Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios. Yaitu percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lainnya. Raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, bahkan binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia.
Hingga terbentuklah 12 pertandingan untuk menghentikan peperangan akbar itu. Panah melawan mesiu, otot melawan baja, sihir melawan sains.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ledakan Helios di Langit Brasil
HELIOS, TIGA TAHUN SETELAH KEBAKARAN TERAKHIR
Awalnya hanya cahaya. Sebuah cahaya biru terang di langit Samudra Pasifik yang menelan seluruh cakrawala.
Orang-orang menyebutnya Ledakan Helios, namun tak ada satupun yang benar-benar tahu apa yang terjadi di dalam reaktor itu. Hanya desas-desus yang beredar bahwa percobaan energi tak terbatas itu memecah sesuatu yang tak seharusnya disentuh, yaitu tabir antara dunia manusia dan dunia mitologi.
Beberapa jam setelah cahaya itu lenyap, bumi berubah menjadi mimpi buruk.
Lubang-lubang dimensi terbuka di atas kota besar, memuntahkan bayangan yang tak bisa dijelaskan logika. Langit bergemuruh seperti ada sesuatu yang bernapas di baliknya. Dan di malam pertama setelah bencana, Brasil menjadi medan perang pertama di dunia.
Favelas terbakar. Katedral tua di pusat kota runtuh. Dan di jalanan Rio, manusia kini menatap makhluk-makhluk yang selama ini hanya hidup di legenda.
Minotaur dengan tanduk membara yang menghantam mobil seperti kertas, troll sebesar truk yang memakan manusia hidup-hidup,
dan gerombolan goblin yang berlari di atap rumah, menjerit seperti tawa anak kecil yang terdistorsi.
Tiago menyaksikan semuanya dari balik reruntuhan bar tempat ia biasa bekerja. Cermin-cermin pecah, botol berserakan, dan tubuh-tubuh rekan kerjanya berserakan di lantai. Sebagian dicabik, sebagian hangus.
Ia tak lagi berteriak. Tak lagi panik. Bagi Tiago, kekacauan bukan hal baru. Hanya saja, kali ini... lebih aneh. Lebih nyata.
Ia mengambil batang besi dari meja bar yang hancur, lalu menatap refleksinya di kaca pecah.
Tubuhnya penuh bekas luka lama, mata sayu seperti orang yang tak lagi punya tempat untuk pulang.
“Dunia akhirnya seburuk aku,” katanya datar.
Lalu ia berjalan ke luar, dan mulai bertarung.
Tiga troll menghampirinya di jalan sempit, tubuh mereka dipenuhi darah segar.
Satu melompat, membawa palu batu raksasa.
Tiago menunduk, berputar, menendang lutut makhluk itu hingga patah. Lalu menggunakan pecahan kaca untuk menebas urat lehernya.
Satu lagi datang menyerang dari belakang. Tiago membalik tubuh, meninju perutnya dengan kombinasi cepat ala Kungfu Samba ciptaannya.
Gerakan itu liar, mengalir, tapi mematikan.
Darah hijau troll menetes di bajunya, tapi Tiago tak peduli. Yang penting, ia masih hidup.
Dan hanya itu yang berarti baginya sekarang.
Bertahan. Sendirian. Seperti dulu.
Beberapa minggu berubah menjadi bulan.
Helios kini hanya sisa puing. Brasil menjadi negara benteng, dijaga oleh pasukan sementara yang berjuang melawan makhluk-makhluk dari dimensi asing.
Namun bagi Tiago, dunia pasca-Helios justru terasa jujur. Karena kini, setiap orang menunjukkan sisi binatangnya. Manusia bukan lagi manusia. Yang lemah dimangsa, yang kuat bertahan.
Ia tinggal di reruntuhan pabrik tua, bertahan hidup dengan mencuri amunisi dan makanan dari markas militer yang hancur.
Kadang ia membantu warga melarikan diri, kadang ia menembak orang yang mencoba mencurinya. Tiago tidak peduli benar-salah.
Ia hanya tahu, moralitas tak ada gunanya di dunia yang sudah terbakar.
Hingga suatu malam, ia mendengar kabar dari penyintas lain. Bahwa Senhor da Costa, bos kartel yang pernah menghancurkan hidupnya, tewas di pegunungan Andes. Tubuhnya tercabik oleh sesuatu yang disebut orang-orang sebagai homem-lobo, manusia serigala yang muncul dari kabut.
Tiago terdiam lama.
Tak ada sorak. Tak ada doa.
Hanya satu kalimat keluar dari bibirnya pelan,
“Adil akhirnya datang… dengan cara yang kotor.”
Ia menatap langit malam yang merah seperti bara.
Untuk pertama kalinya, dadanya terasa ringan.
Tak ada lagi beban masa lalu.
Tak ada lagi alasan untuk bersembunyi.
Keesokan paginya, ia mendatangi pos keamanan yang masih tersisa di pinggiran Rio.
Di depan gerbang, spanduk bertuliskan “POLÍCIA DE ERRADICAÇÃO MITOLÓGICA” berkibar di antara sisa asap. Sebuah lembaga baru, dan dibentuk oleh pemerintah darurat Brasil untuk melawan makhluk-makhluk yang keluar dari tabir Helios.
Petugas di sana memandang Tiago dari ujung kaki hingga kepala.
“Tuan mau apa? Kami tidak terima tentara bayaran.”
Tiago tersenyum tipis, memperlihatkan bekas luka di rahangnya.
“Kalau begitu, terima saja pengkhianat.”
Ia melempar kartu identitas lamanya ke meja, bertuliskan nama: Tiago Moreira.
Petugas itu terdiam sejenak, lalu membaca catatan kriminalnya.
“Kurir kartel, pembunuhan tingkat dua, kabur dari Brasil…”
Tiago memotong dingin, “Dan pemburu makhluk mitologi paling berdarah di distrik selatan.”
Ia meletakkan kepala goblin di atas meja.
Masih meneteskan darah.
Hening.
Petugas itu menatapnya lama, lalu menekan tombol merah di komunikator.
“Buka gerbang. Kita dapat satu sukarelawan gila lagi.”
Dan begitulah, Ghost, mantan kriminal yang kehilangan segalanya, kini mengenakan seragam polisi pemberantasan mitos, berjuang bukan untuk menyelamatkan dunia…
melainkan untuk membersihkan namanya sendiri.