Di Kekaisaran Siu, Pangeran Siu Wang Ji berpura-pura bodoh demi membongkar kejahatan selir ayahnya.
Di Kekaisaran Bai, Putri Bai Xue Yi yang lemah berubah jadi sosok barbar setelah arwah agen modern masuk ke tubuhnya.
Takdir mempertemukan keduanya—pangeran licik yang pura-pura polos dan putri “baru” yang cerdas serta berani.
Dari pertemuan kocak lahirlah persahabatan, cinta, dan keberanian untuk melawan intrik istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Fajar baru menyelimuti Istana Bai dengan kabut lembut yang perlahan menipis. Di pelataran timur, puluhan kuda berdiri tegak, sementara bendera berlambang naga perak dari Kekaisaran Siu berkibar anggun di udara. Hari itu, udara dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan pertanda musim semi baru saja datang.
Di antara hiruk-pikuk persiapan, Xue Yi berdiri di depan gerbang utama. Ia mengenakan jubah panjang berwarna putih kebiruan, lembut seperti awan pagi. Rambut hitamnya digelung tinggi, dihiasi tusuk giok berbentuk bunga lotus hadiah pernikahan dari Kaisar Siu sendiri. Wajahnya tenang, tapi matanya berkilat lembut menahan perasaan yang bergolak di dada.
Di sampingnya, Wang Ji berdiri gagah dalam baju dinas Pangeran Timur. Tatapan matanya tertuju pada sang istri dengan senyum kecil yang tak bisa disembunyikan. “Kau siap?” tanyanya pelan.
Xue Yi mengangguk. “Lebih dari siap. Hanya saja…” Ia menatap ke arah halaman dalam. “Aku merasa akan merindukan tempat ini.”
Wang Ji menatapnya dengan lembut. “Tempat bukanlah rumah, Yi’er. Orang-orang yang mencintaimu lah yang membuatnya berarti. Dan sekarang, rumahmu ada di Siu — bersamaku.”
Ucapan itu sederhana, tapi suara Wang Ji membawa ketenangan. Xue Yi menarik napas dalam, lalu tersenyum lembut. “Kalau begitu, mari pulang.”
Dari tangga istana, Kaisar Bai dan Permaisuri Yi Zhu melangkah turun dengan lambat. Angin pagi menyingkap ujung jubahnya yang panjang. “Wang Ji,” ujarnya dengan suara dalam, “kau kini bagian dari keluarga kami sebagaimana Yi’er kini bagian dari keluargamu. Bawalah dia dengan hormat dan lindungi dia sebagaimana aku menjaganya sejak kecil.”
Wang Ji menunduk hormat, nada suaranya mantap, “Ayahanda Bai, ibunda selama darah masih mengalir di tubuh hamba, tidak akan ada satu luka pun yang menyentuh Putri Xue Yi. Ia bukan hanya permaisuri masa depan Kekaisaran Siu, ia juga separuh jiwa hamba.”
Kata-kata itu membuat dada Xue Yi bergetar. Ia menunduk, menahan air mata. Kaisar Bai tersenyum samar. “Bagus. Maka berangkatlah dengan berkah dari langit.”
Ia mengangkat tangan, dan lonceng besar di pelataran pun berdentang tanda bahwa perjalanan suci telah dimulai.
Sebelum mereka melangkah naik ke kereta kaisar, Bai Xiang datang dengan langkah cepat. Wajahnya terlihat tegar, meski jelas ada berat yang ia sembunyikan di balik tatapan lembutnya.
“Yi’er,” panggilnya pelan. “Sebelum kau pergi…”
Xue Yi menoleh. “Gege.”
Bai Xiang berhenti di hadapannya, lalu mengeluarkan sebuah gulungan kecil dari dalam lengan bajunya. “Ini surat untuk Kaisar Siu. Aku meminta agar beliau menjaga kedamaian antar dua kerajaan kita. Tapi, yang lebih penting… aku menitipkan dirimu.”
Ia menatap Wang Ji dalam. “Jika suatu hari dia menangis karena istana, jangan biarkan air matanya jatuh sia-sia.”
Wang Ji menunduk hormat, suaranya dalam namun penuh hormat. “Aku berjanji, Pangeran Bai. Selama aku hidup, tak akan ada yang bisa menyentuh satu helai rambutnya tanpa izinku.”
Keduanya saling bertatap sejenak. Tak ada lagi permusuhan atau gengsi politik, hanya rasa saling menghargai sebagai saudara yang kini diikat oleh takdir.
“Gege…” bisik Xue Yi lirih. Ia mendekat, lalu memeluk Bai Xiang. “Terima kasih untuk segalanya. Untuk perlindungan, dan juga untuk masa kecil yang penuh kenangan.”
Bai Xiang membalas pelukannya, menepuk bahunya perlahan. “Kau bukan hanya adikku, Yi’er. Kau bagian dari jiwaku. Jika suatu hari istana Siu membuatmu lelah, cukup kirim pesan. Aku akan datang.”
Senyum Xue Yi penuh air mata. Ia melepaskan pelukan itu perlahan, lalu menatap kakaknya dan Mei Lin yang berdiri tak jauh di belakangnya. Wajah Mei Lin tampak lembut, dengan gelang giok putih di pergelangan tangan yang berkilau di bawah sinar matahari.
Xue Yi tersenyum hangat. “Jaga Gege baik-baik, Jie jie Mei Lin.”
Mei Lin menunduk dalam-dalam. “Saya berjanji, Putri.”
Setelah perpisahan yang penuh haru itu, Xue Yi dan Wang Ji naik ke kereta. Luo dan Jian menunggang kuda di sisi kanan kiri kereta, sementara Mei dan Li Chung berada di barisan belakang, menjaga keamanan. Dayang Lan Er duduk di dalam bersama Xue Yi, membawa kotak kecil berisi surat, bunga kering, dan beberapa benda kesayangan Putri dari istana Bai.
Ketika roda kereta mulai berputar, lonceng gerbang berbunyi pelan, menandakan keberangkatan resmi rombongan. Suara rakyat yang berbaris di sepanjang jalan bergema:
“Selamat jalan, Putri Xue Yi!”
“Semoga perjalanan menuju Siu membawa damai!”
Xue Yi membuka tirai sedikit, menatap wajah-wajah itu. Senyum lembutnya merekah, tapi dalam dadanya, rasa haru begitu kuat. Ia menatap kembali ke arah istana Bai yang perlahan menghilang di balik kabut.
Satu helai bunga magnolia terbang tertiup angin, mendarat di pangkuannya. “Lihat, Lan Er,” katanya sambil tersenyum. “Bunga itu ikut mengantar.”
Lan Er tersenyum manis. “Mungkin itu tanda bahwa Kerajaan Bai memberimu restu, Putri.”
Hari pertama mereka menempuh lembah hijau dan sungai yang berliku. Angin musim semi berhembus lembut, membawa aroma bunga liar. Xue Yi duduk di sisi jendela, sesekali menulis di atas gulungan kertas.
“Apa yang kau tulis?” tanya Wang Ji dari seberang.
“Surat untuk Ibu dan ayah,” jawabnya tanpa menatap. “Aku ingin memberitahunya bahwa aku baik-baik saja, dan bahwa aku sudah melihat kebahagiaan di matamu.”
Wang Ji terdiam sesaat, lalu tertawa pelan. “Kau tahu, terkadang aku berpikir, kau lebih seperti seorang penyair daripada seorang putri.”
Xue Yi tersenyum. “Mungkin karena aku lebih suka mencatat perasaan daripada menampilkannya.”
“Kalau begitu, tuliskan satu baris tentang aku,” goda Wang Ji.
Xue Yi menatapnya dengan mata menyipit. “Satu baris saja?”
“Ya.”
Ia berpura-pura berpikir, lalu menulis pelan. ‘Dia adalah badai yang datang membawa ketenangan.’
Wang Ji terdiam sesaat, lalu tersenyum lembut. “Kau benar-benar berbahaya, Yi’er. Kata-katamu bisa membuat orang lupa dunia.”
Lan Er yang duduk di samping menunduk cepat-cepat, pura-pura sibuk dengan teh agar tidak ketahuan menahan tawa.
Bersambung
makanya, sebelum bertindak itu mikir² dulu dong