(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menanyakan tentang keberadaan Elena
Michelle sudah duduk di kursi penumpang mobil, tatapannya kosong menatap jendela. Tadi, Alfred tiba-tiba menarik tangannya dengan cepat, mendesak segera masuk mobil.
Pikiran Michelle masih kacau, membayangkan kejadian di pemakaman tadi. Ia teringat wajah kakak sepupunya yang membuatnya bingung, apakah itu cuma ilusi atau memang nyata.
Jari-jarinya menekan layar ponsel, memfokuskan diri bermain permainan masak-masakan daripada harus memikirkan kejadian itu.
Alfred melakukan panggilan telepon,“Vino, jalankan rencana selanjutnya. Aku puas dengan apa yang sudah terjadi,”
Gadis itu menatap suaminya penuh tanda tanya. Di balik diamnya, ada rasa keingintahuan, namun ia memilih tetap diam.
Mana berani dia?
Pintu belakang terbuka, Michelle spontan menoleh—Kimberly masuk. Bukankah gadis itu sudah pulang bersama keluarga lain?
Kimberly tersenyum manis, "Paman, antarkan aku ke sekolah, jalannya searah dengan kalian."
Alfred yang sedang sibuk bicara di telepon hanya melemparkan pandangan singkat dari kaca dasbor.
Kimberly menatap Michelle,"Bibi kecil, apa aku mengganggu kalian?"
Michelle membalas dengan senyum tipis, "Tentu saja tidak."
Di dalam hati, ia bersyukur Kimberly datang dan mencairkan suasana kaku dalam mobil itu.
Kimberly lanjut bertanya, "Bibi kecil, Mama bilang bibi jago melukis ya?"
Michelle mengangkat bahu malu-malu, "Sedikit."
Kimberly tertawa kecil, "Ah, aku tak percaya! Mama bilang lukisan bibi kecil pernah terjual sampai 10 milyar, apakah itu masih belum luar biasa?"
Michelle tersenyum canggung,"Kau terlalu memuji," ucapnya sambil terkekeh ringan, matanya menoleh ke arah suaminya yang baru selesai menelepon.
"Bibi bisa menggambar karakter anime?"
"Karakter anime? Maksudnya, semacam tokoh dalam komik?" tanya Michelle, sedikit ragu.
"Benar sekali!" Kimberly menjawab dengan semangat, lalu menoleh kesal ke pamannya. "Paman! Jalankan mobilnya, aku tidak mau terlambat mengikuti les."
Alfred mengangkat bahu santai, "Siapa suruh naik ke mobilku?" tapi segera menjalankan mobilnya.
Michelle mengangguk kecil, "Bisa, tapi tidak terlalu mahir."
Kimberly tersenyum lebar. "Bagaimana kalau aku dan bibi kerja sama? Bibi kecil, kau gambar karakternya, aku yang membuat jalan ceritanya."
Michelle mengangkat sebelah alis, tampak ragu.
Kimberly lalu menyatukan kedua tangannya di depan dada, memelas, "Ayolah, bibi kecil, tolong bantu aku."
"Kapan kau membutuhkannya?"
Kimberly terdiam sesaat, berpikir "Minggu depan, Bibi bisa mulai membuatnya. Kalau mau, aku bisa kirim karakter pemeran utama,"
Michelle mengangguk ringan, "Baiklah, aku akan membantumu."
Senyum lebar merekah di wajah Kimberly. Ia sedikit bangkit, meraih kedua tangan Michelle dengan hangat. "Terima kasih, Bibi kecil,"
Alfred yang duduk di kursi pengemudi memotong, suara datar mengingatkan, "Duduk yang benar, Kim."
Kedua gadis itu langsung merunduk, merasa agak kikuk sebelum kembali duduk tegap. Kimberly menoleh ke luar jendela, menyadari mobil sudah berhenti di depan sekolahnya.
"Terima kasih atas tumpangannya," ujarnya sopan sambil membuka pintu.
Alfred hanya berdehem pelan dan kembali fokus mengemudi setelah melihat Kimberly keluar. Suasana tiba-tiba sunyi, hanya suara mesin mobil yang mengisi ruang.
Michelle mencuri pandang pada suaminya, ada keraguan terpancar di matanya.
"Apa yang mau kau tanyakan?" Pertanyaan Alfred membuat Michelle tersentak, tak menduga suaminya bisa mengerti apa yang ia rasakan.
"Mengapa om tahu?" Cicit gadis itu.
Alfred tak mengalihkan pandangan dari jalan, "Mungkin saja aku bisa baca pikiranmu."
Michelle tersentak, matanya melebar. "Apa, Om bisa membaca pikiranku?"
Ada senyum geli menyungging di bibir Alfred. "Karena otakmu sangat kecil," godanya santai.
Michelle mengernyit, lalu dengan sengaja menggembungkan pipinya seperti ikan yang sedang menggelembungkan dirinya. Matanya menatap tajam ke Alfred, mencoba mengusir rasa kesal yang mulai merayap.
"Kondisikan wajahmu, jangan sampai aku menerkammu," goda Alfred sambil melirik sekilas. Ia merasa gemas dengan wajah yang ditunjukkan istrinya.
Seketika itu juga, Michelle menarik napas panjang dan merapikan ekspresinya, duduk kembali menghadap suaminya dengan tenang.
"Apa Om tahu keberadaan kak Elena?"Matanya menangkap tangan Alfred yang diam-diam mencengkeram stir, jari-jarinya mengepal erat hingga urat-urat tampak menonjol.
Sebuah ketakutan ringan menusuk Michelle—takut kemarahan suaminya meledak.
"Tentu saja aku tahu," jawab Alfred datar.
Michelle hanya mengangguk pelan, tak perlu kata-kata lebih. Suaminya, dengan segala kemampuannya, pasti bisa menemukan siapa saja yang ia cari.
"Lalu sekarang?" Michelle melanjutkan.
Alfred menoleh padanya, sorot matanya tajam menelusuri tiap inci wajah istrinya. "Kenapa tiba-tiba kau menanyakan wanita itu? Apa kau berharap ia kembali?"
Michelle kaku. Tangannya gemetar saat meremas kain di pangkuan, ingin berkata tidak namun pikirannya berontak dengan kemungkinan yang lain.
Melihat istrinya diam, Alfred menarik napas panjang berat. "Sekarang, giliranku bertanya,"
Michelle hanya mampu mengangguk pelan.
"Kau tahu, sebelum ini... Elena pernah bersama pria lain?" suara Alfred pecah.
Michelle menatap jauh ke depan. "Maksudnya, sebelum Om?" tanyanya untuk memastikan.
Alfred mengangguk pelan. "Iya, benar."
"Saat Kak Ele masih duduk di bangku SMA, dia sering mengajak pulang seorang laki-laki. Mereka... mereka begitu mesra. Bahkan tak malu melakukan itu di ruang utama mansion. Anak seusia aku saat itu harus menyaksikan semuanya." ucap Michelle dengan bibir mengerucut, membayangkan kejadian itu.
Alfred mencengkeram setir mobil dengan erat, napasnya memburu. Ia sekarang membenarkan perkataan kakeknya.
Sial!
"Kau mengenal pria itu?"
"Tidak, aku tak pernah benar-benar mengenalnya," Michelle menghela napas berat, "Tapi aku tahu namanya—sering dipanggil Anton."
Raut wajah Alfred berubah.
"Waktu Kak Ele memperkenalkan Om ke keluarga, aku terpaku. Tak kusangka, tiba-tiba ia sudah berganti pasangan. Dan orang itu... orang itu ternyata Om, penyelamatku."lanjut Michelle.
Michelle menatap raut wajah suaminya, keningnya berkerut penuh kecemasan. Ia hanya bisa melihat wajah suaminya berubah dingin.
Mobil mereka berhenti di depan bar mewah yang memancarkan kemewahan sekaligus ketegangan; deretan mobil elit mengelilingi bangunan itu seperti penjaga tak terlihat.
Alfred turun terlebih dahulu, meninggalkan Michelle dengan jantung berdegup kencang. Ketakutan yang ia coba tahan mengganjal kuat di dada, membawa ingatan kelam saat pamannya dulu menyeretnya ke tempat seperti ini untuk dijual.
Napasnya tercekat, suara kecil dalam hati berteriak, *“Apa ini? Apa aku akan kembali ke neraka?”*
“Om... apa ini tempatnya? Om... Om mau menjualku?” suara Michelle pecah. Air matanya menggenang, ingin tumpah melepaskan rasa takut yang membeku di dada.
Alfred menatap istrinya. “Siapa yang mau menjualmu? Kau sudah menjadi istriku sekarang,” ucapnya pelan, seolah berusaha meredakan trauma di hati gadis kecil itu. Trauma itu nyata, tapi Michelle harus bisa melewati ini.
“Barangkali aku terlalu cerewet, membuatmu kesal...” suara Michelle tercekat, tubuhnya masih menggigil.
“Tidak ada itu,” potong Alfred tegas, menggenggam tangan istrinya dengan lembut namun pasti. “Ayo, masuk bersamaku."
Michelle hanya bisa pasrah, jantungnya berdebar tak karuan saat mengikuti langkah sang suami. Begitu memasuki ruangan, tubuhnya merapat erat ke lengan lelaki itu, matanya mengamati sekeliling yang penuh dengan hiruk-pikuk dunia lain.
Ada yang sudah mabuk, terjerat dalam kebebasan yang menjatuhkan, ada pula pasangan yang asyik berciuman di sudut ruangan.
Hingga tiba-tiba, suaminya menaiki tangga ke lantai dua dan masuk ke sebuah ruang VIP. Mata Michelle melebar, terpana oleh kemegahan di depan matanya.
Ketakutan yang tadi merayap di dadanya mulai mereda, tergantikan oleh rasa kagum. Namun, tatapannya terpaku pada tiga sosok yang duduk di pojok ruangan — sahabat-sahabat suaminya.
Alfred menoleh padanya, suara dinginnya menusuk, “Masihkah kau menuduhku menjualmu, bocil?”
Senyum kikuk mengembang di bibir Michelle, malu merayapi kulitnya.
“Hei, Michelle!” sapaan Jolina, tangan yang melambai.
Michelle tersenyum tipis, tapi pelukannya di lengan suami belum juga melepas. "Duduklah," bisik Alfred lembut sambil menuntun istrinya ke sisi Jolina.
"Max, aku perlu bicara serius denganmu," suaranya berat.
Maxime hanya mengangguk, berdiri mengikuti langkah Alfred tanpa sepatah kata pun.