Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
"Oh, jadi Mas Satria itu lulusan S2 Jepang?" Kata Tania sambil menyeruput kopinya.
Satria mengangguk tanpa suara. Mereka duduk di sebuah meja sudut di restoran yang ramai, tetapi meja mereka seolah memiliki gelembung ketenangan sendiri. Lampu gantung dengan cahaya hangat menyorot permukaan kayu meja yang rapi, sementara aroma kopi panggang dan roti hangat menyelimuti ruang itu.
Satria memiliki sepiring avocado toast dengan telur setengah matang yang tampak sempurna, Surya memilih pancake klasik yang ditaburi buah-buahan segar dan sirup maple, sementara Tania duduk dengan omelet sayuran yang kaya warna, ditata rapi dengan roti gandum panggang di sampingnya dan secangkir kopi yang lagi ia seruput dengan tegukan kecil.
“Kalau kita ingin proyek ini berjalan sesuai target, ada beberapa angka yang harus diubah sekarang,” Ucap Surya sambil menatap Satria, matanya tajam namun terdengar tegas.
Tania melirik Surya dengan mata membulat, alisnya sedikit naik. “Ayah, kenapa harus ngobrolin bisnis sekarang, si?!" Protesnya. "Kita kan lagi di luar, bukan di kantor!"
"Justru di luar, sayang. Suasana kerja menjadi lebih nyaman. Malah kadang ide terbaik muncul saat kita nggak terlalu tegang, bukan begitu Nak Satria?"
"Betul, Pak." Angguk Satria ragu. "Ma-maksud saya, Om."
Surya tertawa kecil, suara hangatnya menembus ketegangan di meja. Sedangkan, Tania menatap mereka, masih setengah kesal tapi mulai tersenyum kecil.
"Bicara soal bisnis, kenapa kamu lebih memilih jejak Ayahmu?" Tanya Surya menatap lurus Satria.
Satria menelan ludah, jari-jarinya menepuk ringan permukaan meja. Ia terdiam beberapa detik, menatap piring avocado toast-nya yang nikmat tapi masih sedikit tersentuh. "Saya hanya tidak ingin merasakan lagi hidup susah," Jawabnya penuh kejujuran.
Sontak, Tania dan Surya saling menatap, mata mereka bertemu sekejap sebelum masing-masing menunduk sedikit, seolah menimbang kata-kata yang belum terucap. Kemudian, keduanya terdiam, memusatkan perhatian pada Satria dengan wajah serius, penuh rasa penasaran.
Satria merasakan tatapan itu, sedikit tersentak. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, tapi ia berusaha tetap tenang. Setiap gerakan, setiap bisikan napasnya seolah menjadi sorotan di mata kedua orang yang ia hormati itu. "Ayah saya pernah bilang, uang adalah segalanya. Tapi tidak segalanya kita membutuhkan uang, contohnya kebahagiaan dan cinta." Jelasnya. "Tapi jika kita tidak memiliki uang, setidaknya kita punya ilmu bisnis tentang bagaimana caranya kita mendapatkan uang. Hidup ini realistis, apalagi di jaman sekarang."
Mata Satria melirik Tania, dan seketika ia menyadari sesuatu yang berbeda. Wajah wanita itu sedari tadi seolah mengunci dirinya, mata yang biasanya hangat kini menatapnya dengan intensitas yang tak biasa. Ada sesuatu yang tersimpan, sesuatu yang dipendam dan tak diungkapkan, membuat Satria merasa sedikit tersentak dan canggung.
“Betul, Nak, Om setuju,” Ucap Surya akhirnya, suaranya tegas namun hangat. “Ilmu adalah modal terbesar, bahkan sebelum uang itu ada. Aku senang melihat kamu berpikir realistis … dan punya kepala yang bisa menilai peluang,”
Tania yang duduk di seberang, menahan senyum, merasa lega melihat Surya tidak menolak argumen Satria.
“Kalau kamu bisa memanfaatkan ilmu itu dengan bijak, Nak, aku yakin jalanmu akan jelas meski modal awal tak banyak,” Tambah Surya, nada suaranya serius tapi memberi semangat sekaligus peringatan halus.
"Terima kasih, Om." Angguk STania sambil menyeruput minumannya.
"Hmmm-mmm!" Deham Tania. "Terus, kalau tipikal pasangan masa depan Mas Satria seperti apa?"
Satria terkejut. Ia tersedak sebentar dengan uap kopi yang baru saja ia hirup, dadanya terasa kencang seketika. Kata-kata itu datang begitu tiba-tiba, tak terduga, membuat pikirannya berputar sejenak.
Tania terkejut melihat reaksi Satria. Matanya terbuka lebar seketika, dan tubuhnya sedikit menegang. Ia menunduk sebentar, merasakan sedikit rasa bersalah menyusup ke dadanya.
"Tania, pertanyaan apa itu?!" Protes Surya. "Lihat jadinya? Nak Satria jadi begini,"
"Ma-maaf, Ayah."
"Saya tidak apa-apa, Om." Ungkap Satria kemudian. "Saya hanya sedikit terkejut saja."
"Aku hanya ingin tahu aja!" Celetuk Tania mulai melahap makanannya.
Surya hanya menggeleng bijak. "Nak Satria, tolong maafkan anak Om."
Satria melemparkan senyum. "Tidak masalah Om. Selama saya bisa menjawabnya."
"Kalau gitu, jawab dong sekarang!" Celetuk Tania penasaran.
Geleng Surya, "Tania,"
"Ayah, Mas Satria aja gak keberatan kok!" Nada Tania sedikit merengek, manja.
Satria hanya tersenyum tipis, menatap Tania dengan mata yang lembut tapi tetap waspada. Ia menggeleng pelan, seolah berkata bahwa meski ia tak keberatan, tetap ada batas yang harus dijaga. Ada hati yang harus di jaga. Amira.
Satria menelan saliva. Kenapa harus Amira lagi yang muncul di kepalanya? Jelas-jelas wanita itu sudah mengkhianati dirinya, melukai dirinya, mematahkan semangatnya, bahkan melukai dirinya dengan segudang harapan yang ia bawa pulang.
Amira. Hanya wanita sederhana yang dulu membuat segala sesuatunya tampak berarti. Senyumnya mampu menenangkan badai, tatapannya selalu jujur—atau setidaknya, Satria dulu percaya begitu. Kini, setiap kali bayangan itu datang, dada Satria terasa sesak. Ia berusaha menghapus wajah itu dari ingatan, tapi semakin ia menolak, semakin kuat sosok Amira menempel di pikirannya.
Satria menarik napas panjang, mencoba menegakkan tubuhnya, seolah bisa menahan luka yang belum benar-benar sembuh.
"Ma-Mas Satria kenapa?" Tanya Tania menatap wajah pucat Satria.
Satria menggeleng, lalu meneguk minumnya sampai habis. "Bagaimana kalau kita bicara perihal bisnis saja?" Katanya, menatap Tania. Katanya kemudian melirik Surya. "Bukankah itu tujuan kita untuk bertemu hari ini, Om?"
"Om setuju." Angguk Surya. Di saat itu juga, ia mulai menginformasikan beberapa hal terkait perusahaannya untuk bekerjasama dengan perusahaan Satria, mulai dari strategi bahkan keuntungan yang mereka dapatkan besama. Satria menganggukkan kepalanya, matanya memandang pria dihadapannya dengan serius, mencoba menepis bayang Amira dengan tanpa memperdulikan wajah Tania, wanita cantik dan anggun dihadapannya itu seolah menelan rasa kesal dan kecewa.
****
yah