Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fajar Yang Tidak Menjanjikan
Udara menjelang subuh terasa menusuk tulang. Dari celah papan gudang, cahaya remang-remang mulai menyusup, mengusir gelap malam yang memeluk mereka selama berjam-jam. Leon belum tidur sedikit pun. Ia duduk bersandar ke dinding, jemarinya terus memainkan bagian atas pistol seolah-olah setiap detik ia siap menarik pelatuk.
Lana terbangun lebih dulu. Ia memeriksa Arya, memastikan anak itu masih hangat di dalam jaket. “Kamu sama sekali nggak tidur?” tanyanya lirih.
"Aku harus tetap menjaka kalian, aku kawatir mereka menemukan kita."
Lana ingin protes, tapi ia tahu itu sia-sia. Di mata Leon, rasa aman hanya ada ketika ancaman sudah mati atau hilang dari pandangannya. Dan untuk saat ini, ancaman mereka masih hidup dan masih memburu mereka.
Isyarat di Udara
Seekor burung gagak tiba-tiba terbang rendah melewati atap gudang, suaranya parau memecah keheningan. Leon menegakkan badan, matanya menyipit. “Burung itu nggak terbang pagi-pagi kecuali ada yang mengusiknya,” gumamnya.
Lana menelan ludah. “Mereka?”
“Bisa jadi. Atau… predator lain.” Leon meraih ransel, mengeluarkan dua botol air, menyerahkannya. “Minum. Kita berangkat dalam lima menit.”
Arya mengucek matanya, tampak linglung. “Kita mau pulang, Ayah?”
Leon tersenyum tipis. “Belum, Nak. Kita cuma pindah tempat dulu.”
Bergerak Sebelum Terlambat
Mereka keluar lewat pintu belakang gudang, mengendap di antara tumpukan karung yang basah oleh embun. Jalan setapak menuju barat masih berkabut tipis. Leon berjalan paling depan, langkahnya pelan tapi pasti, seolah setiap sentimeter tanah bisa menyembunyikan jebakan.
Lana sempat menoleh ke belakang, memastikan jejak mereka samar di tanah lembap. “Kalau mereka tahu kita keluar, mereka akan memotong jalan,” bisiknya.
“Karena itu kita harus keluar dari desa sebelum kabut mengangkat,” jawab Leon. “Kabut adalah penyamaran untuk kita.”
Pertemuan Tak Terduga
Sekitar tiga ratus meter dari gudang, kabut mulai menipis, memperlihatkan bayangan seseorang berdiri di tengah jalan. Tubuhnya tinggi, dibalut jaket tebal, dan topi lebar menutupi wajah. Leon langsung menghentikan langkah, memberi isyarat berhenti.
Pria itu tidak bergerak. Tangannya dimasukkan ke dalam saku, tapi bahunya agak miring—posisi yang biasa diambil orang yang siap menarik senjata.
“Siapa dia?” tanya Lana pelan.
Leon tidak menjawab. Ia hanya menurunkan Arya dari gendongannya, memposisikan anak itu di belakang ibunya, lalu maju perlahan. “Pagi dingin untuk berdiri sendirian,” ucapnya datar.
Pria itu mengangkat kepalanya. Matanya tajam, namun senyumnya tipis. “Dan pagi berbahaya untuk berjalan keluar desa. Banyak orang asing yang berkeliaran.”
Negosiasi di Jalan Kabut
Leon menilai pria itu cepat, cara berbicaranya, cara berdiri, semuanya menunjukkan dia orang yang sudah berpengalaman. “Kalau kau salah satu dari mereka, ini kesempatanmu untuk menyerang. Kalau tidak, minggir.”
Pria itu tertawa pendek. “Aku bukan pemburu, tapi aku kenal seseorng yang sedang memburumu. Mereka membayar mahal untuk sebuah informasi.”
Lana menahan napas, tangannya menggenggam erat Arya. “Jadi kau mau menjual kami?”
“Kalau aku mau, aku sudah menekan tombol di radio ini,” pria itu mengangkat sedikit alat di sakunya. “Tapi aku tidak. Karena aku butuh balas dendam, dan kalian bisa membantuku.”
Leon menyipitkan mata. “Balas dendam?”
“Mereka membakar ladangku. Membunuh saudaraku. Aku mau satu hal saja, mereka mati.”
Kesepakatan Sementara
Leon tidak percaya orang asing dengan mudah. Tapi waktu mereka terbatas. “Kalau aku setuju, kau bisa bawa kami keluar tanpa hambatan?”
“Ada jalur lama di sisi barat laut. Butuh dua jam jalan kaki. Mereka nggak akan mengira kalian pergi lewat sana.”
Lana berbisik, “Leon, ini pasti jebakan.”
“Mungkin,” jawab Leon lirih. “Tapi jalur kita sekarang juga penuh jebakan.”
Akhirnya, Leon mengangguk pada pria itu. “Tunjukkan jalannya.”
Pria itu berbalik tanpa banyak bicara, melangkah cepat menembus kabut.
Jalur Lama
Mereka mengikuti pria itu melalui kebun jagung yang sudah dipanen, lalu masuk ke hutan pinus yang rimbun. Tanahnya kering, daun-daun berguguran membuat langkah mereka nyaris tak bersuara.
Sesekali pria itu berhenti untuk mendengarkan. “Mereka belum ada di sini” katanya singkat.
Leon tetap waspada, sesekali menoleh ke belakang. Kabut perlahan menghilang, memberi cahaya pagi yang lebih terang, dan membuat mereka lebih mudah terlihat.
“Kita harus lebih cepat,” desis Leon.
Titik Bahaya
Saat mereka hampir mencapai tanjakan kecil, suara kendaraan terdengar dari kejauhan. Mesin itu berat dan berderak, mungkin truk tua. Pria itu langsung membawa mereka menepi, bersembunyi di balik batu besar.
Truk itu melintas di jalan setapak di bawah, dua orang duduk di bak belakang, senjata siap di pangkuan. Leon mengenali logo kecil di jaket mereka, organisasi yang sama yang memburunya.
Lana menahan napas hingga truk menghilang. “Mereka tahu kita di sekitar sini.”
“Tidak. Itu patroli rutin. Tapi mereka mungkin akan mencium jejak kita kalau kita terlalu lama,” jawab pria itu.
Jembatan Runtuh
Setelah hampir dua jam berjalan, mereka tiba di sungai selebar lima meter. Di atasnya ada jembatan kayu yang sudah setengah runtuh, papan-papannya lapuk dan berlumut.
“Kita harus menyeberang dari sini,” kata pria itu.
Leon menatap struktur itu. “Kalau jembatan ini nggak kuat, kita jatuh ke air.”
“Airnya dangkal. Tapi arusnya kuat. Kalau kau mau coba jalur lain, butuh waktu setengah hari.”
Leon memutuskan untuk terus maju. Ia menyeberang lebih dulu, memastikan setiap papan cukup kuat untuk menopang berat. Setelah ia sampai di tengah, ia memberi isyarat pada Lana.
Arya menyeberang sambil berpegangan pada ibunya, wajahnya pucat. Kayu berderit di bawah kaki mereka, tapi akhirnya semua sampai di seberang.
Tanda di Langit
Saat mereka melanjutkan perjalanan, suara ledakan kecil terdengar di kejauhan, disusul asap oranye yang membubung di langit. Pria itu menoleh cepat. “Itu sinyal mereka. Mereka tahu kita keluar.”
Leon meraih pistolnya. “Berapa jauh jalur ini dari titik aman?”
“Sekitar lima belas menit.”
“Kalau begitu, kita lari.”
Pengejar di Ekor
Langkah mereka kini tergesa. Ranting patah di belakang menandakan ada yang mengikuti. Leon berbalik sekilas, dua bayangan bergerak cepat, senjata terangkat.
“Terus maju!” teriak Leon sambil membalas tembakan satu kali, cukup untuk membuat pengejar berlindung.
Arya menangis ketakutan, tapi Lana terus menariknya. Nafas mereka berpacu dengan detik yang semakin pendek.
Gerbang Batu
Akhirnya, mereka tiba di celah tebing dengan dua batu besar seperti gerbang alam. Di seberangnya, jalan menurun menuju lembah yang dipenuhi pepohonan rapat.
“Kalau kalian masuk ke sana, mereka akan kehilangan jejak,” kata pria itu.
Leon menatapnya curiga. “Kau ikut?”
Pria itu menggeleng. “Ini dendamku, bukan pelarianku. Pergilah.”
Leon menatapnya lama, lalu mengangguk. “Kalau kita selamat, aku akan mencari cara membantumu.”
Pria itu tersenyum samar. “Selamat tinggal.”
Turun ke Lembah
Leon memimpin jalan menurun, tanah licin membuat mereka harus berpegangan pada akar-akar. Suara teriakan samar terdengar di belakang, pengejar menemukan jalur mereka.
“Mereka hampir sampai!” seru Lana.
“Kita hampir keluar,” jawab Leon.
Rencana Dadakan
Di dasar lembah, mereka menemukan gubuk kecil kosong. Leon segera memeriksa, lalu mengajak mereka masuk hanya untuk bersembunyi sebentar.
“Kita tunggu mereka lewat,” katanya. “Lalu kita bergerak ke stasiun.”
Lana menghela napas panjang, mencoba mengatur detak jantung. Arya memeluknya erat, sementara di luar, suara langkah-langkah mulai terdengar semakin jauh.
Akhir Fajar, Awal Baru
Ketika suara itu benar-benar hilang, Leon berdiri. “Waktunya pergi. Kita punya peluang kecil… tapi itu cukup.”
Mereka keluar dari gubuk, meninggalkan lembah yang menyelamatkan mereka pagi itu. Matahari akhirnya muncul sepenuhnya, tapi bagi Leon, cahaya itu bukan jaminan selamat hanya tanda bahwa hari perburuan baru saja dimulai.