Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.
Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.
Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.
Ig: deemar38
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OT 34
Bagi pembaca yang mengikuti cerita ini, sebelumnya karakter Kevin selalu berbicara dalam bahasa Inggris. Namun, karena ada beberapa pembaca yang kesulitan memahami artinya, mulai sekarang dialog Kevin akan ditulis dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dimengerti semua pembaca. Semoga pembaca yang lebih menyukai versi aslinya dapat memahami alasan perubahan ini. Terima kasih sudah membaca dan tetap mengikuti ceritanya...😊
___________________
Kevin merasa tubuhnya sudah jauh lebih baik. Otot-ototnya tak lagi sepegal sebelumnya, dan pikirannya pun terasa lebih ringan. Rupanya, tidur panjang dan istirahat total benar-benar yang ia butuhkan selama ini.
Setelah makan dan meneguk obat yang disiapkan Anton, ia keluar ke teras belakang. Udara malam terasa sejuk, dengan semilir angin yang membawa aroma hujan dari kejauhan. Anton sudah duduk di sana, menatap langit gelap sambil menyeruput kopi.
“Gimana, udah mendingan?” tanya Anton tanpa menoleh.
Kevin menarik kursi lalu duduk di sebelahnya. “Iya, jauh lebih baik. Kepalaku udah nggak seberat kemarin.”
Anton mengangguk kecil, lalu menatap Kevin dengan serius.
“Besok kita mulai latihan lagi. Lo yakin sanggup?”
Kevin tersenyum tipis, menghembuskan napas pelan.
“Aku nggak mau kelihatan lemah, apalagi sekarang semua mata lagi ngarah ke kita. Lagipula... aku udah cukup istirahat.”
Anton tersenyum lega, tapi di balik itu masih tampak ada kekhawatiran. Ia tahu Kevin sedang menekan banyak hal dalam diam. Namun untuk malam ini, ia memilih tak menambah beban pikiran.
Mereka terdiam sejenak, menikmati sunyi malam yang hanya diisi suara serangga dan langkah waktu yang perlahan.
Kevin menatap layar ponselnya yang tergeletak di meja. Ia baru ingat kalau tadi sempat menutup teleponnya begitu saja saat Anton datang. Ada rasa nggak enak yang mengganjal di dadanya.
Dengan sedikit ragu, ia mengambil ponsel itu dan mulai mengetik pelan:
“Maaf ya, tadi aku matiin teleponnya tiba-tiba. Soalnya manajerku dateng mendadak. Aku nggak mau dia salah paham.”
Pesan itu dikirim. Kevin menatap layar beberapa detik, berharap Meira membaca dan nggak salah paham. Ada sedikit senyum muncul di wajahnya sebelum akhirnya ia meletakkan kembali ponsel itu dan bersandar ke kursi.
Kevin memperhatikan Anton yang dari tadi tak berhenti mengetik di depan laptop dan sesekali sibuk membalas pesan di ponselnya. Wajah manajernya tampak tegang, matanya lelah menatap layar.
“Banyak banget, ya, yang harus dijelasin?” tanya Kevin pelan sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Anton menghela napas. “Iya, semua pihak nanya. Aku harus pastiin semuanya tetap jalan.”
Kevin mengangguk, lalu menatap ke arah luar jendela yang menampilkan langit malam. “Ngomong-ngomong... berapa banyak kontrak yang udah kita tandatangani, Ton?”
Pertanyaan itu membuat Anton berhenti mengetik sejenak. “Kenapa nanya gitu?”
Kevin menarik napas pelan. “Soalnya... aku harus ngurus daftar ulang kuliahku. Pihak kampus udah ngirim pemberitahuan. Aku kan udah diterima di sana, dan kalau lewat dari minggu ini, status penerimaanku bisa hangus.”
Anton menoleh, menatap Kevin dengan pandangan sulit dijelaskan. Dalam hatinya ada perasaan kecewa yang menekan. Jadi benar... Kevin memang serius soal kuliah itu. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nanti fans bereaksi, atau bagaimana media bakal heboh kalau tahu Kevin ingin mundur dari SilverDawn.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Anton kembali menatap layar laptop, mencoba fokus, meski pikirannya mulai bercabang antara menjaga nama besar band dan mengatur ulang masa depan yang tiba-tiba berubah arah.
Sementara itu, Kevin diam saja, matanya menerawang kosong. Ia tahu keputusan itu nggak akan mudah diterima siapa pun... tapi kali ini, ia ingin memilih untuk dirinya sendiri.
Ponsel Kevin yang tergeletak di meja tiba-tiba bergetar pelan. Ia melirik layar, dan sudut bibirnya langsung terangkat begitu melihat nama Meira.
Nggak apa-apa kok. Tapi kamu lucu juga, ya. Baru denger suara manajermu aja langsung panik gitu, kayak anak kecil ketahuan main HP di jam pelajaran. Emang segitu seremnya, ya, si manajer sampai kamu buru-buru nutup telponku? 😜
Kevin spontan menahan tawa kecil. Ia membalas cepat dengan ekspresi geli, tapi wajahnya jelas sulit menyembunyikan senyum lebar yang muncul tanpa disadari.
Kevin mengetik cepat, jarinya menari di atas layar sambil tersenyum kecil.
Kevin: Mana ada anak main HP di jam pelajaran. Aku belum pernah liat itu 😆
Tak butuh waktu lama, balasan dari Meira muncul.
Meira: Iya lah, soalnya kamu sekolahnya bukan di sini 😜
Kevin terkekeh pelan.
Kevin: Berarti kamu pernah ngelakuin, dong?
Balasan datang lagi disertai emotikon tertawa ngakak.
Meira: Haha iyaaa 😆 ketahuan deh
Senyum Kevin semakin lebar. Ada sesuatu yang ringan dan hangat di dadanya setiap kali notifikasi dari Meira muncul.
Anton, yang duduk tak jauh darinya, sempat melirik ke arah Kevin. Ia memperhatikan tingkah anak muda itu sibuk mengetik sambil sesekali menahan tawa kecil. Alis Anton terangkat pelan.
“Sejak kapan kamu bisa senyum selebar itu, hm?” celetuknya setengah bercanda tapi nada suaranya menyiratkan rasa curiga.
Kevin langsung menutup layar ponselnya, berdeham pelan. “Nggak, Ton. Cuma... temen yang nanya kabar aja.”
Anton menatapnya sejenak, belum sepenuhnya yakin, tapi akhirnya mengangkat bahu dan kembali menatap layar laptopnya.
Sementara itu, Kevin masih menahan senyum di sudut bibirnya. Ponsel yang kini terkunci ia genggam erat, seolah ingin menyimpan percakapan itu baik-baik. Untuk sesaat, dunia luar yang penuh tekanan terasa menjauh.
_____
Meira akhirnya menutup ponselnya, senyum tipis masih bertahan di wajahnya. Percakapan singkat barusan terasa sederhana, tapi entah kenapa membuat dadanya hangat. Ia memeluk ponsel itu didalam dekapannya, memutar kembali setiap kata dari Kevin di pikirannya nada suaranya, cara bercandanya, bahkan jeda kecil di antara pesannya.
Semakin lama, hatinya berdebar tanpa alasan jelas. Dalam diam, ia mulai merasa bahwa Kevin mungkin juga menyukainya.
musti pake bodyguard berapa banyak 😅
dia pikir punya anak banyak ngak mumed 😅