"Aku bukan orang baik buat kamu."
Diputuskan dengan sebuah sms dan dengan alasan superklasik, membuat Andara marah.
Buana Semesta, lelaki yang sudah membagi rasa dengannya selama hampir setahun belakangan tiba-tiba mengiriminya sms itu. Andara sebenarnya sudah tahu kalau peristiwa itu akan terjadi. Dia sudah prediksi kalau Buana akan mencampakkannya, tetapi bukan Andara jika bisa dibuang begitu saja.
Lelaki itu harus tahu siapa sebenarnya Andara Ratrie. Andara akan pastikan lelaki itu menyesal seumur hidup telah berurusan dengannya. Karena Andara akan menjadi mimpi buruk bagi Buana, meskipun cowok itu tidak sedang tertidur.
Banyak cara disusunnya agar Buana menyesal, termasuk pura-pura memiliki pacar baru dan terlihat bahagia.
Tetapi bagaimana jika akhirnya Buana malah terlihat cemburu dan tidak suka dengan pacar barunya?
Juga bagaimana jika Andara bermain hati dengan pacar pura-puranya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nadyasiaulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
What Happens?
"Ada perihal apa yang kamu sembunyikan?"
🔥🔥🔥
Tujuh hari nonstop bersama Andara membuat Kin merasa hidup ini sangat mengasyikan. Dia seperti memiliki rekan yang seimbang. Mereka tidak selalu sejalan malah kadang kala pilihan mereka acap kali berbeda. Namun, itu terasa lebih menantang, beda dari hubungannya yang sudah-sudah.
Sebenarnya bagaimana Kin akhirnya memilih menilai seseorang itu dari sepatu yang dipakai dan musik yang didengar itu adalah keputusan absurd. Dia hanya mengandalkan sugesti. Saat dia mengenal Andara, dia ingin mencoba pakai prinsip itu untuk menemukan pasangan. Terbukti, Andara seru sekali. Benar-benar ada korelasi kok bagaimana sepatu dan musik dengan kepribadian seseorang.
Pernah suatu hari, cewek itu meminta dia parkirkan mobil lalu mengajak jalan kaki untuk hunting street photography. Malang, sehabis jalan jauh dan makan di food truck pinggir jalan, mereka harus berjalan penuh keringat untuk menemukan ATM terdekat karena kehabisan uang. Dompet Kin tertinggal di mobil dan ringgit Andara habis, untuk sekadar membeli minum saja tidak ada. Alih-alih mengeluh, Andara menertawai kejadian itu sepanjang jalan.
Cewek itu juga bersikeras untuk mengambil gambar Kin. Kata Andara, sesekali dialah yang difoto agar ada kenangannya. Berbekal tripod yang dipanggul ke mana-mana, mereka memasang penyangga kamera di lokasi yang mereka anggap bagus dan mengambil foto bersama. Sekarang, banyak sekali foto berdua di galeri kamera. Foto di berbagai tempat dengan berbagai gaya.
Andara yang sering menolak melihat ke kamera menjadi berbeda saat foto bersama. Mereka sempat membeli hoodie kembar lalu memakainya dengan menarik tali hoodie tersebut dan menyisakan duck face untuk difoto. Andara memiliki banyak ide aneh untuk berfoto, mulai dari gaya penguin mengangkang sampai gaya The Beatles di Abbey Road. Cewek itu juga membeli topi kelinci dan membebaskan Kin menangkap semua gaya konyolnya. Kin bahkan pernah pura-pura tidak kenal Andara saking merasa malu karena cewek itu tiba-tiba jongkok dan memeluk betis dia saat mereka wefie dengan tripod. Kata Andara itu gaya ngambek minta mainan, dan menurut cewek itu gaya tersebut belum apa-apa sebab ada gaya yang lebih memalukan yaitu gaya balita tantrum.
Jika selama ini garis tepi adalah hitam dan putih, Kin tidak lagi melihatnya seperti itu. Semua yang ada jadi lebih berwarna. Sesekali bertindak aneh di luar nalar tidaklah selalu berefek drastis. Keteraturan dia diisi dengan keserampangan Andara. Kin bahkan pernah membayangkan betapa rock 'n' roll hidupnya kalau nanti bersama Andara dalam satu rumah tangga.
"Gue ke toilet bentar, ya?"
Andara turun saat Kin hendak mengisi bensin. Hari ini mereka akan ke Singapura memakai mobil. Sebenarnya Andara mengajaknya naik kereta api. Naik kereta api di Singapura dan Malaysia tentu lebih murah, lebih tepat waktu dan terbebas macet. Hanya saja, Kin merasa perlu membawa mobil sendiri untuk memudahkan perjalanan.
Saat Kin memasukkan ujung selang ke dalam lubang tangki, suara aneh terdengar dari mobil yang mati. Dia menoleh ke dalam. Ponsel Andara yang tergeletak di jok penumpang menampilkan sebuah nama yang tidak disukainya. Rupanya ponsel itu dalam mode getar tanpa dering. Kin hanya mengamati panggilan itu dari samping jendela sembari menunggu penuh tangkinya. Ketika panggilan tidak terangkat itu akhirnya mati, panggilan baru datang lagi. Begitu terus berkali-kali. Seandainya tidak ada larangan memakai ponsel saat mengisi bahan bakar, tentulah Kin yang akan mengangkat telepon tersebut. Dia berdecak gusar. Mengapa Buana datang lagi, sih?
Andara belum juga kembali dari toilet saat Kin selesai mengisi bensin. Dia memarkirkan mobil di depan miniswalayan yang ada di pelataran pom bensin. Matanya melirik ponsel Andara, ingin memeriksa berapa banyak telepon Buana di sana. Rasa penasaran pada akhirnya mengalahkan norma apa pun, ponsel itu diraihnya. Dia memang tidak tahu kode kunci ponsel Andara, hanya saja dia bisa melihat pesan yang masuk dengan menarik sedikit notifikasi yang tampak. Ada beberapa pemberitahuan dari media sosial seperti Instagram, Facebook dan WhatsApp. Pesan Buana yang baru masuk lebih menarik perhatiannya. Cowok itu mengirimi pesan yang sama berulang yaitu meminta Andara mengangkat telepon. Kata-kata yang dikirim mulai dari kalimat singkat sampai yang seluruhnya memakai huruf kapital pertanda marah. Penuh paksaan sekali cowok itu, memangnya dia siapa?
Kin mengembalikan ponsel itu ke jok dan mulai membuka ponselnya sendiri. Dahulu dia berpikir urusan antara Buana dan Andara sudah selesai dan dia bisa masuk santai ke kehidupan Andara. Apa lagi sih yang belum selesai antara mereka? Jika masalahnya hanyalah first time, Kin bukanlah orang yang menuntut pasangannya harus sempurna untuk masalah keperawanan.
Kin menghela napas dalam. Si Buana ini sudah mengajukan permintaan pertemanan ke Instagram-nya semenjak Andara mengunggah foto mereka berdua. Kin yang menunda pertemanan karena dia rasa Buana pasti sangat penasaran dengan isi Instagram-nya. Orang yang memelihara api penasaran harus dibiarkan terbakar oleh dahsyatnya rasa ingin tahu itu sendiri. Tangannya bergerak mengunggah siluet foto Andara yang ditangkapnya kemarin, kemudian pergi ke daftar permintaan pertemanan dan menerima Buana menjadi followers-nya. Dia ingin tahu apa sebenarnya yang diinginkan Buana.
Pintu mobil terbuka. "Ya ampun, hapenya di sini ternyata. Gue pikir jatuh di toilet. Gue sampai bolak-balik periksa toilet dan wastafel!" Andara mengusap peluh dan meraih ponsel sebelum duduk.
Ponsel itu bergetar lagi. Kin menjadi penasaran apakah Andara akan mengangkat telepon Buana saat berada di sampingnya. Dia kembali menjalankan mobil sambil diam-diam mengawasi Andara.
"Halo. Apa, Cha?"
Ternyata kali ini yang menelepon Andara adalah Rossa bukan Buana.
"Uang apa?"
Kin masih menajamkan telinga meski pandangannya lurus ke depan. Andara bergeming seperti khusyuk mendengar cerita Rossa.
"Terus? Iya, gue lagi di jalan. Kenapa memangnya?"
Cewek itu memandang jalanan dengan kening berkerut dan muka seketat mungkin. Beberapa kali bibir cewek itu mengeluarkan decakan dan embusan napas sampai akhirnya memekik, "Gila sih lo?! Ya Tuhan, Ocha! Otak lo di mana?!"
Intonasi itu jelas tidak main-main. Decakan masih saja ada tetapi Andara seperti berusaha menahan kata-kata yang hendak keluar dari mulutnya. Kin menoleh, mendapati muka Andara sudah merah padam memendam bara. Cewek itu meliriknya dan tatapan mereka beradu. Kin mengedikkan dagu, berusaha menanyakan ada masalah apa dan hanya dijawab Andara dengan gelengan.
"Ck! Entarlah kita bahas lagi, gue lagi di jalan." Andara menutup pembahasan. "Dan lain kali tanya gue dulu sebelum bikin beginian. Ya udahlah, bye."
Kin kembali menoleh, Andara sudah membuang tatapan ke jendela samping. Kin dapat merasakan suasana memanas dan sepertinya Andara belum berniat untuk cerita. Memaksa orang seperti Andara bercerita di saat yang tidak tepat hanya menyulut kobaran api semakin besar. Kin memilih diam, rencana untuk bertanya tentang Buana pun lenyap. Andara berada dalam mood yang buruk dan gelagatnya memang benar-benar seperti makhluk buas yang diam tapi tetap mengerikan.
Perjalanan ke Singapura tidak selama seperti ke Kota Tinggi tempo hari. Dalam waktu satu jam lebih, mereka sudah memasuki Singapura melewati jalan layang yang menghubungkan kedua negara tersebut. Andara masih bungkam.
Kin mengarahkan setirnya menuju apartemen Deni dan memberitahu sepupunya itu jika dia akan segera sampai. Begitu mereka tiba di depan apartemen, Kin kembali menelepon Deni.
"Gue udah di depan."
Sebuah lampu mobil mengedip. Maserati hitam berpintu dua melewati mobilnya dan membunyikan klakson. Berbeda dengan dirinya yang menyukai mobil bertipe SUV, Deni lebih menyukai mobil sport. Kin kembali menjalankan mobil mengikuti mobil Deni.
"Itu siapa?" Andara akhirnya membuka suara.
"Deni sama Diska." Kin lupa memberitahu Andara jika sepasang kekasih itu akan ikut bersama-sama menghadiri acara di Pantai Palawan. "Gue ajak mereka. Kita kan menginap di sana, nanti lo tidur sekamar sama Diska. Gue sama Deni."
"Apa?!" Suara Andara kembali meninggi. "Gue nggak mau sekamar sama Diska. Lo kenapa nggak tanya dulu sama gue?!"
Kin terdiam. Dia berpikir dengan ditemani Diska, pacarnya akan punya teman jika bosan. Ini memang salahnya, tetapi Andara seharusnya bisa berbicara ke dia baik-baik bukan membentak seperti ini.
"Walaupun gue gembel begini, gue nggak keberatan ya bayar hotel sendiri!"
Kin masih diam menatap jalanan. Hotel pasti penuh karena gelaran acara itu, memesan kamar kosong lagi rasanya mustahil, tetapi dia menghindari berdebat sebab Andara sedang tidak stabil. "Tapi ranjangnya twin bed kok, Ra," ujarnya pelan.
"Gue nggak mau ya nggak mau! Jangan underestimate sama gembel, deh!" sergah Andara sembari melipat tangan di dada.
"Yang underestimate sama lo siapa sih?!" Kin mulai ikut tersulut. Ada apa dengan Andara? Cewek itu meledak-ledak setelah ditelepon Rossa dan dia kena getahnya. Tidak ada sekali pun Kin meremehkan Andara, dan memasangkan Andara sekamar dengan Diska itu tidak ada tujuan lain selain agar Andara tidak kesepian.
Mereka akhirnya sama-sama tutup mulut dengan sunyi yang begitu membunuh. Kin memilih injak pedal gas lebih dalam, memacu kecepatan kendaraan menyusul Deni. Kegusaran Andara menular kepadanya. Ada tidak terima menggumpal karena percakapan tadi, juga karena fakta bahwa Buana masih menghubungi Andara.
Ketegangan menyelimuti mereka bahkan ketika telah sampai di Pulau Sentosa. Andara tidak berkata apa-apa ketika digiringnya ke lobi hotel untuk check in, dan masih miskin kata-kata saat dikenalkan kepada Deni dan Diska.
***
Salah satu yang tidak pernah Buana suka dari lingkungan Andara adalah Rossa. Meski dia baru bertemu setelah dikenalkan oleh Andara, tetapi nama cewek itu sudah Buana kenal jauh sejak SMA. Tidak susah mengenali Rossa Indira. Fotonya selalu bertebaran di grup-grup chat yang diisi para cowok, dan tubuh cewek itu selalu jadi bahan bercandaan mesum.
Buana akui Rossa itu cantik dan cowok pasti akan sukarela membuka tangannya untuk dia. Akan tetapi, Buana juga tahu, mantan cewek ini tidak terhitung lagi. Sesering Andara atau Natha berganti pacar, Rossa lebih sering lagi. Selama dia berpacaran dengan Andara saja, Rossa pernah mengenalkan tiga cowok sebagai pacarnya dalam kurun waktu satu tahun. Belum lagi cowok yang hanya dekat tanpa status apa pun.
"Kenapa juga gue harus angkat telepon lo?" ujar Rossa sambil mengembus asap ke muka dia. "Dari awal kan udah gue bilang, ngapain lo ganggu Andara? Dan dari awal udah gue titip pesan buat jangan sakiti dia."
"Yang sakiti dia itu siapa? Lo jangan nilai sesuatu dari satu sisi." Buana mengipas telapak tangan ke udara. Dia tidak suka asap rokok.
"Gue tahu Andara habis nangis waktu pulang dari rumah lo." Rossa tersenyum sinis sembari mematikan rokok di asbak. "Nggak perlu jadi dukun buat tahu itu, Buan."
"Habis nangis pulang dari rumah gue?" Sesuatu terasa menghimpit dada Buana. Entah karena sisa asap yang masih ada atau informasi dari Rossa barusan. Apa benar Andara menangis setelah pulang hari itu? Buana jelas tidak tahu, dia tidak menemukan Andara di rumah. "Gue benar-benar nggak tahu, dia udah nggak ada di rumah waktu gue pulang, dan dia nggak angkat telepon gue lagi sampai hari ini."
"Gini, deh. Lo kan biasanya to the point. Lo ngapain telepon gue? Gue rasa lo bukan salah satu dari luwak-luwak jalanan yang mau modus ke gue."
Tebakan Rossa benar. Buana tidak pernah sedikit pun tertarik sama cewek itu secantik dan sepopuler apa pun dia. "Lo pasti tahu apa yang mau gue tanya. Andara di mana?"
"Mana gue tahu?" Rossa mengedikkan bahu dan mulai meraih sebatang rokok yang baru.
"Selain air laut tiba-tiba rasanya tawar, hal mustahil kedua adalah lo nggak tahu di mana Andara," jawab Buana. Dia memperhatikan ekspresi Rossa. Cewek itu masih cuek dan memainkan ponsel, tidak terpengaruh sama sekali. "Cha, di mana Andara?!"
"Gue nggak tahu."
"Gue tahu lo bohong. Lo nggak mungkin nggak tahu." Buana mendengkus. Ada apa sih? Mengapa mereka menutupi keberadaan Andara? Cewek ini perlu ditekan juga. "Cha. Gimana ya kalau berita lo dugem waktu itu sampai ke telinga Roni? Gue yakin Roni nggak tahu kalau pacarnya sampai nempel-nempel keganjenan godain cowok lain."
Wajah Rossa mengeras. Berarti tebakan Buana benar. Dia mulai memainkan alisnya sambil mengetuk meja. "Gue nggak ganggu lo, Cha. Asal lo bisa diajak kerja sama. Jadi ... di mana dia?" tambahnya persuasif.
Rossa mengisap rokoknya lagi. Cewek itu mulai melunak, dan mau bekerja sama. "Nggak jelas juga. Kemungkinan di Singapur atau Penang."
"Ngapain?"
Rossa mulai melirik kanan kiri lalu mendekatkan muka ke depan Buana. "Aborsi."
"What?!" Buana tidak tahu lagi bagaimana mengontrol reaksi tubuhnya mendengar hal itu. Dia refleks berdiri sambil menggebrak meja dan tatapan orang-orang di kantin tertuju ke mereka berdua.
Rossa masih santai sambil mengembus asap. "Lo jangan lebay gitu, ditontonin orang nanti. Lo mau aib lo kebuka ke mana-mana?"
Buana kembali duduk dan ikut berbisik. "Aib gue?"
Rossa mengangguk. "Ya, aib lo. Memang aib siapa? Lo pikir yang dijatuhin itu anaknya siapa?" Alis Rossa menaik sambil menatapnya. "Coba lo ingat-ingat kapan terakhir kali lo make o*t sama dia?"
Badan Buana membeku. Jadi ... Andara hilang karena dia hamil? Ya Tuhan! Buana menjambak rambutnya sendiri. Berarti dia sudah berhasil membuahi cewek itu, tapi mengapa hasilnya seperti ini? "Kenapa dia nggak bilang sama gue?!" desisnya.
Mereka kembali berpandangan dan Rossa hanya mengangkat bahu. "Kalau Andara bilang, gue bakal tanggung jawab, Cha," ujarnya meringis kecut. "Gue memang masih semester lima, masih muda, belum bisa menghasilkan banyak uang. Tapi kalau Andara kasih tahu itu ke gue, gue nggak bakal lari. Gue pasti tanggung jawab, pasti nikahin dia."
"Good. Memang seharusnya lo tanggung jawab karena sepuluh juta itu nggak sedikit," cela Rossa dengan tatapan menilai. "Seenggaknya kalau lo seret banget, coba lo ringanin dia dengan bagi dua biayanya. Kasihan teman gue itu, udah hamil, ditinggalin, gugurin pakai biaya sendiri pula."
Buana menyelupkan kepalanya dalam-dalam ke air. Dadanya sesak dan kepalan hatinya terasa dihantam jika teringat pertemuan terakhir dengan Rossa. Sepuluh juta. Dapat dari mana dia uang sebanyak itu sekarang juga? Tabungannya hanya tertinggal lima juta rupiah. Itu pun sudah ditarik, dan dititipkannya ke Rossa. Meminta lima juta lagi dengan alasan uang habis tentu tidak mungkin, dia harus mencari uang itu dengan cara lain secepatnya.
Buana merasa sangat bertanggung jawab atas perbuatannya. Satu sisi, sejujurnya dia juga sakit hati sebab dia ingin bayi itu hidup. Jangan remehkan keinginannya untuk memikul segala akibat dari perbuatan mereka berdua. Kenapa Andara tidak cerita kepadanya? Kenapa?
Buana meninju air. Padahal dia serius mau punya anak, padahal dia benar-benar akan bertanggung jawab. Sejelek inikah dirinya sehingga Andara ragu bahkan tidak menginginkan bayi mereka? Berkali-kali dia meninju air yang ada. Segala caci maki dia teriakan ke udara. Pantas saja Andara tidak mau mengangkat teleponnya lagi. Apa ini juga yang membuat Andara hilang saat itu dari kelas dan tidak kembali lagi?
Buana mengerang. Dia memikirkan alasan Andara menggugurkan bayi mereka. Apakah karena Andara takut Kin tahu? Karena cowok itu lagi? Berengsek!
Tangan Buana menyapu seluruh barang yang ada di wastafel. Parfum, botol-botol sabun dan wadah sikat gigi juga gelas kaca jatuh berantakan.
Kin. Ya, pasti karena pacar barunya cewek itu. Andara pasti tidak ingin Kin marah jika tahu mereka masih berhubungan di belakang cowok itu. Namun bayi itu tetap bayinya, Andara harus memberi tahunya meski Buana tidak bisa memaksa Andara untuk mempertahankan jika cewek itu tidak ingin.
Tidakkah Andara tahu bahwa cinta dia sangat besar? Mungkin dia jarang sekali mengatakannya tetapi apakah Andara tidak bisa melihat apa yang dibuatnya untuk cewek itu? Apa pun kesalahan yang Andara buat selalu coba dimakluminya walau hatinya berontak. Andara bersikeras tetap merokok pun dihormatinya. Sekalipun dia tahu Andara berbohong, dia berusaha tidak protes. Bukan Buana tidak tahu kalau Andara sering dugem diam-diam di belakangnya bersama Rossa dan Natha. Memang Buana tidak pernah masuk Splash, tetapi jangan lupa dia punya banyak teman yang bisa melapor kepadanya saat melihat Andara. Buana selalu toleransi dan menganggap itu adalah upaya mereka girls time sampai pada hari dia benar-benar ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang dibuat Andara ketika di Splash. Dia mendapati Andara berpelukan dengan Kin. Memang benar dugaannya selama ini, dua orang itu bermain di belakang dia.
"Bangs*t!" Buana menyumpahi keadaan. Kamar mandinya sudah porak poranda seperti hidupnya.
🔥🔥🔥
Memang tidak banyak yang berpihak pada Buana. Dari sekian readers, hanya sedikit yang memihak Bubu-ku itu. Ciyan~
Kalian selalu bertanya alasan apa Buana memutuskan Andara, sering sekali. Padahal, kalau kalian mau merangkai, aku selalu memberi clue-clue, lho. Dan, sekarang mulai terbuka kan selubung itu? 🤭
Btw, satu fun fact lagi yha.
Zodiac Buana itu Aries. Ya, memang ngeselin orangnya. 🤣
keep on writing yaaa.. pasti bisa jadi one of the best Indonesian author deh, yaqiinn.. thank you for sharing this roller coaster story of Andara, Buana dan Kin :)