"KENAPA HARUS AKU SATU-SATUNYA YANG TERLUKA?" teriak Soo, menatap wajah ibunya yang berdiri di hadapannya.
*********************
Dua saudara kembar. Dunia dunia yang bertolak belakang.
Satu terlahir untuk menyembuhkan.
Satu dibentuk untuk membunuh.
*********************
Soo dan Joon adalah saudara kembar yang dipisahkan sejak bayi.
Soo diculik oleh boss mafia Korea bernama Kim.
***********************
Kim membesarkan Soo dengan kekerasan. Membentuknya menjadi seorang yang keras. Menjadikannya peluru hidup. Untuk melakukan pekerjaan kotornya dan membalaskan dendamnya pada Detektif Jang dan Li ayah mereka.
Sementara Joon tumbuh dengan baik, kedua orangtuanya begitu mencintainya.
Bagaimanakah ceritanya? Berhasilkah Soo diterima kembali di keluarga yang selama ini dia rindukan?
***********************
"PELURU" adalah kisah tentang nasib yang kejam, cinta dan balas dendam yang tak pernah benar benar membawa kemenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KEZHIA ZHOU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APA MAKSUDMU?
Joon segera beranjak ke lantai atas. Langkahnya terdengar cepat saat menaiki anak tangga menuju kamarnya. Tanpa berlama-lama, ia mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih rapi dan nyaman, seolah ingin menunjukkan keseriusannya saat menjenguk paman yang selama ini ia hormati. Sementara itu, di dapur, Yejin sudah sibuk menyiapkan bekal makanan dengan penuh perhatian—setiap lauk ditata rapi, dibungkus dengan hangatnya kasih seorang istri dan ibu.
Tidak berselang lama, Joon turun kembali ke lantai bawah. Ia melangkah menuju dapur dan menghampiri Yejin yang sudah menunggu sambil membawa kantong bekal.
“Ini nak.. bawa ini untuk ayahmu,” katanya sambil menyerahkan bungkusan itu.
Joon mengangguk patuh, menerima bekal tersebut dengan kedua tangan. Setelah berpamitan singkat kepada Yejin, ia langsung melangkah keluar rumah dan masuk ke dalam mobilnya. Mesin mobil dinyalakan, lalu dengan cepat Joon menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan wajar, pikirannya fokus pada satu tujuan—rumah sakit Songyang.
Tak membutuhkan waktu lama, mobil Joon sudah terparkir rapi di area parkir rumah sakit. Ia turun, menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah masuk. Mengikuti nomor ruangan yang sebelumnya diberikan ayahnya, Joon menyusuri lorong demi lorong yang sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki dan alat medis. Hingga akhirnya, ia berhenti tepat di depan kamar perawatan detektif Jang.
Tok.. tok..
Joon mengetuk pintu pelan, lalu membukanya perlahan. Ruangan itu sunyi. Ia melangkah masuk dan melihat ayahnya tertidur lelap di sofa, tampak kelelahan setelah seharian menunggu. Joon berjalan dengan hati-hati, meletakkan bekal makanan di atas meja kecil di samping sofa. Namun tak lama, Li yang menyadari kehadiran seseorang langsung membuka mata dan menegakkan tubuhnya.
“Joon..? Sudah lama kamu berada disini?” tanya Li terkejut.
Joon tersenyum lebar. Senyuman khas yang selalu memancarkan kehangatan dan ketulusan—senyuman yang mudah membuat orang lain ikut merasa tenang.
“Baru saja.. Aku tidak tega mau membangunkan ayah. Oiya ayah, ini ibu membawakanmu makanan. Untuk ayah makan malam ini dan besok pagi. Ibu membawakan banyak. Makanlah dulu,” kata Joon lembut sambil mendorong bekal itu ke arah ayahnya.
Li mengangguk kecil, lalu bangkit dari duduknya. Ia membuka bungkusan makanan yang disiapkan istrinya. Aroma masakan rumahan langsung memenuhi ruangan. Tanpa ragu, lelaki paruh baya itu menyantapnya dengan lahap, seolah perut dan hatinya sama-sama lapar akan perhatian.
Sambil mengunyah, Li melirik ke arah ranjang tempat sahabatnya terbaring.
“Hei Jang.. tidak kah kamu merindukan masakan lezat dari isteriku? Cepatlah bangun!” kata pria itu, suaranya terdengar setengah bercanda namun penuh harap.
Joon ikut menimpali, menatap paman Jang dengan mata berbinar.
“Iya paman, ayo kita minum soju lagi bersama. Dan hidup seperti pria dewasa. Jadi cepatlah bangun!”
Li tersenyum tipis mendengar ucapan putranya. Ia merangkul Joon ke dalam pelukannya sejenak, seolah berterima kasih atas kehadirannya. Joon menoleh, menatap ayahnya dengan wajah serius.
“Kenapa paman Jang bisa kecelakaan?” tanya Joon.
Li menarik napas panjang, lalu mulai menjelaskan seluruh kronologi kejadian yang ia ketahui. Ia bercerita dengan nada pelan namun jelas. Joon mendengarkan dengan saksama, tidak memotong sedikit pun, menyerap setiap kata ayahnya.
“Lalu bagaimana dengan sopir truk itu?” tanya Joon lagi setelah Li selesai menjelaskan.
Li terdiam sejenak, menatap lantai sebelum kembali melanjutkan.
“Pria itu pun mengalami luka di kepalanya, namun tidak serius. Dia hanya mendapatkan perawatan kecil dari dokter. Kata polisi yang sudah berrhasil meminta keterangan darinya, dia hanya menemukan bahwa truk yang dia kendarai itu mengalami rem blong. Sehingga laju truk tidak bisa terkendali,” kata Li melanjutkan ucapannya lagi.
Joon mengangguk pelan. Ia memahami semua penjelasan ayahnya, meski di dalam hatinya masih tersisa kegelisahan yang tak terucap. Matanya kembali tertuju pada paman Jang yang terbaring tak sadarkan diri, seolah menunggu jawaban yang belum sempat diucapkan.
...****************...
Di tempat yang berbeda, suasana rumah Soo terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Kim datang berkunjung tanpa pemberitahuan. Di lantai atas, Soo baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih sedikit basah, tubuhnya dibalut handuk tipis sebelum ia mengganti pakaian.
Saat berjalan melewati cermin, pandangannya tertuju pada bekas luka tembak di sisi tubuhnya. Luka itu sudah mengering, menyisakan garis kasar di kulitnya. Soo menghela napas pendek. Bahkan dirinya sendiri hampir lupa bahwa beberapa waktu lalu ia sempat berada di ambang maut.
Langkah kaki terdengar dari luar kamar.
“Soo, ayahmu datang mengunjungimu.” ucap Park dari balik pintu.
Soo hanya menoleh sedikit. Tak ada jawaban. Ia segera meraih kaosnya dan memakainya tanpa terburu buru, lalu melangkah keluar kamar menuju ruang tamu. Tatapannya kosong, ekspresinya datar.
Di ruang tamu, Kim sudah duduk santai dengan sebotol alkohol di tangannya, meneguk isinya seolah berada di rumah sendiri.
Tanpa basa-basi, Soo menghampiri ayahnya. Ia duduk di sofa, lalu menyilangkan kakinya dengan sikap santai namun dingin.
“Apa yang harus kulakukan kali ini?” tanya Soo tanpa sedikit pun nada hormat.
Nada suaranya terdengar hambar, seakan ia sudah terlalu sering berada dalam situasi seperti ini.
Kim tertawa pelan, lalu semakin keras, seolah terhibur oleh sikap putranya sendiri.
“Hahaha... mengapa kau langsung bertanya seperti itu? Tidak kah kau berfikir bahwa ayah kesini karena merindukanmu, dan hanya sedang ingin bertemu dengan putra ayah yang tampan ini?” kata Kim sambil menatap Soo, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dibaca.
Soo mengangkat sudut bibirnya sedikit, senyum yang tidak pernah benar-benar sampai ke matanya.
“Hah! Yang benar saja,” katanya lirih, hampir seperti ejekan.
Ia menghela napas pendek, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih tegas.
“Aku tau, ayah kesini untuk memberiku pekerjaan khusus. Kali ini apa yang harus kulakukan untuk mu?”
Kim kembali tertawa keras. Ia meneguk alkoholnya sekali lagi sebelum menganggukkan kepala, matanya kini menatap Soo lebih lama, lebih dalam.
“Soo, ayah mau tanya, bagaimana jika kau ternyata bukan putra kandung ayah? Dan bagaimana jika ternyata kedua orangtuamu telah membuangmu? Kemudian kau kuambil dan kubesarkan? Meski, aku membesarkanmu tentu untuk tujuan yang lain. Yaitu suatu ketika ayah berharap kau akan bisa membantuku melakukan semua pekerjaan kotorku, dan mendapatkan puncak yang kuinginkan.”
Kata-kata itu jatuh seperti palu. Soo seketika bangkit dari duduknya. Tatapannya berubah tajam, rahangnya mengeras. Untuk pertama kalinya sejak Kim datang, ekspresinya retak.
“Apa maksud ucapanmu?” tanya Soo, suaranya lebih rendah namun penuh tekanan.
Dadanya naik turun perlahan. Selama ini, ia selalu percaya bahwa ia lahir dari keluarga itu. Bahwa darah Kim mengalir di nadinya. Ucapan ayahnya barusan terasa seperti retakan besar yang mulai menghancurkan keyakinan yang ia pegang seumur hidup.