"Cium gue, terus semua masalah selesai."
"You're crazy!?"
"Kenapa gak? Sebentar lagi lo bakal jadi istri gue, jadi wajar dong kalau gue nyicil manisnya dari sekarang."
Kesya Anggraini Viorletta, gadis cantik, pintar, kalem, dan setia. Sayangnya, dia sudah punya pacar Kevin, ketua geng motor sekolah sebelah.
Menikah sama sekali gak pernah ada di pikirannya. Tapi wasiat almarhum papanya memaksanya menikah muda. Dan yang bikin kaget, calon suaminya adalah kakak kelasnya sendiri, Angga William Danendra cowok ganteng, atletis, populer, tapi badboy sejati. Hobi balapan, tawuran, keluyuran malam, dan susah diatur.
Bagi Angga, apa yang sudah jadi miliknya enggak boleh disentuh orang lain. Dia posesif, pencemburu, dan otoriter. Masalahnya, pacar Kesya ternyata musuh bebuyutannya. Dua ketua geng motor yang tak pernah akur, entah kenapa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Duduk Sini Samping Gue
“Ck, Riska ke mana sih, lama banget gak keluar-keluar!” gumam Kanaya pelan, sambil melirik kesal ke arah pintu toilet perempuan. Dari tadi dia berdiri sendirian di depan pintu itu, menunggu sahabatnya yang sudah menghilang ke dalam beberapa menit lalu. Tangannya bahkan sudah beberapa kali melipat di dada, lalu diturunkan lagi dengan resah. Kaki kanannya mengetuk lantai pelan, sekadar menyalurkan rasa bosan yang makin lama makin menumpuk.
Seiring waktu berjalan, beberapa siswa lain lalu-lalang di depannya. Beberapa di antaranya sempat melirik, bahkan ada juga yang iseng menyapa dengan gaya masing-masing.
“Hai Kanaya…” celetuk salah satu cowok sambil senyum sok manis.
“Halo Kanaya…” sapa yang lain, lebih pede.
“Sendiri aja Kanaya?” tanya lagi, nadanya dibuat-buat genit.
“Kiw kiw ke kantin yuk neng abang traktir!” seru yang paling norak, lengkap dengan siulan kecil.
Kanaya hanya membalas semua itu dengan senyum tipis, lebih ke basa-basi daripada ramah. Selebihnya hanya anggukan singkat. Dia malas sekali meladeni omongan garing begitu. Yang ada dia malah makin suntuk.
Untungnya, ponsel di tangannya tiba-tiba bergetar.
Ting!
Sebuah pesan masuk. Kanaya buru-buru menunduk menatap layar, dan begitu membaca isi pesan, ekspresinya seketika berubah.
Kevin: Aku udah suruh orang anter mobil kamu ke Pelita Bangsa. Thanks ya sayang jadi ngerepotin.]
Wajah Kanaya yang tadinya kesal langsung merekah dengan senyum semringah. Nama pengirim itu Kevin cukup untuk bikin pipinya merona. Hanya dengan satu pesan sederhana, suasana hatinya berubah total.
Jemarinya lincah mengetik balasan.
Kanaya: Iya sama-sama. Gimana motornya udah beres?
Tak sampai semenit, balasan sudah muncul.
Kevin: Beres, udah siap lagi buat bonceng kamu haha!
Kanaya hampir saja ngakak di tempat, untung cepat menutup mulutnya dengan tangan. Senyum lebarnya masih bertahan, bahkan matanya ikut berbinar.
“Kesambet apaan lo, siang bolong gini malah nyengir-nyengir sendiri!” tiba-tiba terdengar suara dari samping.
Kanaya langsung menoleh kaget. Rupanya Riska akhirnya keluar juga dari dalam toilet, berjalan santai mendekatinya.
“Lama banget lo di dalem ngapain aja coba!” protes Kanaya dengan wajah meringis. Nada suaranya dibuat-buat cemberut.
“Hehe sorry antri Kanaya. Serius deh,” jawab Riska, sembari mengangkat dua jarinya dengan wajah polos.
“Ck.” Kanaya berdecak sambil manyun. “Udah ayo ke kantin. Gue laper banget sumpah. Kayak mau pingsan rasanya!” ujarnya lebay, sampai-sampai menyeret lengan Riska biar cepat jalan.
Mereka pun melangkah ke arah kantin yang jaraknya tidak terlalu jauh dari toilet.
Begitu tiba suasana sudah benar-benar ramai. Bel istirahat baru berbunyi sekitar sepuluh menit lalu, dan sekarang kantin dipenuhi siswa dari berbagai kelas. Suara riuh rendah obrolan bercampur aroma makanan yang menguar, bikin perut siapa pun langsung keroncongan.
Di salah satu sudut kantin, tampak Angga duduk bersama Rafa dan Arel. Di meja mereka sudah terhidang beberapa piring makanan, lengkap dengan minuman dingin yang membasahi sisi gelas.
“Wuih Kanaya tuh Rel! Idaman gue masuk woii!” seru Rafa begitu melihat Kanaya muncul bersama Riska. Matanya berbinar-binar norak, ekspresinya lebay sampai Arel otomatis mendengus.
“Ck buat lo semua cewek juga idaman. Emang ada cewek jelek di mata lo?” sindir Arel, malas mendengar ocehan sahabatnya yang nggak pernah serius kalau sudah bahas cewek.
Angga yang sedari tadi diam, hanya mendengarkan sambil mengaduk minumannya, langsung mendongak. Begitu nama Kanaya disebut, pandangannya otomatis mengarah ke pintu. Matanya menajam langsung mengunci pada sosok Kanaya yang tertawa kecil sambil ngobrol dengan Riska. Entah kenapa sudut bibirnya ikut terangkat tipis.
Tanpa pikir panjang, dia meraih ponsel di meja, mengetik cepat.
[Duduk sini samping gue]
Tatapannya masih lekat menatap Kanaya ketika pesan terkirim. Beberapa detik kemudian, terlihat gadis itu merogoh ponselnya. Kanaya membaca pesan itu, lalu spontan melirik ke arah meja Angga. Sekilas, tatapan mereka bertemu. Singkat, tapi cukup membuat jantung Kanaya berdebar kencang. Cepat-cepat dia mengalihkan pandangan, menunduk seolah sibuk.
“Heh,” Angga mendengus geli, matanya menyipit melihat tingkah Kanaya yang jelas-jelas malu.
Tak lama, ponselnya bergetar.
Ting!
Naya: Gak mau
Alis Angga terangkat. Dia langsung membalas cepat.
Angga: Kenapa?
Naya: Masih sayang nyawa. Gue gak mau jadi bahan bully-an cewek lo!
Angga: Cewek gue? Siapa maksud lo?
Naya: Bukannya lo sendiri yang lebih tau dari pada gue?
Angga: Gue gak ngerti maksud lo
Naya: Bullshit! Cowok emang tukang bohong!
Angga: Termasuk cowok lo? (disertai emot smirk)
Angga menahan tawa kecil, sampai bahunya bergetar tipis. Baru saja dia meletakkan ponselnya, Rafa sudah nyeletuk lagi.
“Eh Ga cewek yang jalan sama Kanaya itu kok familiar ya. Gue kayak pernah liat sebelumnya, tapi lupa di mana.” Rafa mengernyit sambil menunjuk ke arah Riska.
Angga melirik sekilas, lalu smirk tipis langsung muncul.
“Gue juga ngerasa gitu,” timpal Arel. “Kayak pernah liat, tapi bener-bener lupa di mana.”
“Heh.” Angga mendengus, nadanya rendah tapi sarat sinis. “Kejadian setahun lalu. Jangan bilang lo berdua udah lupa sama kecelakaan malam itu.”
Rafa dan Arel refleks saling pandang, dahi mereka sama-sama berkerut. Ingatan mereka jelas tergelitik.
“Ck banyak banget gak sih kejadian waktu itu? Lo kan sering banget kecelakaan Pas balapan,” komentar Rafa, berusaha mengingat lebih detail.
Ponsel Angga kembali bergetar.
Ting!
Naya: Cowok gue jujur gak kayak lo yang doyan bohong.
Angga melirik layarnya sekilas, lalu kembali menatap ke seberang kantin, tepat ke arah Kanaya. Smirk tipis lagi-lagi muncul. Jemarinya kembali mengetik.
Angga: Siapapun bisa nyakitin pada waktunya. Bahkan orang yang paling lo percaya sekalipun.
Naya: Lo jangan sotoy nasehatin gue!
Angga: Kalau lo nangkepnya nasehat, berarti bagus. Tugas gue emang gitu, ngingetin lo biar gak salah langkah.
“Ga,” panggil Rafa, memecah fokus Angga.
Dia mendongak, menaikkan alis.
“Maksud lo kecelakaan yang sama ceweknya Sa..”
“Hm.” Angga cepat-cepat memotong. Tatapannya tiba-tiba mengeras, tajam menusuk. “Lo masih inget sama cewek yang juga nangis-nangis di rumah sakit malam itu kan?”
Arel ikut terdiam, berusaha memeras ingatan. Lalu jari telunjuknya mengetuk pelipis. “Oh iya ada tuh satu cewek. Gue lupa namanya…”
“Dina kalau gak salah,” sahut Rafa cepat.
“Nah iya! Si Dina.” Arel menjentikkan jari, seolah baru menemukan puzzle yang hilang. “Jangan bilang sahabatnya Kanaya itu juga sahabatnya Dina?”
“Jadi dia orang yang sama? Cewek yang dulu selalu nempel sama Dina? Terus Kanaya tau gak soal ini?” Rafa ikut menimpali, wajahnya bingung.
“Udah pasti gak. Dia gak sebodoh itu sampai ngumbar identitasnya,” jawab Angga datar. Matanya sekali lagi melirik ke arah Kanaya yang tertawa bersama Riska. Sorot matanya sulit ditebak.
“Kalau gak percaya, lo bisa buktiin sendiri.”
“Caranya?” Rafa dan Arel kompak bertanya.
“Ya tanya aja langsung. Atau kasih liat fotonya. Kalau dia bilang gak kenal, berarti bener gak tau. Gitu aja repot.” Angga mendengus, malas membuang banyak kata.
“Bener juga ck! Lo bego banget sih Raf!” Arel langsung menyikut lengan sahabatnya.
“Lo juga gak kalah oon blok!” balas Rafa cepat, sampai-sampai Arel oleng hampir jatuh dari kursinya.
Suasana meja mereka seketika penuh adu mulut kecil, tapi Angga tetap diam. Pandangannya masih terpaku pada satu titik: Kanaya. Seolah hanya gadis itu yang ada di dalam kantin penuh sesak ini.