Sebuah surat undangan dari seorang penulis ternama di kabupaten T yang ditujukan kepada teman teman sekelasnya di masa SMA dulu.
Mereka diundang untuk berkunjung ke rumah sang penulis. Rumah unik, dua lantai, semacam villa yang terletak di tepi sungai jauh di dalam hutan di kecamatan K.
Akses ke rumah tersebut hanyalah jalan setapak, sekitar 10 kilometer dari jalan utama. Siapapun yang memenuhi undangan akan mendapatkan imbalan sebesar 300 juta rupiah.
Banyak keanehan dan misteri dibalik surat undangan tersebut. Dan semua itu terhubung dengan cerita kelam di masa lalu.
Seri ketiga dari RTS.
Setelah seri pertama Rumah di Tengah Sawah (RTS 1), kemudian disusul seri kedua Rumah Tusuk Sate (RTS 2), kini telah hadir seri ketiga Rumah Tepi Sungai (RTS 3).
Masih tetap mencoba membawa kengerian dalam setiap kata dan kalimat yang tersusun. Semoga suka, dan selamat membaca.
Follow Instagram @bung_engkus
FB Bung Kus Nul
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Malam kedua
Hari beranjak petang. Matahari menghilang di sebelah Barat perbukitan. Suara suara serangga malam mulai terdengar nyaring bersahut sahutan. Kegelapan sangat cepat mengurung belantara. Satu satunya cahaya terang hanya berasal dari rumah sang Rich Man. Tempat yang terang, namun penghuninya memiliki hati yang begitu kelam.
Ellie duduk bersimpuh di lantai, memperhatikan Tia yang sedang terlelap. Ibu rumah tangga itu sesekali terlihat mengejang, juga merintih. Bahkan rasa sakit di kakinya telah merenggut nikmat tidurnya.
Ellie memperhatikan Tia dengan pandangan nanar. Ellie merasa jika tidak segera pergi dari rumah sang Rich Man, nyawanya dalam bahaya. Tapi malam terlanjur datang. Dia hanya bisa menunggu dan berdoa, semoga malam ini tidak menjadi malam terakhir untuk nafasnya.
Norita tiba tiba masuk ke dalam kamar Tia. Ellie sedikit terkejut dibuatnya. Norita kemudian duduk di sudut ruangan, di tempat HP nya sedang mengisi daya.
"Ellie?" Panggil Norita lirih.
"Hmmm?" Ellie menoleh.
"Maafkan aku, tadi aku tak membelamu dalam perdebatan," Norita terlihat menyesal.
"Its Oke Nori," jawab Ellie singkat.
"Tapi sungguh, aku merasa menyesal dan bersalah," Norita nampak memelas.
"Untuk apa kamu menyesali pilihanmu sendiri? Kamu sudah yakin dengan pilihanmu, dan memilih itu bukan sebuah kesalahan Nori," Ellie menghela nafas.
"Emm, sebenarnya aku tidak ingin membenarkan tindakan Denis dan Hendra tadi. Tapi aku nggak ada pilihan. Soalnya aku suka sama Denis Ell," Norita tiba tiba saja merasa ingin berterus terang pada Ellie.
Norita diam diam kagum dengan pribadi Ellie. Perempuan kuat dan tegar. Saat Norita ketakutan melihat potongan tubuh Yodi dalam lemari, Ellie tetap bisa bersikap tenang dan menguasai keadaan. Dia ingin berteman dengan Ellie, makanya kali ini Norita bercerita terus terang kepadanya.
"Oh oke, terlihat sangat jelas kok," Ellie bergumam singkat.
Percakapaan yang diharapkan Norita nyatanya tak berjalan lancar. Ellie terlihat enggan untuk ngobrol dengannya.
"Emm Nori, menurutmu Denis itu orang yang seperti apa?" Ellie bertanya penuh selidik.
"Ah Denis ya. Dia itu tetap seperti dulu. Selalu terlihat bersinar di mataku. Tatapannya itu lhoo, badboy banget. Bikin aku ah gimana ya, . .," Norita senyum senyum sendiri menjawabnya.
Ellie mendengus kesal. Norita kemudian sadar, bukan jawaban seperti itu yang diinginkan lawan bicaranya.
"Sorry Ell, maksud pertanyaanmu tadi aku nggak ngerti," Norita tersipu malu.
"Aku mencurigai setiap laki laki yang ada di rumah ini Nori, tanpa terkecuali. Jadi, aku bertanya padamu, seperti apa Denis? Mungkin nggak sih dia sebenarnya adalah sang penjahat yang telah membunuh Yodi dan Dipta?" Ellie nampak serius dengan pertanyaannya.
"Tidak Ellie, aku yakin Denis bukan penjahatnya," Norita menyanggah.
"Kenapa kamu bisa se yakin itu? Dialah orang yang pertama kali menemukan Dipta tewas di kamarnya. Di antara semua orang, bagiku Denis di urutan awal, orang yang patut dicurigai."
"Aku nggak tahu. Aku hanya yakin, Denis bukan seorang penjahat," ucap Norita yakin.
"Jadi, siapa menurutmu penjahatnya?" Ellie menatap tajam pada Norita.
"Mungkin benar Bayu penjahatnya, atau Hendra, sangat mungkin juga Mella yang saat ini bersembunyi entah dimana," Norita terlihat ragu ragu.
"Semua orang sangat mungkin menjadi penjahatnya Nori. Dan aku tak mau melihat siapapun celaka lagi. Jadi, kuharap lebih baik kamu menjaga jarak dulu dengan Denis. Apa kamu tidak khawatir bila tiba tiba dia menikammu dari belakang," Ellie memperingatkan.
"Banyak kesempatan bagi Denis untuk mencelakaiku Ellie. Dan dia tidak pernah melakukannya. Jadi kurasa aku aman bersamanya. Lagipula, Denis sudah menikamku dari belakang. Tadi, waktu di kamar mandi," Norita tersenyum masam. Mencabut charger HP dan pergi keluar kamar.
Norita yang awalnya ingin ngobrol dan bisa berteman dengan Ellie memilih untuk menjauh. Ellie memang perempuan kuat dan tegar, namun di atas itu semua dia acap kali menjadi seorang yang sangat menyebalkan bagi Norita.
Sementara itu Denis sedang merokok di teras depan. Sebenarnya pergantian siang menuju malam nampak indah jika diperhatikan. Saat lukisan alam yang semula hijau muda kemudian berubah warna menjadi hijau tua, dan beberapa waktu berikutnya terlihat menghitam. Siluet pepohonan di perbukitan pun sangat memanjakan mata.
Udara yang semula sejuk, mulai berubah menjadi dingin yang seakan membuat kulit membeku. Angin semilir berhembus meniup rambut Denis yang 'ngombak banyu'. Gumpalan awan hitam terlihat di beberapa titik di angkasa.
Denis melihat HP nya. Tak ada sinyal dan wifi pun mati tanpa penjelasan. Seharian tanpa media sosialnya Denis merasa hidupnya kacau. Padahal biasanya, setiap jam dia akan menyapa para followers nya yang berjumlah ratusan ribu itu. Namun kini, dia hanya bisa membuka dan menutup kunci layar HP nya.
Plaakkkk
Sebuah tepukan dari belakang membuat Denis melonjak kaget. Ternyata Iva, berjongkok di belakang Denis sambil tersenyum sumringah.
"Sialan! Bisa copot jantungku!" Denis mengumpat, jengkel.
"Ha ha ha, apa yang sedang kamu pikirkan Tuan selebgram?" Tanya Iva sambil terkekeh.
"Aku tidak memikirkan apapun. Hanya menghabiskan sebatang rokokku saja," ucap Denis cuek.
"Emm, setelah kupikir pikir, bukankah terlalu kejam mengurung Bayu di kamarnya?" Iva duduk di sebelah Denis.
"Hah? Untuk apa membahas yang sudah jelas? Kita tinggal meringkus Mella, dan selesai," Denis berkata meyakinkan.
"Bagaimana jika dugaanmu salah? Bukan mereka berdua penjahatnya," Iva mengibas ngibaskan tangannya, tak tahan dengan aroma rokok Denis.
"Terus siapa lagi kalau bukan mereka berdua penjahatnya? Aku? Atau kamu? Coba kita pikirkan dengan nalar dan logika Va. Dua orang itu, memiliki kemampuan untuk menaklukkan orang lain. Bayu merupakan seorang petugas kepolisian yang jago beladiri, mudah tentunya untuk meringkus Dipta misalnya. Sementara Mella adalah petugas kesehatan yang pasti tahu dan hafal dengan obat obatan, semacam bius atau yang lainnya. Kita belum tahu sampai sekarang apa yang menyebabkan kematian Dipta," Denis terlihat emosional.
"Malam sebelum tewasnya Dipta aku mendengar suara seperti tembok dipukul dan dihentak dari kamar Dipta. Aku yakin waktu itu Bayu dan Mella sedang meringkus dan melumpuhkan Dipta. Kemudian mereka memberi semacam obat pada Dipta agar dia mati perlahan," terang Denis.
"Apa kamu lupa, pagi harinya saat sarapan Hendra mendapat WA dari Dipta? Itu artinya, pagi hari Dipta masih hidup Denis," Iva membantah.
Denis terdiam. Dia merasa kesal dengan perkataan Iva. Denis sudah sangat yakin dengan dugaannya, hingga mencoba mengingkari bahwa banyak celah dan lubang dari teori dan praduganya.
"Sial! Moodku buruk dekat denganmu," Denis menggerutu lalu pergi meninggalkan Iva sendirian.
Iva tetap duduk tak bergeming di tempatnya. Menatap langit yang terlihat semakin kelam. Dia menyadari sesuatu, tapi takut untuk mengungkapkannya.
*
Malam semakin larut. Di tepian sungai tak jauh dari rumah sang Rich Man sesosok manusia berjalan dalam senyap. Kaki kirinya nampak sedikit diseret, membawa sepotong daging segar di tangannya.
Sosok itu menghampiri pohon trembesi dengan sebuah kerangkeng dari besi di bawahnya. Dalam kelamnya malam, ada dua pasang mata menyala mengkilat di balik jeruji besi yang dingin.
Sosok misterius itu menatap mata buas yang ada di dalam kandang. Melemparkan daging segar ke dalam, yang langsung dibalas lolongan panjang memekakkan telinga oleh makhluk liar tak berakal.
"Ada tugas untuk kalian."
Seulas seringai tersungging yang terasa lebih menakutkan daripada mata buas di dalam kandang.
Bersambung___
semoga karya ini hanya akan dipandang sebagai cerita semata. jujur saja saya pribadi agak khawatir karena mungkin bagi sebagian orang yang terganggu mentalnya dan membaca novel ini, akan ada kecenderungan untuk mengidolakan tokoh Bayu lalu membenarkan segala tindakannya.
lebih tepat menggunakan kata terbenam atau turun atau menghilang.
Matahari mulai terbenam ke arah barat daya.
Matahari mulai turun ke arah barat daya.
Matahari mulai menghilang ke arah barat daya.