Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batas yang Tak Diucapkan
“Bu Nayra, ini bukan sekadar peluang… ini bisa jadi lonjakan omzet tiga kali lipat.”
Kalimat itu meluncur dari mulut salah satu tim marketing event besar yang sedang duduk di ruang tamu rumah Nayra.
Laki-laki berjas biru itu, Dimas namanya, menyodorkan proposal kerja sama brand yang akan membuat koleksi Nayra dipasarkan secara masif melalui platform besar dengan promosi gila-gilaan. Tapi dengan satu syarat.
“Tinggalkan sistem pre-order handmade dan ubah jadi ready stock by vendor produksi massal.”
Nayra menatap lembar demi lembar kertas di tangannya.
Angka-angkanya menggiurkan. Proyeksi omzetnya bisa menyaingi beberapa brand lokal besar hanya dalam waktu tiga bulan. Bahkan Riris yang duduk di sebelahnya ikut melirik dengan mata membulat.
“Tapi, kalau produksi masal, kualitas bisa gak stabil.” ucap Nayra pelan.
Dimas tertawa kecil.
“Sekarang eranya bukan siapa yang paling bagus. Tapi siapa yang paling cepat dan paling ramai. Lagipula, Bu Nayra tetap bisa bilang ini 'limited edition', toh konsumen nggak tahu jumlah aslinya.”
Ucapan itu menusuk, bukan karena salah. Tapi karena tidak sesuai dengan apa yang selama ini Nayra perjuangkan.
Selama ini, ia selalu menekankan pada pelanggannya bahwa setiap produk adalah karya sepenuh hati. Bahwa semua dibuat oleh tangan-tangan pekerja rumahan yang diberdayakan. Bahwa tak ada dusta di setiap label.
Jika ia terima kerja sama ini, ia bisa kaya. Tapi mungkin akan kehilangan jiwanya.
***
Malamnya, Nayra merenung sendirian di ruang kerja. Laptop terbuka, proposal terbentang, tapi pikirannya tak fokus.
Arka masuk sambil membawa dua cangkir teh jahe.
“Dari ekspresi kamu, kelihatan banget proposalnya gak cuma nawarin cuan, tapi juga nyuruh kamu jual diri ke sistem,” celetuk Arka.
Nayra tersenyum tipis. “Kalau aku terima, bisnisku bisa lepas dari tahap merangkak. Tapi aku harus lepas semua nilai yang kubangun dari awal.”
Arka duduk di sampingnya. “Mau aku kasih saran sebagai CEO?”
“Boleh.”
“Kadang keputusan paling berani bukan soal berani ambil risiko, tapi berani nolak godaan.”
Nayra terdiam. Lalu menatap Arka. “Kamu pernah kayak gini juga?”
Arka mengangguk. “Pernah ditawari merger dengan perusahaan luar negeri, tapi mereka mau aku ubah sistem kerja, gak transparan ke karyawan. Duitnya gila-gilaan. Tapi aku tolak. Karena aku lebih takut kehilangan diri sendiri.”
Keesokan harinya, Nayra duduk kembali bersama tim event, dengan senyum tenang di wajahnya.
“Terima kasih atas tawarannya, Mas Dimas. Tapi saya menolak.”
Dimas menatapnya tajam. “Sayang sekali. Jarang ada brand ibu rumah tangga yang bisa menembus skala nasional. Ini kesempatan.”
Nayra mengangguk. “Mungkin. Tapi saya lebih sayang sama nilai-nilai yang sudah saya tanam. Saya percaya pertumbuhan yang lambat tapi sehat, daripada lari cepat dan lupa tujuan.”
Dimas bangkit. “Baiklah. Kalau berubah pikiran, hubungi saya.”
Nayra hanya mengangguk dan ketika pintu tertutup, ia bersandar di kursinya.
Riris masuk sambil membawa pisang potong untuk Alma. “Saya kira tadi Ibu bakal terima.”
“Kalau aku cuma kejar uang, mungkin iya,” jawab Nayra sambil menimang Alma. “Tapi aku pengen Alma tumbuh lihat mamanya bisa tegas. Bahkan ketika dunia bilang ‘ambil aja, gak usah mikir’.”
Riris tersenyum. “Saya makin bangga kerja sama Ibu.”
***
Di sore harinya, Nayra membagikan cerita penolakan itu di Instagram bisnisnya. Ia menulis panjang lebar tentang alasan di balik keputusannya tetap bertahan dengan sistem produksi rumahan.
Yang ia tak duga justru banjir dukungan.
Komentar-komentar bermunculan:
"Inilah brand yang jujur. Saya akan tetap beli meski pre-order lama!”
“Makanya suka sama @NAKA_style. Gak cuma jual baju, tapi juga value.”
“Semoga berkahnya makin melimpah!”
Malamnya, Arka memeluk Nayra dari belakang sambil menatap layar ponsel mereka yang penuh DM masuk.
“Kadang yang jujur itu gak instan. Tapi kalau sabar, dia akan sampai dan kamu udah jalan di arah yang benar.”
Nayra menoleh, menyentuh tangan Arka. “Terima kasih udah jadi rumah buat aku pulang setiap kali keputusan terasa berat.”
Arka tersenyum. “Dan kamu, tetap jadi CEO kesayangan kami. Bahkan kalau omzetmu belum miliaran.”
“Kalau miliaran, kamu yang minta gaji ke aku ya.”
“Tentu. Aku bisa jadi OB di kantor kamu.”
Mereka tertawa bersama, sementara di pelukan Nayra, Alma menguap kecil, lalu tertidur. Tenang, hangat, dan damai di rumah yang dibangun dari nilai, bukan hanya angka.
***
“Mbak, maaf ya, saya baru selesai beresin laporan stok, ini datanya masih acak—”
Riris menghampiri ruang kerja sambil menenteng flashdisk dan tumpukan kertas. Namun, langkahnya terhenti saat mendapati Arka sendirian di sana, duduk sambil membuka laptop Nayra.
“Oh, Pak Arka… maaf, saya kira Bu Nayra yang di sini.”
Arka tersenyum singkat.
“Nggak apa-apa, Riris. Saya cuma bantu Nayra cek laporan PO. Dia lagi mandiin Alma barusan.”
Riris mengangguk kikuk. Ia berdiri canggung di ambang pintu.
“Kalau begitu, saya taruh dokumennya di sini saja, ya, Pak?”
“Boleh, atau sini, saya bantu periksa.”
Riris sedikit ragu. Tapi akhirnya duduk di kursi seberang Arka dan menyerahkan flashdisknya.
“Kemarin sempat ada data dobel, jadi saya rapihin lagi. Mungkin Pak Arka lebih teliti ngeceknya.”
Saat mereka tenggelam dalam diskusi angka dan tabel, Nayra melangkah masuk dengan handuk kecil di bahu. Langkahnya langsung terhenti.
Pandangan matanya sejenak terfokus pada dua orang di ruangan itu.
Arka sedang menunjukkan grafik di layar, tubuhnya sedikit condong ke arah Riris. Sementara Riris terlihat menatap serius, sambil menahan helaan napas.
Semuanya biasa saja. Terlalu biasa.
“Eh—aku ganggu ya?” tanya Nayra datar.
Arka menoleh. “Nggak, sini lihat bentar. Data pre-order kamu bulan lalu naik loh, lumayan banget.”
Nayra tersenyum tipis. Ia ikut mendekat, tapi entah kenapa, dada kirinya terasa aneh.
Riris buru-buru berdiri dan menunduk sedikit gugup. “Saya tinggal dulu ya, Bu Nayra.”
Sejak kejadian itu, suasana rumah berubah.
Bukan ribut. Tapi sunyi, canggung.
Nayra tak marah. Tidak berkata apa pun. Tapi ia mulai menjauh secara halus.
“Alma, main di kamar yuk,” katanya saat Riris menawarkan bantu cuci botol susu.
Atau, “Riris, kamu kerjain dokumen dari rumah aja, biar bisa istirahat juga,” katanya sambil tersenyum sopan.
Riris merasa, tapi ia tak berani bertanya.
Hingga suatu sore, saat Nayra sedang menjemur baju, Riris memberanikan diri.
“Bu Nayra, saya... ngelakuin kesalahan ya?”
Nayra diam beberapa detik. Lalu menatap Riris lembut.
“Enggak. Kamu nggak salah.”
“Tapi Ibu jadi agak beda, saya merasa kayak nggak dipercaya lagi.”
Nayra menghela napas. “Maaf ya, Ris. Aku mungkin yang salah. Aku cuma ibu baru yang gampang panik. Kadang pikiranku kemana-mana.”
Riris menunduk. “Kalau karena kemarin saya duduk sama Pak Arka, saya benar-benar minta maaf. Saya nggak bermaksud apa-apa.”
Nayra menatapnya. Lalu tersenyum pelan. “Aku tahu. Kamu anak baik, Ris dan aku percaya kamu. Mungkin aku hanya belum terbiasa melihat ruang kerjaku berubah jadi terlalu ‘umum’.”
Sore itu, Riris pulang lebih awal.
Arka masuk ke dapur, menemukan Nayra tengah membuat teh sambil memainkan sendok tanpa fokus.
“Kamu kenapa akhir-akhir ini keliatan... nahan sesuatu?”
Nayra menatapnya lama. “Ka, boleh aku tanya jujur?”
“Boleh.”
“Kamu nyaman ngobrol sama Riris?”
Arka mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Bukan soal cemburu. Cuma aku merasa ada garis yang nggak kelihatan, tapi mulai kabur.”
Arka terdiam. Lalu menarik napas.
“Nay, kamu tahu aku sayang kamu dan aku hormati semua orang yang bantu kamu. Tapi kalau kamu ngerasa aku kebablasan, kamu boleh tegur. Aku gak akan marah. Justru aku senang kamu jaga ruang itu.”
Nayra tersenyum lemah. “Terima kasih. Aku juga mau belajar terbuka. Gak mau pikiran jelek bikin rumah ini jadi dingin.”
Arka memeluknya. “Kita kan pasangan. Kalau ada yang janggal, bilang ya, jangan pendam.”
Beberapa hari kemudian, Nayra mengajak Riris bicara empat mata.
“Ris, mulai minggu depan kamu kerja remote aja, ya. Aku masih butuh kamu bantuin, tapi dari rumah dulu.”
Riris tampak kecewa. Tapi ia mengangguk. “Saya ngerti, Bu Nayra.”
“Aku sayang kamu sebagai bagian dari perjalanan ini. Tapi aku juga sedang belajar menjaga ruangku. Bukan karena kamu salah, tapi karena aku sedang belajar jadi pemimpin yang tetap utuh di rumah dan kerjaan.”
Riris tersenyum kecil. “Saya hargai kejujurannya, Bu dan saya tetap siap bantu kapan pun dibutuhkan.”