Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 35 - Tawanan Pesantren
~💠💠💠~
Hari itu, suasana perpustakaan nampak lengang. Miska tengah memilih buku tafsir saat matanya menangkap sosok yang tidak asing, yaitu Rehan.
Miska memperhatikan Rehan yang terlihat gugup. Matanya menoleh kanan-kiri, lalu diam-diam menyelipkan sesuatu ke sela buku “Riyadhus Shalihin”.
Miska yang memperhatikan dari balik rak akhirnya diam-diam mendekat. Begitu Rehan menjauh, Miska mendekati buku tersebut dan menariknya. Betul. Ada amplop putih lagi.
Miska menahan napasnya lalu membuka pelan dan membaca,
“Untukmu yang selalu menginspirasi,
Mungkin ini surat terakhirku. Aku tidak ingin surat-suratku menjadi beban atau fitnah di tempat ini. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu sudah membuat seseorang menjadi lebih baik hanya dengan menjadi dirimu sendiri.
Terima kasih karena telah menjadi cahaya di tempat yang terkadang terasa gelap. Dan maaf, karena aku tidak cukup berani untuk sekadar mengatakan ini langsung.
– Hamba Allah.”
\=\=\=\=\=
Setelah selesai membaca surat tersebut, Miska tertegun. Saat dia menoleh ke luar jendela, ia melihat Rehan masih berdiri di bawah pohon akasia, sambil menatap ke arah jendela dengan wajah cemas.
“Rehan…?,” bisik Miska.
Dalam momen itu, mereka saling bertatapan meski hanya sekian detik, karena Rehan langsung menunduk, lalu berbalik cepat dan pergi. Tapi cukup. Tatapan itu menjawab segalanya.
"Jadi, surat-surat ini...."
Miska duduk di meja belajarnya dan nampak berpikir. Kemudian ia menulis sesuatu di satu lembar kertas putih, dengan tinta biru dan tulisan tangan yang rapi.
Amplop itu Miska tulis dengan huruf kecil di pojok kanan,
\=\=\=\=\=
"Untuk yang diamnya telah bicara."
Assalamu’alaikum…
Aku tidak menyangka, jika surat-surat yang selalu aku kira kiriman dari langit… ternyata datang dari seseorang yang juga berada di bumi. Yang juga berjuang, dalam diamnya sendiri.
Rehan,
Mungkin kita tidak bisa berbicara panjang. Mungkin ini akan tetap menjadi rahasia kecil antara aku, kamu, dan Allah. Tapi aku ingin bilang satu hal.
Terima kasih… karena sudah melihatku ketika yang lain menjauh.
Terima kasih… karena sudah percaya bahwa aku layak didoakan.
Dan jika diam itu ibadah, maka biarlah surat ini juga menjadi bagian dari ibadah kecilku kepadamu.
Semoga Allah menjaga kita… dalam batas yang tidak melewati ridha-Nya.
– Miska.”
\=\=\=\=\=
Setelah selesai, Miska menaruh surat itu di rak mushola, di bawah kitab tafsir yang biasanya dibaca oleh Rehan.
Beberapa saat kemudian, dari kejauhan, Rehan datang mengambil kitab tersebut dan ia langsung menemukannya lalu membuka surat itu, dan matanya membeku sesaat, sebelum akhirnya tersenyum kecil.
“Anta lagi senyum-senyum gitu kenapa?,” seru teman Rehan yang tiba-tiba datang dan menepuk bahunya.
Reflek Rehan langsung menyembunyikan surat tersebut lalu menjawab, “Enggak… cuma habis baca sesuatu yang... menenangkan.”
“Yakin bukan karena ‘seseorang’?,” tanya temannya lagi.
“Mungkin... karena keduanya," jawab Rehan sambil tersenyum menatap langit.
**
Sejak saat itu, Miska dan Rehan sering berkirim surat dan saling membalas. Dan, perpustakaanlah yang kembali menjadi titik pertemuan tanpa suara tersebut.
Suatu hari, Miska masuk ke perpustakaan dengan buku di tangannya. Seperti biasa, ia berjalan ke rak kitab, lalu memeriksa bagian belakang "Tafsir Al-Misbah" tempat rahasia surat-surat mereka.
Di sana, terselip secarik kertas yang terlipat rapi. Wajahnya seketika berubah dan sedikit gugup, sedikit penasaran, tapi tidak di pungkiri, ia juga bahagia.
\=\=\=\=\=
Assalamu’alaikum…
Aku membaca buku tentang Ibnu Qayyim, katanya cinta itu seperti angin, tidak terlihat, tapi terasa. Mungkin itu sebabnya, kita hanya bisa bicara lewat surat. Tapi tahukah kamu? Aku merasa lebih dekat denganmu, justru dalam diam ini.
Hari ini cuacanya cerah. Ada bunga yang jatuh di dekat pagar barat dan berwarna ungu pucat. Katanya, itu bunga kenanga. Kupetik satu, kuletakkan di bawah bangku taman belakang mushola. Kalau kamu sempat, temui aku… maksudku, temui bunganya.
Rehan.
\=\=\=\=\=
Ketika jam istirahat, Miska pun duduk di bangku taman yang dimaksud. Di bawahnya, memang ada bunga kenanga yang sudah mulai mengering tapi masih tercium harum.
Ia tersenyum pelan, lalu memungutnya, dan menyimpannya di dalam buku hariannya.
Tak lama kemudian, dari arah barat, Rehan lewat dengan membawa map dan kitab.
Ia juga melihat Miska… dan spontan langsung menunduk dan menghindari tatapan gadis itu.
"Ini aneh… tapi juga indah. Mungkin beginilah cinta santri harusnya berjalan, dalam adab, dalam batasan, tapi tidak kehilangan rasa," batin Miska.
Hari-hari selanjutnya...
Kini, semua santri berkumpul untuk kajian bulanan. Rehan duduk di barisan putra, sementara Miska di sisi putri.
Tapi dari tempat duduknya, Miska bisa melihat sekilas Rehan yang tengah mencatat materi dengan serius. "Rupanya, aku baru menyadari sesuatu. Dia makhluk Allah yang nyaris sempurna. Bolehkah dia setampan itu?," batin Miska sambil tersenyum.
Usai kajian, para santri pun berurutan bubar. Namun, ketika berada di depan rak kitab tempat biasa para santri menitipkan kitab, Miska menemukan satu catatan kecil yang terselip di balik bukunya.
\=\=\=\=\=
"Kajian malam ini membuatku berpikir, Cinta yang disembunyikan karena Allah akan dijaga oleh Allah.
Dan kamu tahu? Aku tidak berharap lebih dari sekadar Allah menjaga kita, sampai tiba waktu terbaik untuk kita bicara… bukan hanya lewat surat.
– Masih hamba Allah, yang diamnya sedang belajar mencintai dengan adab.
Rehan.
\=\=\=\=\=
BERSAMBUNG...