MISI KEPENULISAN DARI NOVELTOON! BUKAN PLAGIAT! KETERANGAN LEBIH LENGKAP DI BAB 1. MAKASIH.
****
Dibuang, diabaikan dan diasingkan jauh ke desa karena dianggap pembawa sial, tepat setelah kematian ibunya dan bersamaan kakeknya yang koma.
Gadis berusia 9 tahun harus didewasakan oleh keadaan. Berjuang sendiri menjalani kerasnya hidup seorang diri.
10 tahun kemudian, dipaksa kembali ke kota oleh ibu tiri untuk menikah dengan pria yang digadang-gadang sekarat dan hampir mati.
Ibu tirinya tidak rela putri kandungnya menikah dengan lelaki seperti itu. Akibat sebuah perjanjian keluarga, terpaksa perjodohan tidak bisa dibatalkan.
Namun ada yang janggal ketika gadis itu bertemu pria yang menjadi suaminya. Terlihat jelas pria itu sangat tampan, kuat dan tidak ada seperti orang penyakitan. Tidak ada yang mengetahui kenyataan itu.
Pria itu ternyata adalah salah satu pengusaha yang sukses dan menjadi konglomerat di kotanya. Sangat misterius dan begitu berkuasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Perhatian
Leon mengulurkan sebuah makanan di hadapan Khansa. Gadis itu mendongak, ia menatap Leon dengan sendu. Wajahnya sembab, air mata masih menggenang di pelupuk matanya.
Leon meletakkan makanan itu di atas nakas tak jauh dari Khansa duduk. Ia mengulurkan kedua ibu jarinya, menyeka sisa-sisa air mata di kedua pipinya.
Khansa memejamkan kedua matanya, membuat air mata itu kembali tumpah mengenai jemari Leon. Ia merasakan hangatnya telapak tangan Leon yang menangkup kedua pipinya.
“Makanlah dulu, kamu pasti belum makan malam ‘kan?” ucap Leon pelan, Khansa kembali membuka kedua manik matanya yang indah.
Khansa mengerjap perlahan, baru sekitar satu jam yang lalu Leon memarahinya dan bahkan ingin menjauh, tapi sekarang, ia kembali baik dan perhatian.
“Ayo makan dulu, biar aku yang jaga Bibi Fida,” anjur Leon mengambil lagi kotak makanan yang terlihat jelas itu dari restoran ternama.
Khansa masih bergeming, ia tertegun menatap Leon dan makanan itu bergantian.
“Yaudah, aku suapin nih.” Leon membuka kotak makanan itu dan mulai mengambil sesendok makanan beserta lauknya, kemudian menyodorkan tepat pada bibir Khansa.
“Eh, emm … aku bisa makan sendiri,” tolak Khansa meraih sendok itu dan mulai memakannya. Meskipun tenggorokannya susah menelan saat ini, namun lebih baik makan sendiri dari pada harus disuapi oleh Leon.
Leon masih setia di sampingnya. Ia juga membukakan air mineral yang masih tersegel dan disodorkan di hadapan Khansa. Agar memudahkannya jika sewaktu-waktu ingin minum.
Khansa mendongak kembali, pandangan mereka bertemu dan terkunci beberapa saat. Khansa terharu, ia tidak menyangka dengan sikap Leon yang begitu perhatian padanya. Dalam hati kecilnya bersorak bahagia, ingin rasanya melompat-lompat kegirangan. Namun di satu sisi ia juga ingin membentengi diri agar tidak terlalu jatuh dalam pesona Leon.
“Ehhmm! Hai, Sa!” sapa Simon yang memang suka sekali mengganggu pasangan itu.
Hansen hanya mengulum senyum saat Khansa dan Leon menatap ke arah mereka di ambang pintu.
“Kalian belum pulang?” tanya Khansa yang kemudian meneguk sedikit air mineral yang sudah dibukakan oleh Leon tadi.
“Belum, lanjutkan saja makannya.” Simon mempersilakan kakak iparnya itu untuk meneruskan makan malamnya.
“Terima kasih banyak Tuan Simon dan Tuan Hansen atas bantuannya. Maaf jika aku merepotkan kalian,” ujar Khansa menunduk.
Bagaimana bisa gadis biasa sepertinya merepotkan para tuan muda keluarga terbesar di kota itu. Ia sungguh tak enak hati.
“Jangan dipikirkan, Kakak Ipar, kita ‘kan saudara,” sahut Hansen membuka suara dengan senyum manisnya.
“Sudah, jangan hiraukan mereka. Lanjutkan makanmu atau aku suapi!” tegas Leon yang mulai mengeluarkan tanduknya.
Ia tidak suka Khansa berbincang dengan pria lain. Sekalipun itu adalah saudaranya sendiri.
Khansa mengangguk, lalu kembali menyuapkan makanannya. Meski perlahan, ia mampu menghabiskan makanan itu dengan susah payah. Teringat dulu semasa ia kecil, kesulitan untuk mendapatkan makanan. Karenanya sekarang ia selalu mensyukuri apa pun yang ada di depannya, dan tidak mau menyia-nyiakannya.
“Gadis pintar,” ujar Leon mengusap puncak kepala Khansa setelah makanan itu tandas tak bersisa.
“Tuan Leon, malam ini aku ingin menginap di rumah sakit untuk menjaga Bibi Fida. Kamu, pulanglah dan beristirahat dulu,” ujar Khansa setelah meneguk minuman dan meletakkannya kembali di atas nakas.
“Hemm, baiklah. Tapi, kenapa kamu tidak membalas pesan dariku dan juga tidak pernah mengangkat telepon dariku?” tanya Leon membungkukkan tubuhnya semakin merapat pada Khansa.
“Buat apa? Bukankah banyak wanita yang menemanimu. Kamu bisa mencari hiburan dengan teman-teman wanitamu itu. Tanpa harus menunggu balasan pesan atau pun telepon dariku ‘kan?” elak Khansa mencari alasan.
Leon berdiri tegak kembali. Ia menyandarkan tubuhnya di tepi ranjang tempat Bibi Fida terbaring sembari melipat kedua lengannya. “Apa maksudmu?” sambar Leon mengerutkan dahi.
“Kan memang kamu dikelilingi banyak wanita,” sergah Khansa menciut setelah melihat Leon kembali memunculkan kegarangannya. Pria itu memang susah mengendalikan emosi.
Simon yang masih berada di ambang pintu pun membuka suara, “Sa, asal kamu tahu ya. Kontak Whatsapp di ponselnya Kak Leon itu cuma satu doang, yaitu kamu,” jelas Simon memberi tahu.
“Eh?” ujar Khansa tidak percaya.
“Serius, Sa! Kamu nggak percaya? Cuma kamu yang Kak Leon tunggu-tunggu saat berjauhan. Tadi aja sewaktu perjalanan dari bandara dia terus menggerutu karena kamu tidak membalas pesan dan menjawab teleponnya. Iya ‘kan, Han?” papar Simon membeberkan semuanya.
Ia tidak menyadari saat ini mata Leon sudah berapi-api, karena Simon berani membocorkan rahasianya. Hansen yang melihat ekspresi Leon hanya mengendikkan kedua bahunya. Ia tidak ingin ada perang dunia di antara mereka. Karena Simon terus mengibarkan bendera peperangan.
Mereka semua terdiam, Khansa masih melirik ke arah Leon dan Simon dengan ekor matanya. Suasana menjadi lebih dingin dari sebelumnya.
Krik! Krik!
Hansen merasakan kecanggungan setelah Simon berucap panjang lebar.
“Emm … kayaknya, kita keluar dulu deh,” ajak Hansen menarik lengan Simon.
Simon pun menurut setelah mendapat kode kedipan mata dari Hansen. Mereka berdua keluar sembari menutup pintu.
Di dalam ruang inap, Khansa masih mengingat perkataan Simon, sulit percaya kalau hanya ada kontaknya seorang di Whatsaap Leon.
“Tidak mungkin,” gumam Khansa tanpa sadar, ia masih larut dalam lamunannya. Ucapan Simon terus terngiang-ngiang di telinganya.
“Apanya yang tidak mungkin?” tanya Leon menyahut gumaman Khansa yang ternyata didengar oleh Leon.
“Engg … nggak apa-apa, hehe,” sahut Khansa tersenyum kaku. Gengsi ingin menanyakan kebenaran dari ucapan Simon tadi. Sekali lagi, Khansa menekan perasaannya yang hampir saja membuncah. Ia sempat melambung tinggi, namun kemudian kembali tersadar agar tidak terlalu berharap lebih.
Leon melirik dengan ekor matanya, dengan gerakan cepat tangannya menyambar ponsel yang ada di celana Khansa.
“Eh!” Khansa terkejut saat merasakan gerakan di bokongnya. Tangannya meraba saku belakang yang ternyata dugaannya benar. Ponselnya diambil oleh Leon. Ia segera berdiri tepat di hadapan Leon.
“Kamu mau ngapain dengan ponselku? Sini kembalikan!” seru Khansa menengadahkan tangan.
Namun Leon justru menaikkannya ke atas kepala. Khansa pun berjinjit berusaha mengambil barang miliknya itu. Tubuh keduanya tak berjarak.
“Tuan Leon, kembalikan ponselku sekarang!” seru Khansa frustasi karena tangannya tak cukup panjang untuk menggapai ponselnya dari tangan Leon.
“Jelaskan, kenapa kamu tidak membalas pesan dan menjawab teleponku!” ucap Leon dengan nada dingin. Tampak sekali Leon tengah marah.
Khansa merasa merinding dan suasana jadi dingin sekali, Khansa mundur beberapa langkah, melupakan ponselnya, memilih menghindar jauh dari Leon. Tapi, Leon menahan pundak Khansa dan mendorong Khansa ke dinding agar Khansa tidak bisa kabur.
“A … apa?” Tubuh Khansa gemetar, dentum jantungnya sudah mulai tak beraturan.
Leon merasa jelas-jelas Khansa yang lebih dulu mencari masalah, lalu berkata, “Lihat bagaimana aku membuat perhitungan denganmu!”
Bersambung~
Done 5 bab hari ini... please like komennya di semua bab ya.. maksa. 😄😄 balik lagi gih yang kelupaan. manjat dikit doang kan?
Kopi sama bunganya juga boleh...ehehehee..
Thankyou all.. Lope lope sekebon cabee 🥰🥰😘😘🌶🌶
tp lupa judulnya
ceritanya dikota palembang