Ajeng merasa lega setelah mengetahui jika foto mesra suaminya dengan seorang wanita yang diterimanya dari seorang pengirim misterius hanyalah sebuah rekayasa. Ada seseorang di masa lalu suaminya yang ingin balas dendam. Namun, rasa lega itu tak berlangsung lama karena ini hanyalah pembuka dari sebuah pengkhianatan besar yang telah dilakukan oleh suaminya. Bisakah Ajeng memaafkan suaminya setelah mengetahui kebohongan itu.
Cakra, seorang pengusaha sukses yang mendambakan kehadiran seorang anak dalam pernikahannya, tapi istrinya yang merupakan seorang dokter di sebuah rumah sakit ternama belum ingin hamil karena lebih memilih fokus pada karirnya terlebih dahulu. Suatu waktu, Cakra mengetahui jika istrinya telah dengan sengaja menggugurkan calon anak mereka. Cakra murka dan rasa cinta pada istrinya perlahan memudar karena rasa kecewanya yang besar.
Dua orang yang tersakiti ini kemudian dipertemukan dan saling berbagi kisah, hingga benih-benih cinta muncul di hati keduanya.
Bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? Ikuti ceritanya dalam 2 Hati yang Tersakiti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annisa A.R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Distress
...🌷Selamat Membaca🌷...
Satu bulan berlalu, Radi semakin stress karena tidak kunjung menemukan keberadaan istrinya. Pekerjaannya di kantor juga jadi terbengkalai karena sering ditinggal pergi mencari Ajeng. Orang-orang suruhannya tak ada yang becus bekerja hingga sebulan berlalu tak ada informasi apapun yang didapat mengenai di mana keberadaan Ajeng.
"Di mana Pak Robi?" tanya Radi ketika menyambangi ruangan Rob, tapi tak menemukan pria itu di sana. Hanya ada sekretarisnya yang menunggu di ruangan.
"Pak Robi pamit keluar, ada urusan katanya, Pak."
"Kemana?"
"Maaf, saya tidak tahu, Pak."
Mendengar jawaban sekretaris Robi, membuat Radi menaruh curiga pada asisten pribadi Ajeng itu. Ia yakin, Robi pasti tahu di mana keberadaan istrinya. Baiklah, akan ia tanyakan saat bertemu pria itu nanti dan memaksanya untuk berkata jujur.
.......
Di sore yang cerah dengan angin yang bertiup lembut, Robi berdiri di atas pasir pantai Anyer, matanya fokus memperhatikan seorang wanita berperut buncit yang berjalan pelan menyusuri pinggir pantai, terlihat asyik saat kaki mulus itu digelitik ombak yang menghampiri.
"Akhirnya aku menemukanmu, Nona."
Sebulan masa pencarian, baru sekarang Roni menemukan Ajeng. Tidaklah mudah perjuangannya untuk bisa sampai di Anyer. Hari-harinya dalam sebulan ini dihabiskan dengan mengikuti semua orang terdekat Ajeng. Mulai dari pasangan Bagas-Tania, beberapa karyawan toko kue milik Ajeng, sampai Radi pun turut diikutinya. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang tahu di mana wanita hamil itu berada. Dan yang terakhir, Robi ingat jika belakangan ini Ajeng dekat dengan Cakra, jadilah ia membuntuti pria itu selama tiga hari hari ini setelah pulang dari kantor. Ternyata, nonanya benar berada di villa milik si pria Adibrata.
"Ternyata kau lah yang telah mengikutiku selama tiga hari ini, Pak Robi."
Robi terperanjat saat sebuah suara datang dari arah belakangnya. Ia menoleh cepat dan menemukan Cakra sudah berdiri tepat di sampingnya.
"Saya mengkhawatirkan nona Ajeng," ucap Robi. Seakan memberitahu bahwa alasannya mengikuti Cakra adalah karena mencemaskan majikannya yang mungkin saja bersama pria itu.
"Hari itu, Ajeng begitu terpukul. Ia hampir saja kehilangan janinnya, dan suaminya pun lebih memilih wanita selingkuhannya. Ajeng tidak kuat lagi menghadapi semuanya, hingga dia memintaku untuk membawanya pergi."
Robi mengepalkan tangannya di bawah sana, lagi-lagi Radi menyakiti Ajeng. Ia heran dengan pemikiran pria itu, apa kurangnya wanita cantik dan baik seperti nonanya hingga sampai hati mencari pelampiasan di luar sana.
"Apa kau akan membawa Ajeng pergi?" tanya Cakra setelah membiarkan Robi terdiam beberapa saat.
"Pulang? Dan membiarkannya kembali bersama pria brengsek itu?" tanya Robi sinis.
Cakra takjub, baru kali ini ia melihat asisten Ajeng yang selalu berwajah tenang itu berubah garang, walau hanya terlihat dari pancaran matanya yang tajam.
"Berarti kau berada di pihak Ajeng?"
"Cih ... tentu saja. Aku sudah mengabadikan seluruh hidupku untuk anak keturunan Winata, bukan pada si pengkhianat itu!"
Cakra berusaha tetap tenang, walau ia sangat ingin tertawa saat mendengar julukan yang diberikan Robi untuk suami Ajeng. "Apa kau mau menemuinya?"
"Hm, tidak. Lebih baik begini saja. Melihatnya dari jauh dan memastikan dirinya baik-baik saja, itu sudah lebih dari cukup. Terima kasih atas bantuanmu, Pak Cakra."
"Jangan sungkan. Saat ini saya akan bertanggung jawab sepenuhnya atas Ajeng. Saya berjanji akan melindunginya sampai saat nanti melahirkan. Akan saya beritahu padamu jika saat itu tiba."
Robi terkesima mendengar penuturan pria yang bersamanya, namun ia juga merasa sedikit curiga, kenapa Cakra yang merupakan orang asing sebegitu baiknya hingga mau membantu wanita bersuami seperti nonanya. Apakah pria itu memiliki maksud lain?
"Anda tidak menaruh hati pada nona Ajeng, kan?"
Deg
Cakra menatap Robi yang juga sedang menatapnya dalam. "Saya sudah menikah."
"That's the point, karena anda sudah menikah, saya takut jika nanti nona akan di cap sebagai wanita pengganggu rumah tangga orang."
Cakra terhenyak, ia memikirkan jika apa yang dikatakan Robi memanglah benar. Apalagi hubungannya dengan Silvia juga tidak seharmonis dahulu, ia cemas jika nanti orang akan berprasangka negatif jika ia terlalu dekat dengan Ajeng.
"Saya akan berhati-hati..." Akhirnya hanya itu yang bisa diucapkan Cakra untuk bisa meredakan kecemasan Robi.
"Saya harap juga begitu. Kalau bukan karena takut ketahuan oleh si Radi, mungkin saya sendirilah yang akan menjaga dan melindungi nona Ajeng."
"Apa pria itu mencarinya?" tanya Cakra penasaran.
Robi tersenyum, itu terlihat jelas saat matanya melengkung dan menyipit. "Dia sudah seperti orang gila karena tidak berhasil menemukan nona..." Ada nada senang dalam suara Robi saat mengatakannya. Sepertinya ia bahagia melihat penderitaan suami nonanya.
"Kau terlihat menikmatinya?"
"Haha..." Tawa pelan terdengar dari mulut Robi. "Pengkhianat macam itu pantas mendapatkannya."
.......
"Mas!" panggil Tania pada suaminya.
"Hmm..." Bagas bergumam. Ia masih fokus menemani Arka yang sedang belajar berjalan.
"Sudah satu bulan berlalu, Ajeng belum juga ditemukan. Aku sangat mencemaskan keberadaannya."
Bagas berhenti dengan kegiatannya dan menoleh. "Aku yakin dia pasti baik-baik saja di suatu tempat."
"Tapi di mana?"
"Aku tidak tahu. Mungkin Ajeng ingin menenangkan diri sejenak dari masalah rumah tangga yang dia hadapi. Aku yakin suatu saat nanti Ajeng akan kembali, jika sudah siap."
Tania berdecak, Bagas selalu berpikiran optimis. Bagaimana jika ternyata Ajeng tidak baik-baik saja, dan yang lebih buruknya, dia tidak akan kembali.
"Lagi pula, apa yang dilakukan oleh sahabatmu itu. Bukankah dia bisa menyewa detektif handal untuk mencari keberadaan istrinya, tapi kenapa sampai sekarang dia belum berhasil juga. Heran..." omel Tania.
Bagas mengangkat bahu. Sebulan ini, Radi sering kali menghubunginya dan mengajak bertemu hanya untuk berkeluh kesah. Beberapa kali ia menerima ajakan itu, tapi belakangan ini ia selalu menolak. Bosan karena terus mendengar keluh kesah serta penyesalan Radi, harusnya pria itu berusaha keras untuk bisa menemukan Ajeng, tapi yang ia lihat, Radi kebanyakan bicara daripada bertindak.
.......
"Tadi sore aku bertemu dengan Pak Robi," beritahu Cakra disela waktu makan malamnya dengan Ajeng.
Ajeng meletakkan alat makannya dan menatap Cakra. "Di mana?"
"Di sini, tiga hari ini ternyata dia membuntutiku." Pria itu ikut menghentikan makannya.
"Sekarang dia ada di mana?"
"Kembali ke Jakarta."
"Kenapa dia tidak menemuiku?"
"Tidak perlu. Melihat kau baik-baik saja, itu sudah lebih dari cukup. Begitu katanya."
Mata Ajeng berembun, ternyata masih ada orang yang mengkhawatirkan dirinya. "Apa dia mengatakan sesuatu?"
"Memintaku untuk menjagamu."
Ajeng mengangguk. Ia kembali meraih sendok-garpu, dan meneruskan makannya.
Cakra diam memandangi Ajeng yang sibuk menyuap makanannya. Di saat suapan terakhir, akhirnya Cakra mengatakan hal yang sudah sedari tadi ditahannya.
"Radi mencarimu terus satu bulan ini..."
Deg
Jantung Ajeng berdetak cepat saat mendengar nama pria yang sebulan ini mati-matian ia hilangkan dari pikirannya. Namun, kerinduan yang perlahan menyusup seketika lenyap saat mengingat apa yang sudah pria yang dicintainya itu lakukan.
"Sebulan? Jika dia serius mungkin dalam waktu 24 ia sudah berhasil menemukanku," ucap Ajeng datar. "Dusta. Tidak mungkin dia mencariku, toh saat ini ia sedang berbahagia dengan selingkuhan dan juga anak mereka," sambungnya dalam hati.
"Ajeng..."
"Untung saja aku sudah selesai makan, jika tidak mungkin anakku akan kelaparan karena ibunya tidak berselera makan..." Ucapan Ajeng yang sedikit ketus itu membuat Cakra menyesali apa yang sudah dilakukannya. Seharusnya ia tidak menyebut nama pria itu di depan Ajeng.
"Maaf..."
"Tidak masalah. Ku harap, lain kali jangan sebut namanya lagi di depanku."
Ajeng meninggalkan ruang makan setelah mengatakan hal itu pada Cakra.
.......
"Kau datang?" Maya tersenyum lebar menyambut kedatangan Radi di rumah yang ia tempati.
"Di mana Lingga?" Radi tidak memedulikan Maya, tujuannya datang hanya untuk melihat anaknya.
"Ada di kamar..."
"Bawa dia ke ruang tengah, aku ingin bermain dengannya."
"Baiklah."
Tak berselang lama, Maya datang dengan membawa bayinya dalam gendongan. Ia duduk di samping Radi dan menyerahkan bayi itu pada ayahnya.
"Kau boleh pergi, aku hanya ingin berdua dengan Lingga."
Maya menurut. Ia segera bangkit. "Akan ku buatkan minum." Niatnya tidak benar-benar ingin pergi, tapi lebih kepada cari perhatian.
.......
"Aku mohon bantuanmu..." Maya menyerahkan poselnya pada Rina. Ia ingin pelayan itu nanti memotretnya diam-diam saat sedang berkumpul bertiga dengan Radi dan Lingga.
"Baik, Nona."
Maya berjalan anggun sembari membawa sebuah nampan berisi dua cangkir teh juga camilan. Stelan piyama yang sebelumnya ia gunakan, sudah berganti dengan baju tidur berbahan tipis yang begitu menonjolkan semua lekuk tubuh sintalnya. Ia sengaja memancing Radi, karena ia tahu pria itu pasti sudah lama tak mendapatkannya, sudah sebulan Ajeng kabur entah kemana dan selama itu pula Radi telah menahannya. Ini merupakan kesempatan bagus.
"Ini, diminum dulu." Maya meletakkan nampan di atas meja. Ia sengaja membungkuk lebih rendah saat meletakkan nampan agar tubuh bagian atasnya bisa terlihat oleh Radi yang duduk di depannya.
"Kena kau, Mas." Maya menyunggingkan senyum miring saat melihat Radi terpancing oleh umpannya. Lihat saja, mata pria itu kini fokus melihat bagian depan tubuhnya yang terekspos kala menunduk. Apalagi, di dalam sana, Maya sengaja tidak memakai dalaman. Tahu sendirilah, apa yang bisa pria itu temukan.
Tubuh Radi panas dingin, ia tidak menyangka akan disuguhi pemandangan menggoda itu. Jiwa kelelakiannya meronta, ingin segera dilepaskan. Lebih dari sebulan ia puasa, dan hasrat itu meminta pelepasan.
Sial. Radi berperang dengan akal sehatnya. Satu sisi, ingin mencari kepuasan bathin dengan menerjang tubuh menggoda Maya dan sisi baiknya ia masih ingat jika Ajeng pasti akan sangat kecewa jika dia kembali melakukan kesalahan. Radi mencintai Ajeng, ia sangat mencintai istrinya itu.
Radi menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran negatif dalam benaknya. Ia tidak boleh tergoda.
Maya berdecih pelan melihat Radi yang mencoba mengabaikannya. Apakah ia menyerah? Tentu tidak.
Maya mendekat dan duduk tepat di sebelah Radi. Ia mengibaskan rambut panjangnya agar aroma parfum yang sudah ia semprotkan sebelum ini, tercium oleh pria di sampingnya.
Benar saja, tubuh Radi menegang mendapat serangan lanjutan itu. Aroma memabukkan yang menguar dari tubuh Maya, membuat hasrat yang mati-matian ia padamkan, kembali memercikkan api.
"Aku akan pulang sekarang." Radi mengambil jalan aman. Jika terus berada di sini ia tidak yakin bisa menahan dirinya lebih lama lagi. Ia serahkan Lingga kembali ke tangan ibunya.
"Apa?" Maya kaget dan tak terima saat Radi memutuskan untuk pulang. "Tunggu!"
Maya berlari mengejar pria itu, tapi sebelum itu ia menyerahkan pengasuhan Lingga pada Rina.
"Mas, tunggu!"
Maya memeluk Radi dari belakang ketika pria itu hendak membuka pintu. Wanita yang memiliki sifat penggoda itu menempelkan tubuhnya dengan ketat pada tubuh Radi.
"Lepaskan!" Radi melepas tangan Maya yang melingkar di perutnya.
Setelah terlepas, Radi ingin segera melarikan diri, namun terlambat saat tubuhnya dibalik paksa oleh Maya.
"Jangan pergi!"
Cup
Setelah memohon dengan wajah merayu dan suara manjanya, Maya langsung menerjang bibir Radi dan mel*matnya rakus. Ia juga meraih satu tangan Radi dan meletakkannya di salah satu bulatan sintal miliknya.
Radi yang bersandar pada daun pintu sama sekali tidak berkutik mendapat serangan itu. Hatinya ingin menolak, tapi apa daya, tubuhnya menginginkan lebih. Api gairah dalam tubuhnya semakin berkobar dan tidak bisa dipadamkan lagi. Akhirnya ia membalik keadaan. Kini tubuh Maya lah yang berhimpit dengan pintu.
"Kau akan menerima akibat karena telah menggodaku!"
Maya tersenyum dengan wajah memerah. Inilah yang dia inginkan.
Radi menarik tengkuk Maya dan mel*mat bibir merah sensual itu dengan bernafsu. Tak ada lagi yang ia pikirkan saat ini kecuali melampiaskan hasrat lelakinya pada wanita yang tak seharusnya.
Si pelayan yang sedang menggendong Lingga di belakang sana, tak lupa mengabadikan momen itu. Ia hanya melakukan apa yang diperintahkan.
...Bersambung...
...Jangan lupa Like & Comment... 🙏🏻😊...
...Terima kasih...