Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lebih Horor Dari Hantu
...Bab 34...
...LEBIH HOROR DARI HANTU...
Malam telah sunyi.
Hanya suara jangkrik dan kipas angin tua di pojok lorong yang menemani langkah Arabella yang baru bangun dari tidur malamnya yang terlalu cepat. Dia bangkit perlahan, duduk sejenak di tepi ranjang, mengedarkan pandangannya ke arah kanan dan kiri. Dina, Elis, dan Sari sudah tenggelam dalam mimpi masing-masing, napas mereka teratur dan damai.
Dengan gerakan malas, Arabella mengikat rambutnya, yang kini berwarna cokelat kemerahan karena eksperimen iseng saat libur. Setelah itu, dia menyeret kakinya menuju kamar mandi, membasuh wajah, dan berdiri termenung di depan cermin.
"Ckk... ini pasti gara-gara tidur masih sore nih," gumamnya sambil memicingkan mata.
Setelah berkali-kali memutar posisi di kasur dan tetap tidak bisa tidur, akhirnya Arabella mengambil keputusan paling penting di tengah malam yaitu membuat mie instan.
Langkahnya mengendap-endap melewati lorong asrama menuju dapur pesantren. Sesekali dia berhenti mendadak saat mendengar suara mencurigakan, padahal itu cuma suara daun jatuh atau angin menyentuh jendela. Begitu tiba di dapur, Arabella membuka lemari penyimpanan dengan semangat dan matanya seketika berbinar ketika menemukan satu bungkus mie instan favoritnya terselip di pojok.
"Yess... mie rasa dendam masa lalu," bisiknya absurd.
Dia mulai memanaskan air, menyiapkan mangkuk, dan mulai bersenandung pelan. Api kompor kecil menyala, menyorot wajah Arabella yang terlihat damai dan penuh semangat hidup, karena mie. Tak lama kemudian, aroma mie rebus mulai memenuhi dapur. Saat uap dari rebusan mie mulai menari-nari di udara, angin dingin mendadak menyapu tengkuk Arabella, membuat bulu kuduknya berdiri seketika.
Dia diam. Tak bergerak. Matanya melirik ke kanan... lalu ke kiri.
Kriiit...
Suara kayu dapur yang mengerang pelan karena angin malam, cukup membuat jantung Arabella berdebar tak santai.
"Ehhh... ini kenapa sih dingin banget? Hari apa sih sekarang?" gumamnya sambil mengusap tengkuk yang merinding.
Matanya menyipit curiga ke arah pojok dapur yang agak gelap.
"Jangan-jangan...," bisiknya sendiri dengan wajah horor, "ada hantu lapar yang pengen nebeng makan mie gue lagi..."
Dia melotot ke arah rebusan mie-nya.
"Maaf ya, setan. Mie ini nggak halal buat dunia lain," katanya dengan suara pelan tapi tegas.
Lalu dia buru-buru mematikan kompor, menuang mie ke mangkuk, dan duduk membelakangi jendela, karena kalau hantunya muncul dari belakang, minimal dia nggak lihat mukanya dulu. Namun tetap saja, sambil menyeruput kuah mie panas, Arabella sesekali celingukan dengan ekspresi absurd penuh kecurigaan.
"Kalau mau mie, antre ya... jangan ngegas," gerutunya sendiri.
Dan begitulah... malam Arabella berlanjut, setengah penuh rasa lapar, setengah lagi penuh imajinasi horror yang khas ala dirinya. Baru saja sendok mie itu hampir mendarat di mulutnya, telinga Arabella menangkap suara pelan, nyaris seperti bisikan.
"Hmm?" gumamnya pelan. Tangannya yang menggenggam garpu mie pun membeku di udara.
Matanya menyipit, kepala sedikit menoleh mengikuti arah suara.
"Kok kayak... orang yang lagi ngobrol sih?" bisiknya dengan kening berkerut.
Perlahan, dia berdiri. Gerakannya pelan seperti kucing nyolong ikan di dapur. Tak lama...
SSrrret!
Dua bayangan melintas di ujung koridor dapur, berbelok menuju arah belakang gudang. Sementara suara bisik-bisik itu masih terdengar lirih. Arabella langsung menaruh mie-nya.
"Waduh... jangan-jangan maling... atau... anak indigo mau ngobrol sama yang gaib..." pikirnya setengah horor, setengah penasaran.
Dengan gaya absurdnya, Arabella mulai mengendap-ngendap. Langkahnya pelan dan hati-hati, bahkan sesekali menunduk berlebihan seolah sedang syuting film action.
"Udah kayak maling ngintai ayam orang sih ini," gumamnya sambil nyengir sendiri.
Saat bayangan itu berhenti di sudut gelap belakang gudang, Arabella segera bersembunyi di balik pohon besar yang cukup rimbun. Napasnya ditahan. Matanya tajam memperhatikan. Dua sosok itu berdiri saling membelakangi cahaya, samar-samar... namun cukup jelas bahwa mereka sedang berbicara serius dan pelan. Arabella merunduk lebih dalam, penasaran setengah mati.
"Siapa sih mereka? Ngapain juga ngobrol malem-malem di tempat gelap kayak gini? Hah? Jangan-jangan..."
Belum sempat Arabella melanjutkan desah horornya, matanya membelalak. Kedua bayangan itu... saling memanggut.
"I... Itu Apaan tuh...?" bisiknya nyaris tanpa suara.
Dengan langkah ringan seperti kucing di atas genteng, Arabella mendekat, dan seketika itu juga, matanya membulat tajam. Dia mengenal kedua sosok itu! Salah satunya adalah seorang ustad. Sosok yang seharusnya menjadi panutan. Tapi yang dia lihat sekarang... Bukan maling. Bukan hantu. Tapi lebih horor dari itu. Mereka siap melanjutkan ke adegan suami istri, Arabella hampir tersedak napas sendiri. Tangannya yang sejak awal menggenggam ponsel karena takut ada maling, kini bergetar. Tapi refleks jurnalistik dan keberaniannya membuat jari-jarinya cepat bergerak.
Klik. Rekam.
"Sorry... ini harus," gumamnya. "Kalo cuma diceritain, nggak bakalan ada yang percaya. Tapi kalo gue rekam... ini bisa jadi bukti."
Meski tubuhnya gemetar dan napasnya terasa berat, Arabella tahu dia harus bertindak. Dia tidak bisa diam saja. Tidak untuk ini.
Dan ketika dia rasa cukup, tanpa suara, Arabella berbalik dan lari. Menyusuri koridor gelap pesantren dengan langkah panik, meninggalkan suara tawa samar dari balik gudang. Hatinya kacau. Tapi tekadnya bulat.
"Ini harus dihentikan."
Arabella terus berlari menembus gelapnya lorong pesantren, napasnya tercekat, pikirannya kacau. Jantungnya berdentam keras seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Bayangan kejadian tadi masih jelas di pelupuk mata, terlalu jelas hingga membuat perutnya mual. Dan saat sudut dapur sudah tampak, BRUK!
"Aaaaakkhh!!"
Tubuh Arabella mental ke belakang, terhuyung. Seseorang baru saja dia tabrak keras.
"Astaghfirullah... Ara?" suara berat itu membuat Arabella sontak terdiam. Matanya menatap tajam ke arah sosok tinggi di depannya.
ya... sosok tinggi itu adalah Ustad Izzan.
Tatapan dingin pria itu kini berubah menjadi waspada. Alisnya mengernyit, memandang Arabella yang masih terengah-engah, matanya penuh kepanikan.
"Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya tetap tenang tapi ada nada curiga di baliknya. "Kenapa lari malam-malam begini?"
Arabella membuka mulut, ingin menjawab... tapi yang keluar hanya suara napas berat.
"Saya... saya liat... itu-- mereka--"
Ustad Izzan semakin mendekat. "Siapa?"
Arabella menelan ludah, masih gemetar. Tangannya menggenggam erat ponsel dalam saku celana training-nya.
"Ustad, Saya... saya nggak tau harus ngomong ke siapa. Tapi saya lihat sesuatu yang nggak seharusnya terjadi di tempat ini," ucap Arabella akhirnya, lirih. Suaranya nyaris hilang tertelan malam.
Ustad Izzan memicingkan mata. Ada sesuatu dalam nada suara Arabella yang membuatnya tak main-main. Dia melangkah lebih dekat, menunduk sedikit agar sejajar.
"Apa yang kamu lihat?" tanyanya perlahan.
Arabella menarik napas panjang. "Hal yang... nggak akan Ustad percaya kalau saya cuma cerita."
Mata mereka saling bertaut sesaat. Dan di sana, di balik kekacauan di kepala Arabella, dia menemukan secuil rasa aman dalam tatapan Ustad Izzan.
"Kalau saya tunjukin buktinya... Ustadz janji nggak akan nyalahin saya duluan kan?"
Izza mengangguk pelan. "saya janji. Tapi kamu harus tenang dulu."
Arabella pun menunduk, memejamkan mata sejenak, lalu mengangguk. Di dalam genggamannya, ponsel masih merekam. Dan dia tahu, kalau malam itu... akan menjadi awal dari badai besar di pesantren.
Tubuh Arabella masih bergetar. Jemarinya menggenggam erat ujung baju, matanya panik melirik ke sekitar, seolah takut sosok yang dia lihat tadi akan tiba-tiba muncul dari bayang-bayang gelap.
"Ustad... saya... saya pengen ketemu Uma," ucapnya lirih.
Izzan mengangguk cepat. Tanpa banyak tanya, dia langsung menggiring Arabella menuju rumahnya yang berada di sisi pesantren. Langkah Arabella gontai, bahkan beberapa kali harus ditopang karena lututnya terasa lemas.
Sesampainya di beranda, lampu teras yang remang menyambut mereka. Ustad Izzan membuka pintu pelan, dan saat itu juga, terdengar suara langkah dari dalam. Rupanya Uma Salma baru saja bangun untuk sholat tahajud.
Begitu melihat sosok Arabella dengan mata sembab dan tubuh yang gemetar, Uma langsung menghampiri.
"Astaghfirullah... Bella... kenapa ini, Nak?!"
Arabella langsung memeluk Uma erat, tak tahan lagi. Tangis yang tadi dia tahan, pecah di pelukan hangat itu. Uma mengelus rambutnya yang tertutup hijab dengan lembut meski wajahnya memerah, lalu melotot ke arah Izzan yang berdiri gugup di belakang.
"Izzan! Apa yang kamu lakukan sampai Bella jadi kayak begini?!"
Hah??
Izzan melongo. "Uma, sumpah bukan saya... demi Allah, bukan saya..."
"Terus kenapa Bella bisa nangis di pelukan uma tengah malam begini, ha?!"
Izzan membuka mulutnya, hendak menjelaskan, tapi sebelum sempat menjawab, pintu kamar terbuka. Kiyai Hasyim keluar dengan pakaian tidur dan sorban yang sudah melorot, mengucek matanya.
"Ada apa ini ribut malam-malam?"
Tak lama, dari kamar satunya, Kaisar muncul, masih dengan kaos lengan panjang dan celana training, rambutnya acak-acakan.
"Ada apa? Kenapa? Siapa yang... Loh... Raiya?" Kaisar sontak berjalan cepat saat melihat wajah Arabella yang sembab.
"Kamu kenapa, Rai?"
Tapi Arabella masih terisak di pelukan Uma. Hanya suara pelan terputus-putus yang keluar. "Saya... saya liat sesuatu, Uma... saya takut... saya nggak bisa diem... tapi saya juga takut kalau saya salah ngomong..."
Uma Salma dan Kiyai Hasyim saling pandang. Wajah mereka berubah serius.
"Izzan, kamu yang bawa dia ke sini. Jelaskan apa yang terjadi."
Izzan menatap Arabella "Biarkan dia tenang dulu, Abi"
Kaisar menatap mereka satu-satu, perlahan mendekat. "Apa ada yang harus saya tahu?"
Izzan mengangguk.
Dan malam itu, di ruang tamu rumah Kiyai Hasyim, semua ketegangan itu mulai menggumpal. Karena apa yang akan Arabella ungkapkan... bisa jadi lebih dari sekadar pelanggaran.
Arabella meneguk air pelan-pelan dari gelas yang disodorkan Kiyai Hasyim. Getar di tangannya masih terasa, tapi wajahnya mulai sedikit tenang. Napasnya dia tarik dalam-dalam, lalu dikeluarkan perlahan.
"Sekarang, coba kamu cerita, Nak..." ujar Kiyai Hasyim dengan suara lembut namun tegas.
Arabella menunduk, menatap lantai sebentar sebelum mengangkat wajahnya.
"Tadi... saya kan bangun tengah malem nggak bisa tidur. Jadi saya ke dapur... buat masak mie," ucap Arabella dengan suara lirih. "Tapi... Tiba-tiba saya ngerasa merinding sendiri. Terus saya denger suara orang ngobrol pelan banget, kaya bisik-bisik. saya pikir itu maling..."
Kaisar menyipitkan mata. "Terus kamu samperin?"
Arabella mengangguk.
"Saya ngendap-ngendap ke belakang gudang. Awalnya saya mikir lucu aja, kaya detektif. Tapi... pas saya ngeliat siapa mereka dan apa yang mereka lakuin..." Suaranya tercekat.
"Saya syok, Kiyai. Saya bener-bener nggak nyangka..."
Dia merogoh kantong sweaternya dan mengeluarkan ponsel. "Saya sempet rekam. Awalnya buat bukti kalo mereka itu maling. Tapi malah... malah..."
Dia menyerahkan ponsel itu pada Kiyai Hasyim. Izzan dan Kiyai Hasyim pun langsung melihat layar bersama. Ekspresi keduanya berubah serius, bahkan wajah Izzan menegang. Kiyai terdiam lama. Uma Salma dan Kaisar yang makin penasaran, akhirnya ikut melihat.
Begitu video itu diputar, ketegangan menggelayut pekat. Uma Salma langsung menutup mulutnya sendiri. Kaisar refleks mundur satu langkah.
"Ya Allah..." bisik Uma Salma pelan, wajahnya memerah antara marah dan muak.
Setelah video itu selesai, Arabella kembali menunduk. Tangannya mengepal di atas lututnya.
"Bella..." Uma memanggil lembut. "Tapi kenapa kamu yang malah nangis begini, Nak?"
Arabella mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca.
"Saya takut, Uma... takut dosa soalnya udah rekam mereka, dan denger suara yang nggak seharusnya saya denger, Tapi kalo saya nggak rekam, nggak ada bukti. Saya juga takut... takut mereka tau kalo saya liat dan rekam mereka... nanti saya difitnah sama mereka"
Uma langsung memeluk Arabella erat. "Kamu nggak salah, Nak... justru kamu berani. Kamu nyelametin banyak orang dari dosa yang lebih besar..."
Kiyai Hasyim meletakkan ponsel di atas meja dengan napas berat.
"Besok pagi kita akan selesaikan ini. Tapi malam ini... jaga dulu video ini. Jangan kasih tahu siapa pun... biar kami yang urus."
Izzan menatap Arabella dalam diam, kemudian berkata pelan, "Kamu nggak sendiri, Ara. Kali ini enggak."
Arabella mengangguk kecil... Walau hatinya masih berguncang, tapi setidaknya... Kini dia tak merasa sendirian lagi. Kiyai Hasyim menatap Adara dengan penuh sayang lalu mengangguk pada Uma Salma.
"Bawa dia ke kamar tamu, Uma. Biar istirahat dulu. Temani dia juga... dia butuh ditemani malam ini," ucapnya tenang namun mantap.
Uma Salma langsung menggandeng tangan Arabella dengan lembut. "Ayo, Nak... istirahat, ya. Biar Uma di sini nemenin kamu..." gumamnya menenangkan, membawa Arabella menuju kamar tamu dengan pelukan yang terus menenangkan tubuh mungil yang masih bergetar itu.
Begitu pintu kamar tamu tertutup, suasana di ruang tengah berubah tegang. Izzan bersandar di sandaran sofa, wajahnya tertunduk, tangan mengepal. Kaisar duduk di sebelahnya, menatap ponsel yang diletakkan di meja dengan tatapan kosong. Kiyai Hasyim berdiri di depan mereka, memijat pelipis sambil menghela napas berat.
"Satunya ustad... sahabat kalian berdua..." ujar Kiyai Hasyim dengan suara rendah. "Satunya lagi, santri teladan... yang sering jadi panutan..."
"Dan mereka..." suara Izzan serak, "...melakukan hal itu di lingkungan pesantren..." Dia menggertakkan gigi, rahangnya menegang.
"Tempat yang seharusnya suci, Abi."
Kaisar menggeleng. "Saya nggak nyangka. Demi Allah, Saya nggak nyangka..."
Sunyi sejenak.
Kemudian Izzan bersuara lagi, kali ini dengan nada mantap, "Kalau kita biarkan, dosa mereka akan terus bertambah. Kalau ini dibiarkan, lingkungan ini bisa rusak."
Dia menatap Kiyai Hasyim dengan penuh kesungguhan.
"Sebelum nama pesantren ini tercemar... kita harus panggil orang tua mereka. Orang tua santri putri itu... dan orang tua ustad itu. Kita beri waktu bicara, konfirmasi. Kalau mereka tidak menyangkal, dan mereka sadar... kita nikahkan mereka."
Kaisar melirik Izzan, terkejut.
"Menikahkan?" ulangnya.
Izzan mengangguk.
"Ya. Setidaknya dosa mereka tidak terus berlanjut. Dan kita bisa menjaga nama pesantren. Tapi... jika mereka menolak, atau menyalahkan orang lain, maka biarkan Kiyai ambil keputusan tegas."
Kiyai Hasyim menatap dua anak muda itu bergantian, mata tuanya menyimpan duka dan berat tanggung jawab.
"Baik... besok pagi, kita panggil mereka," ucap Kiyai perlahan. "Tapi malam ini, jaga rahasia ini baik-baik. Jangan satu santri pun tahu. Kita belum tahu bagaimana mereka akan bertindak kalau tahu mereka dipergoki."
Mereka bertiga saling berpandangan. Satu keputusan besar... baru saja dibuat.