — satu jus jeruk segar dan satu jus mangga yang warnanya lebih pekat — serta piring kecil berisi kue-kue manis.

Sambil meraih kue, Azka melirik Zia.

"Lo ngapain kepo sama ucapan si Grey tadi? Bukan hal penting buat lo, kan?"

Nada bicaranya datar, tapi entah kenapa terdengar seperti sindiran di telinga Zia.

"Loh, aku cuma nanya. Salah, ya?" Zia menatapnya sambil mengangkat alis.

"Gak salah… tapi Lo terlalu kepoin hidup orang," jawab Azka lagi tanpa menatapnya.

"ckk.... aksa katanya kamu mah mau dikelonin sama aku?," ucap Zia sambil mengedipkan mata memberi kode.

Aksa yang sedang mengunyah kue langsung terbatuk-batuk.

"Hah? dikelonin!" sahut Aksa cepat.

"Ahhh, kamu malu-malu. Tadi maksa aku kelonin kamu, kan?" goda Zia makin menjadi.

Seakan paham kode itu, Aksa mengangguk kecil.

"Yaudah, yuk ke kamar gue," katanya sambil melangkah pergi bersama Zia.

Azka yang sedari tadi diam langsung mengepalkan tangan. Dadanya terasa panas membayangkan Zia akan mengelonin adiknya.

Amarahnya memuncak—tanpa sadar, ia meneguk jus mangga yang ada di meja. Jus yang akan memicu alerginya, membuat tubuhnya gatal dan napasnya sesak.

______

Zia berdiri di depan Aksa yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu, kaki disilangkan, satu tangan memainkan ponselnya.

“Sana mandi, aku udah siapin air sama bajunya,” ucap Zia datar sambil melirik sebentar, lalu berbalik mau jalan.

Aksa langsung mengangkat wajahnya, tersenyum miring. “Ehhh… katanya lo mau kelonin gue,” ucapnya sambil menaikkan alis, nada suaranya dibuat sengaja menggoda.

Zia menghentikan langkahnya, menatap Aksa dengan ekspresi datarnya. “Itu tuh cuma AKTING, Aksa. Kamu ngerti?” katanya dengan penekanan, seperti guru yang sedang menjelaskan ke murid bandel.

Tapi bukannya kapok, Aksa malah menyengir makin lebar. “Tapi kalau beneran… gue mau-mau aja.” Suaranya dibuat pelan tapi penuh arti, seakan sengaja memancing reaksi.

Zia langsung mendengus. “Sana dikelonin janda muda yang ada di depan sekolah!” balasnya cepat sambil melangkah lagi meninggalkan Aksa.

“Ckkk… sangat tidak bertanggung jawab dalam bicara,” gumam Aksa sok bijak, matanya mengikuti Zia yang sudah menghilang ke arah dapur. “Orang udah ditawarin kesempatan emas malah nyuruh ke janda.”

Zia dari kejauhan cuma mendengus, pura-pura tidak mendengar.

Aksa menghela napas, menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke sofa. “ini cewek kalau ngomong galak, tapi perhatian,” gumamnya sendiri. Tangannya tanpa sadar memegang baju yang tadi Zia taruh di meja kecil dekat sofa — kaos putih longgar dan celana pendek yang masih wangi pelembut.

Ia berdiri perlahan, berjalan menuju kamarnya. Tapi sebelum masuk, Aksa sempat melongok ke arah dapur samping kamarnya, melihat Zia yang sedang menuang air minum sambil menggerutu pelan.

“Kalau marah marah terus, nanti jodohnya kabur lho,” celetuk Aksa dari jauh.

Zia langsung melotot. “Nggak usah khawatirin jodoh aku! sana mandi."

Aksa terkekeh, lalu masuk ke kamar mandi sambil menggeleng. Sebenarnya, ia cukup senang dengan kehebohan kecil itu. Entah kenapa, suasana seperti ini… hangat.

★ I like you★

Sementara itu, di kamar Azka yang berantakan, suasana begitu hening. Hanya suara kipas angin yang berputar pelan terdengar. Azka terduduk di lantai, punggungnya bersandar pada sisi ranjang. Kedua tangannya gemetar saat memegang dadanya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membuat rambut depannya menempel di dahi.

“Shhh… dingin…,” desis Azka pelan, mencoba mengatur napas yang semakin tersengal-sengal. Dadanya terasa sesak, seakan ada beban berat yang menekan dari dalam. Ia mencoba meraih laci di nakas untuk mengambil obat khusus pereda alerginya, tapi tangannya tak sampai.

Napasnya semakin pendek, pandangannya mulai buram. Dia hampir kehilangan kesadaran.

Sementara itu, Zia yang baru saja selesai mandi dan mengganti pakaian, berdiri di depan pintu kamarnya sendiri. Tangan gadis itu sempat meraih pegangan pintu kamar Azka, tapi kemudian terhenti. Ia masih kesal dengan sikap dingin Azka tadi.

"Kenapa sih dia kayak gitu? aku nanya baik baik malah marah!."batin Zia. Ia menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan kekesalannya, lalu berbalik hendak pergi ke dapur.

Namun, langkahnya terhenti saat terdengar suara benda jatuh dari arah kamar Azka. Suaranya cukup keras, membuat dada Zia berdegup tak karuan.

Tanpa berpikir lama, Zia langsung membuka pintu kamar Azka. Matanya membelalak melihat pemandangan di hadapannya.

Azka terduduk di lantai dengan wajah pucat pasi, keringat bercucuran, dan tangan kirinya menekan dada.

“Kak Azka!” seru Zia dengan nada panik.

“Zia…” suara Azka terdengar lemah, hampir tak terdengar.

“Iya kak, aku di sini,” jawab Zia cepat sambil berjongkok di sebelahnya. Tangan mungilnya mengelus punggung Azka, mencoba menenangkan.

“Ambilin… gue… obat… di nakas…” ucap Azka terbata-bata sambil menunjuk arah nakas dengan tangan gemetar.

Tanpa basa-basi, Zia bangkit, membuka laci, dan menemukan botol obat kecil di dalamnya. Dengan sigap, ia menuangkan satu pil ke tangan Azka dan memberinya segelas air.

“Minum ini, kak,” ucap Zia sambil membantu mengangkat kepala Azka.

Azka meminum obat itu perlahan. Zia terus mengelus punggungnya, memastikan pria itu tetap tenang.

Beberapa menit berlalu, perlahan napas Azka kembali normal. Wajahnya yang tadinya pucat mulai sedikit berwarna.

“Kak… kamu kenapa sih?” tanya Zia dengan nada khawatir, meski masih terdengar sisa kekesalan di suaranya.

“Bukan urusan lo,” jawab Azka singkat, meski suaranya belum sekeras biasanya.

Zia memandangnya tak percaya. “Aku udah ada niatan bantuin kamu loh. Masa jawabnya gitu?”

Azka terdiam. Kata-kata Zia membuatnya merasa bersalah, tapi egonya menahan untuk bicara. “Maaf,” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.

Zia menghela napas panjang. “Huftt… kayaknya aku harus ekstra sabar sama kamu, kak.”

Azka menatapnya sebentar, lalu memalingkan wajah. “Gue tadi nggak sengaja minum jus Aksa… yang mangga itu.”

Zia langsung mengerutkan kening. “Kamu alergi?”

“Iya,” jawab Azka pelan.

“Ya ampun… sini baring di ranjang. Apa aku telepon dokter aja?” Zia langsung berdiri hendak mengambil ponselnya.

“Nggak perlu, asalkan lo di sini…” suara Azka terdengar lemah, tapi cukup membuat Zia menatapnya lama.

“Kenapa harus aku, kamu butuh perawatan takut alerginya makin parah?” tanya Zia, mencoba terdengar biasa saja, padahal jantungnya berdetak tak karuan.

Azka menutup mata sejenak, mencoba meredakan pening di kepalanya. “Entahlah… kalau lo ada, gue jadi lebih tenang.”

Kata-kata itu membuat Zia terdiam. Ada sesuatu yang hangat merayap di dadanya, perasaan yang sulit ia jelaskan.

“Udah, baring aja. Aku ambilkan air hangat buat kamu,” ucap Zia akhirnya, berusaha menutupi rasa gugupnya.

Namun, saat ia hendak berdiri, tangan Azka menahan pergelangan tangannya. “Nggak usah pergi… sebentar aja. Duduk di sini.”

Zia memandangnya dengan bingung. “Kak, aku cuma mau—”

“Please,” potong Azka singkat.

Akhirnya Zia menuruti. Ia duduk di tepi ranjang, membiarkan Azka berbaring sambil tetap memegang tangannya. Sesekali Zia merapikan selimut yang menutupi tubuh kakak Aksa itu.

Keheningan menyelimuti kamar. Hanya suara napas Azka yang kini lebih teratur terdengar. Zia menatap wajahnya yang kini terlihat lelah tapi damai.

“Jangan sering bikin orang khawatir, kak,” bisik Zia pelan, nyaris seperti bicara pada diri sendiri.

Azka membuka mata sebentar, menatap Zia, lalu tersenyum samar. “Kalau yang khawatir lo… gue nggak masalah.”

Zia terkesiap. Ia mengalihkan pandangan, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memanas. “Aku… mau ambil air hangat aja deh,” katanya cepat sambil bangkit.

Azka hanya tersenyum tipis, membiarkan gadis itu keluar. Dalam hatinya, ia bersyukur Zia datang tepat waktu.

Dan di luar kamar, Zia tak bisa menahan detak jantungnya yang tak beraturan. Entah kenapa, sikap dingin Azka justru membuatnya ingin lebih mengenalnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!