Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 TITIP KE PANTI ASUHAN
Laras menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Aku bisa merasakan genggamannya semakin erat, seolah menahan emosinya.
"Bu, maksudnya apa?" tanyaku, mencoba menahan nada suaraku agar tetap tenang.
Ibu menghela napas sebelum menjawab, "Kalian tahu sendiri kan? Aku sudah menantikan cucu laki-laki selama ini, tapi..." Ibu kembali menggantungkan kalimatnya, lalu melirik bayi kami yang masih tertidur di dalam keranjang bayi.
Laras menegakkan punggungnya, menatap ibu dengan tatapan penuh luka. "Tapi apa, Bu? Apa karena dia lahir tidak seperti yang Ibu harapkan?" suaranya bergetar, nyaris berbisik.
Teman-teman ibu mulai saling bertukar pandang, suasana berubah canggung.
"Bukan begitu..." Ibu masih berusaha mencari kata-kata yang tepat, tetapi aku tahu dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. "Ibu hanya... tidak menyangka. Ibu ingin cucu yang sempurna."
Laras menelan ludah, bibirnya sedikit bergetar. Aku bisa merasakan kemarahan sekaligus kesedihan di matanya.
"Jadi, bagi Ibu, anak kita ini tidak sempurna?" suaraku keluar lebih tegas dari yang aku rencanakan.
Ibu tidak menjawab, hanya membuang muka. Teman-temannya mulai gelisah, beberapa dari mereka berusaha meredakan suasana dengan mengganti topik, tetapi aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja.
Aku menatap ibu dengan tajam. "Bu, ini anakku. Anak Laras. Dan bagiku, dia sempurna."
Laras akhirnya tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia berdiri perlahan, suaranya bergetar saat berbicara, "Kalau Ibu tidak bisa menerima cucu Ibu apa adanya, lebih baik Ibu tidak usah berpura-pura peduli."
Aku terkejut dengan keberanian Laras, tetapi aku juga bangga padanya. Ia sudah cukup lama menahan rasa sakit ini.
Ibu terlihat kaget mendengar ucapan Laras. Ia membuka mulutnya seolah ingin membalas, tetapi teman-temannya buru-buru menenangkan suasana.
"Ah, sudahlah... yang penting sekarang bayinya sehat, ya," salah satu dari mereka berkata dengan canggung. "Kami pamit dulu, Bu."
Satu per satu mereka pergi, meninggalkan ketegangan yang masih menggantung di udara.
Laras mengusap air matanya dengan kasar sebelum berbalik menuju kamar. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang gemetar, hatiku terasa sesak.
Aku menghela napas panjang sebelum menoleh ke ibu. "Bu, kalau Ibu masih ingin menganggap dia cucu Ibu, belajarlah menerimanya."
Tanpa menunggu jawaban, aku berbalik dan menyusul Laras ke kamar, meninggalkan ibu yang masih terdiam di ruang tamu.
...****************...
Malam itu, aku dan Laras duduk di ruang keluarga, berhadapan dengan Ibu yang sudah menunggu dengan wajah serius. Ayah duduk di sampingnya, diam saja seperti biasa. Aku bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara.
"Reza, ibu mau bicara dengan kalian, ini tentang anak kalian," Ibu membuka pembicaraan dengan suara tegas. "Ibu sudah memikirkan ini matang-matang."
Laras langsung menggenggam tanganku, seolah tahu pembicaraan ini tidak akan berjalan baik.
"Maksud Ibu apa?" tanyaku, berusaha tetap tenang.
Ibu menatap kami bergantian, lalu melanjutkan, "Kalian harus mempertimbangkan untuk menitipkan anak itu di panti asuhan atau mencari keluarga yang mau mengadopsinya."
Darahku langsung mendidih. "Apa?!"
Laras terbelalak, wajahnya memucat seketika. "Bu, apa Ibu sadar dengan apa yang Ibu katakan?" suaranya bergetar, antara marah dan tidak percaya.
"Ibu sadar!" Ibu menegaskan. "Dengar, Mas. Anak itu akan sulit hidup di dunia ini. Kasihan, Nak! Dia akan menghadapi banyak kesulitan. Kalian juga akan kerepotan. Daripada membiarkan dia menderita—"
"Cukup, Bu!" Aku berdiri, dadaku naik turun menahan amarah. "Bagaimana Ibu bisa berpikir seperti itu? Itu anakku! Darah dagingku dan Laras! Kami tidak akan pernah meninggalkannya!"
Laras sudah menangis. Ia menunduk mencoba menahan tangis yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Matanya yang memerah membuat hatiku semakin sesak. Aku bisa merasakan betapa dia merasa dihantam keras oleh kata-kata Ibu yang seperti tidak peduli dengan perjuangannya.
"Ibu, apa Ibu benar-benar tidak peduli dengan kami?" Laras akhirnya berbicara dengan suara parau. "Kami sudah berjuang keras untuk anak ini, dan Ibu malah menyarankan hal seperti itu? Apa kami harus menyerah begitu saja?!"
Ibu terdiam sejenak, wajahnya keras. Dia tidak menyangka Laras akan berbicara dengan nada seperti itu.
"Ibu tidak mau melihat kalian menderita. Anak itu memang darah daging kalian, tapi..." Ibu menghela napas panjang, "Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kalian. Hidup kalian bisa lebih mudah tanpa anak itu. Kita semua bisa kembali seperti dulu."
Aku bisa merasakan tubuh Laras gemetar di sampingku. "Ibu," kataku, berusaha meredam amarah. "Ibu tidak mengerti. Ini anak kami. Kami akan berjuang bersama dia, apapun yang terjadi. Kami tidak akan pernah menyerah."
Ibu menatap kami dengan raut wajah yang penuh keraguan. "Kalian bisa saja berjuang, tapi kalian harus tahu ini tidak akan mudah. Jangan sampai kalian terjebak dalam penderitaan yang tidak perlu."
Laras menghapus air matanya, menatapku dengan penuh tekad. "Kami akan melakukannya bersama, Mas. Tidak ada yang bisa mengubah itu."
Aku meremas tangannya, merasa lebih yakin dari sebelumnya. "Iya, Laras. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan kami."
Ibu menatapku dengan tatapan tajam. "Jika Laras lebih mengikuti nasihat Ibu, mungkin anak itu tidak akan seperti ini," katanya dengan dingin. "Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kalian. Kalau Ibu tidak tegas, kalian akan menyesal di kemudian hari."
Laras menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. "Saya sudah berusaha, Bu. Saya sudah berusaha menjaga kandungan ini sebaik mungkin. Tidak ada yang lebih saya inginkan selain bayi ini sehat."
Ibu menghela napas panjang, tampak kecewa. "Tapi kamu selalu membantah, Laras. Ibu hanya ingin kamu bisa menjaga kehamilan ini dengan baik, demi masa depan kalian."
Aku menatap Laras dengan penuh perhatian. Aku tahu betapa kerasnya Laras berusaha untuk memenuhi semua harapan, tetapi terkadang, dia merasa tertekan dan kehabisan tenaga. Aku mendekat dan menggenggam tangannya erat, memberi dukungan tanpa kata-kata.
"Ibu," kataku dengan tegas, "Laras sudah berusaha semaksimal mungkin. Kalau kita terus saling menyalahkan, kita tidak akan pernah maju. Kami akan tetap bersama, menjalani hidup kami dengan cara kami sendiri."
"Kamu harus menemui Aisyah, tanya tentang anak laki-laki yang dia lahirkan. Ibu yakin, anak yang digendong Aisyah waktu itu pasti anakmu, Za," katanya, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Laras menatapku dengan mata yang lebar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibu. "Apa maksud Ibu?" tanya Laras, suaranya sedikit bergetar.
Ibu pun akhirnya menjelaskan kepada Laras, waktu ia masih di rumah sakit. Aku dan ibu sempat bertemu dengan Aisyah yang sedang menggendong seorang bayi laki-laki.
"Ibu yakin bayi laki-laki itu adalah anak Reza."
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang