Bagaimana jadinya jika kamu menjadi anak tunggal perempuan di dalam keluarga yang memiliki 6 saudara laki-laki?
Yah, inilah yang dirasakan oleh Satu Putri Princes Permata Berharga. Namanya rumit, ya sama seperti perjuangan Abdul dan Marti yang menginginkan anak perempuan.
Ikuti kisah seru Satu Putri Princes Permata Berharga bersama dengan keenam saudara laki-lakinya yang memiliki karakter berbeda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurcahyani Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Kejadian Di Rumah Bikin Trauma Part 1
Motor yang dilajukan Tawi kini berbelok masuk ke dalam area pekarangan rumah setelah diberi tahu oleh Incces yang dalam perjalanan menjadi penunjuk jalan.
Ia melangkah turun dari motor disusul Marti yang nampak kebingungan. Ia mendekat menghampiri Incces lalu menoleh ke kiri dan ke kanan mencari seseorang, yap siapa lagi kalau bukan Pralim dan Pranam.
"Loh, Incess pulang sama siapa?" tanya Marti sembari menunjuk Tawi yang nampak tersenyum disusul Zen yang baru saja ikut memarkirkan motornya tepat di belakang motor milik Tawi.
"Ini semua teman-teman Incces, Ma. Hari ini kita bakalan kerja kelompok di rumah, nggak apa-apa kan Ma?"
Marti mengganggu memberi jawaban lalu menatap kedua sahabat anaknya itu, Tawi dan Zen secara bergantian menatap dari ujung rambut hingga ke ujung kaki membuat Tawi dan Zen saling melirik.
Tawi dan Zen terlihat anak yang baik-baik apalagi dengan gaya culun Zen yang kini berdiri sambil mendorong kacamatanya yang sedikit merosot turun dari batang hidungnya.
"Oh, nggak apa-apa. Mama nggak apa-apa, kok malahan Mama suka banget, senang kalau temen-temen Incces bisa datang ke rumah."
"Makasih, ya Ma. Oh iya Ma ini Tawi sama Zen. Zen! Tawi! Kenalin ini Mama Incces."
Tawi dan Zen buru-buru menyalimi tangan Marti yang dengan cepat melap tangannya itu di baju daster yang ia kenakan. Takut teman-teman anaknya mencium aroma bumbu dapur.
"Saya Tawi, Tante."
"Saya Zen."
Marti mengganggu sambil tersenyum saat sahabat Incces memperkenalkan diri masing-masing. Dari wajahnya, Marti tahu kalau semua teman-temannya itu adalah orang baik.
"Tapi-" Marti menghentikan ujarannya lalu menoleh menatap ke sekeliling mencari seseorang.
"Abang-abang kamu mana?"
"Nggak tau."
"Loh? Kok bisa nggak tau."
"Incces tinggalin di sekolah."
"Tapi kok belum pulang?"
"Incess nggak tau. Nanti juga sampai ke rumah kok Ma."
"Tapi-"
Marti ingin bicara lagi tapi tak enak jika membahasnya di depan kedua teman putrinya itu.
"Ya sudah ajak teman-teman kamu masuk ke rumah ya, nak biar Mama buatin minuman."
"Duh nggak usah repot-repot tante," ujar Tawi sungkan.
"Iya Tante, kita juga nggak lama kok cuman kerja kelompok aja terus pulang," tambah Zen.
"Udah nggak apa-apa. Nggak baik loh kalau datang ke rumah Incces tapi nggak minum apa-apa. Tunggu dulu, ya Tante buatin minum."
"Incces, ajak teman-teman kamu masuk ke rumah!" ujarnya lagi.
"Iya Ma. Tawi! Zen! Yuk kita masuk ke rumah!"
Tawi dan Zen mengangguk dan tersenyum ke arah Marti sebelum mereka benar-benar masuk ke dalam rumah.
Untuk pertama kalinya Incces membawa teman-temannya ke rumah. Sebelumnya ia tidak pernah mengajak teman-temannya itu kerja kelompok di rumah. Yah, sepertinya Marti harus memberikan pelayanan yang baik kepada teman-teman anaknya sekaligus untuk menyenangkan hati anak perempuannya.
"Jeng!" teriak pembeli membuat Marti menoleh.
"Apa?"
"Mau beli telur," jawabnya membuat Marti berlari.
...----------------...
Tawi mendongak ke sembarang arah menoleh ke kiri dam kanan menatap suasana ruang tamu yang memiliki aura kekeluargaan. Lihat saja banyak foto yang terpampang di sana dari foto anak-anak berseragam wisuda tapi yang membingungkan adalah bukan hanya satu tapi ada tujuh foto yang terpampang.
"Kalian duduk di sini dulu, ya. Incces mau ganti seragam dulu."
Tawi dan Zen mengangguk membuat Incces melangkah pergi ke arah kamarnya.
"Lah kalian siapa?"
Suara pria terdengar membuat Tawi dan Zen menoleh secara bersamaan menatap pria gendut yang menatapnya dengan serius. Menatap serius dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Kami te-temenya Incces, om," jawab Tawi takut.
Pratama seketika lemas. Rasanya ada yang memukul dadanya begitu keras. Tak menyangka jika gadis berseragam SMA itu memanggilnya dengan sebutan om. Apakah dia setua itu?
"Hem, jangan ganggu! Itu temen-temennya Incces," ujar Marti sembari melangkah membawa nampang berisi teh manis.
Marti tersenyum sembari meletakkan dua cangkir ke atas meja membuat Tawi dan Zen tersenyum canggung.
"Diminum ya tehnya! Jangan malu-malu anggap saja rumah sendiri."
"Iya tante," jawab Tawi sementara Zen nampak terdiam menatap ke arah Pratama.
Marti ikut menoleh ke arah mana Zen melihat sosok Pratama yang masih berdiri sambil bajunya yang nampak terangkat memperlihatkan perut buncitnya yang berbentuk donat itu.
Oh Tuhan, apa yang dilakukan oleh putranya itu. Marti dengan cepat berlari menghampiri Pratama yang menurunkan bajunya.
"Em, maaf ya, nak. Ini saudaranya Incces yang pertama. Namanya Pratama."
Tawi dan Zen melongo tak percaya. Mereka sangatlah tak menyangka jika pria yang baru saja ia panggil dengan sebutan om itu rupanya adalah saudara dari Incces. Mereka bahkan tak memiliki kesamaan fisik.
"Diminum tehnya!" ujarnya kembali mempersilahkan lalu dengan cepat menarik pergelangan tangan Pratama sambil berbisik dengan nada suaranya yang ditekan.
"Ayo ikut Mama!"
"Mau kemana?" tanya Pratama tapi tak dijawab.
Kedua mata Tawi melirik mengikuti kepergian Marti dan Pratama. Ia masih diam dengan pikirannya yang masih berdebat.
"Kamu percaya?" bisik Zen membuat Tawi menggelengkan kepalanya.
Beberapa detik kemudian kini mereka mengeluarkan buku tugas untuk mengerjakan tugas kelompok sembari menunggu Incces yang tak kunjung datang. Beberapa cemilan tersedia di atas meja disertai teh hangat buatan Marti.
"Yuhuuuu, akyuuuu pulang!" suara jeritan manja terdengar membuat Zen dan Tawi dengan kompak menoleh dengan kedua matanya yang membulat kaget.
Mereka terkejut mendapati sosok pria dengan baju pink berukuran kecil yang biasanya dipakai biduan dangdut untuk bernyanyi dipanggung hajatan kompleks perumahan kini ada di hadapan mereka.
"Oh mayyyy goaaaadddd!!! Kalian semua siaphaaaa?!!" jeritnya sambil menunjuk membuat Zen dan Tawi bangkit dari lantai.
Keduanya gemetar, tak pernah mereka setakut ini melihat manusia.
"Ka-ka-kami-"
"Aaaawwww!!!" jerit Pradu dengan manja saat menatap Zen yang terlihat gemetar.
Cowok SMA dan berkacamata, Pradu suka itu.
Ia melangkah berlenggak lenggok mendekati Zen yang semakin bergetar ketakutan. Ia melangkah mundur berniat untuk menjauhi Pradu tapi Pradu lebih cepat menarik pergelangan tangan Zen yang terlihat ingin menangis.
Tawi ikut gemetar apalagi wajah Pradu yang dihiasi dengan make-up tebal, bulu mata lentik anti badai seakan sedang menakut-nakuti. Ia mengambil tas sekolahnnya dan memeluknya erat sembari melangkah mundur menjauhi Zen dan Pradu.
"Mas tolong sa-sa-saya-"
"Hust! Jangan panggil akyu Mas, dong! Panggil akyuu loveeeee, ahahhaha!!!"
Zen menutup telinganya saat Pradu tertawa kencang mirip raksasa di film dongeng jaman dulu. Tawi memeluk tasnya lebih kuat. Siap-siap saja jika pria bencong ini mengigit maka dia sudah siap untuk berlari pergi dari rumah.
"Emmmmmm."
Zen meneguk salivanya sambil menutup kedua matanya saat Pradu mengendus seragam sekolahnya. Oh Tuhan, Zen sangat takut jika pria ini mengigit lehernya.
"Kamyuuu wangi juga yahh. Aemhhhhh akyuuu makin suka, deh. Ah! Ah! Ah!"
Zen menutup kedua telinganya dengan kuat. Suara itu sangat menjijikkan.
"Aaaaaaaa!!!" teriak Zen yang langsung berlari tapi tangannya dipegang kuat sambil menggeliat manja di pundak Zen oleh Pradu yang masih memasang wajah menggoda tapi alhasil membuat Zen semakin takut.
"Abang Pradu!" teriak Incces.