Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengorbanan Komandan
Aroma lembap hujan dan debu aspal yang basah membelai hidung Amara saat ia membenahi seragam akademinya. Malam itu udara begitu berat, seakan langit menyimpan rahasia kelam yang akan segera terungkap. Sudah enam belas tahun sejak ia kehilangan kedua orang tuanya, dan kini, di tahun ketiganya sebagai polisi, Amara sering bertanya dalam hati apakah jalan yang ia pilih ini benar-benar mampu mengisi kehampaan yang ditinggalkan ayahnya, Komjen Pol Ardan Malik.
Ayahnya bukan hanya seorang polisi, melainkan teladan. Seorang pahlawan yang dihormati, sekaligus ayah yang selalu menjadi pelindung bagi keluarga kecil mereka. Meski sosok ayah yang bisa dibayangkan oleh Amara hanya dari foto yang diberikan pamannya David, dia yakin ayahnya adalah polisi hebat dan jujur. Demi kekaguman itu, dia berjanji melanjutkan perjuangan sang ayah.
Di sampingnya, Alfian berdiri tegak, memancarkan aura ketenangan yang selalu menjadi jangkar bagi Amara.
"Kau gugup, Amara?" tanya Alfian, suaranya pelan.
Amara menggeleng. "Tidak. Hanya... tegang."
Malam itu, mereka berdua, dan tim kecilnya, ditugaskan untuk misi yang sangat penting, membongkar sindikat perdagangan manusia yang telah lama menjadi target. Alfian, yang kini memimpin langsung operasi ini.
"Ingat, Amara," bisik Alfian, matanya menatap Amara dengan serius. "Tugas kita bukan hanya menangkap penjahat, tapi juga melindungi para korban. Mereka adalah prioritas utama."
Kalimat itu menenangkan Amara sekaligus memberikan keteguhan hatinya. Alfian selalu begitu. Ia bukan hanya sekadar instruktur, di mata Amara ia adalah pahlawan.
Misi mereka malam itu adalah penangkapan sindikat perdagangan manusia. Lokasi yang mereka tuju terlihat sepi, penuh karat dan bau besi tua. Saat mereka menyusup masuk, udara di dalamnya terasa pengap dan beraroma keringat. Dari balik tumpukan karung, Amara bisa melihat beberapa pria bersenjata berjaga di pintu, sementara di sudut lain, ada puluhan wanita dan anak - anak perempuan yang ketakutan, mata mereka kosong. Mereka kehilangan harapan. Jantung Amara berdegup kencang. Ia ingin segera menolong mereka, memeluk mereka, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Tunggu aba-aba dariku," Alfian mengingatkan, karena melihat sorot mata Amara yang penuh dengan emosi.
Amara mengangguk. Ia menggenggam erat pistolnya, mencoba menyalurkan kegelisahan melalui genggaman itu.
Sesuai rencana, mereka bergerak dalam senyap. Alfian memberi isyarat, dan tim kecil mereka menyerbu. Baku tembak pun tak terhindarkan. Suara letusan pistol memecah keheningan malam, disusul jeritan panik para tawanan. Alfian bergerak cekatan, tubuhnya seperti bayangan yang tak bisa disentuh peluru. Salah satu anggota sindikat mencoba melarikan diri, tetapi dengan gerakan cepat, Alfian berhasil melumpuhkannya.
Di tengah kekacauan, Amara melihat seorang gadis kecil berusia sekitar lima tahun bersembunyi di balik sebuah peti kayu. Gadis itu gemetaran, air matanya tak berhenti mengalir. Amara hendak menghampirinya, tetapi sebuah bayangan muncul dari sisi lain. Salah satu penjahat mencoba menembak gadis kecil itu untuk menciptakan kekacauan.
"Amara! Awas!" teriak Alfian, mendorong Amara menjauh.
Namun, tembakan itu sudah dilepaskan. Tembakan itu tidak mengenai gadis kecil itu maupun Amara, melainkan mengarah tepat ke arah Alfian. Tanpa ragu, Alfian menempatkan dirinya di antara tembakan dan Amara, melindungi gadis itu dan Amara dengan tubuhnya.
"Komandan!" teriak Amara panik saat ia melihat Alfian jatuh tersungkur. Seragam putihnya kini ternoda oleh darah.
Amara mengangkat pistolnya, membalas arah tembakan. Peluru tepat bersarang pada kepala penembak. Dia lantas berlari ke arah Alfian, tangannya menyentuh luka di bahu Alfian.
"Komandan...bertahanlah! " bisiknya perlahan.
Gadis kecil yang sedari tadi meringkuk ketakutan pun berlari mendekati Alfian, memegang erat - erat lengannya.
Alfian yang sudah memucat tersenyum samar, meski ia menahan sakit yang luar biasa. "Tidak apa-apa, Nak," bisiknya, suaranya serak. Ia menoleh ke arah Amara yang kini berlutut di sampingnya, air mata Amara membasahi pipinya.
Amara mengangguk, isaknya tak terbendung. Ia segera menekan luka Alfian, mengurangi rembesan darah pada bahu Alfian, sementara anggota tim yang lain mengamankan seluruh area. Tim medis darurat segera datang setelah area aman, mengangkat Alfian dengan tandu darurat. Amara tak melepaskan tangannya, ia ikut berlari menuju mobil evakuasi.
Jam demi jam terasa seperti tahun. Amara duduk di ruang tunggu rumah sakit, seragamnya berlumuran darah Alfian. Ia menolak membersihkannya, seolah noda itu adalah pengingat bahwa Alfian berkorban demi dirinya.
Ketika akhirnya dokter keluar dan mengatakan Alfian selamat, tubuh Amara hampir lunglai. Ia masuk ke ruang perawatan dengan langkah berat, lalu melihat Alfian berbaring pucat di ranjang. Ketika Alfian akhirnya siuman, Amara menghela napas lega.
"Komandan... kau menyelamatkanku," bisik Amara, suaranya bergetar.
Alfian tersenyum tipis. "Itu sudah menjadi tugasku, Amara. Aku janji pada ayahmu untuk selalu menjagamu. Dia akan sangat bangga padamu malam ini."
"Tapi kau terluka," kata Amara, matanya dipenuhi rasa bersalah.
"Luka ini tidak seberapa," jawab Alfian. "Lagipula, aku tidak bisa membiarkanmu terluka. Ayahmu… dia pernah menyelamatkanku dengan cara yang sama. Dia selalu mengatakan bahwa melindungi yang tidak bersalah adalah prioritas utama seorang polisi."
Amara menatapnya, hatinya dipenuhi kekaguman. Saat ini di mata Amara, Alfian bukan hanya komandan baginya, ia adalah cerminan dari ayahnya. Ia adalah perwujudan dari semua nilai-nilai yang ditanamkan ayahnya. Ia rela mengorbankan dirinya demi orang lain.
"Kau adalah pahlawanku," bisik Amara, suaranya tulus. "Seperti Ayah."
Satu minggu telah berlalu sejak kejadian itu. Amara duduk di meja makan, menatap makanan yang tak tersentuh. Di matanya, semua yang ia lihat hanyalah noda merah di seragam Alfian. Noda yang terasa seperti cap rasa bersalah yang tak bisa hilang.
"Kau harus makan, Nak," suara David, memecah keheningan. "Alfian sudah jauh lebih baik."
Amara hanya mengangguk, tanpa minat. "Aku seharusnya yang terkena tembakan itu."
David duduk di seberang Amara, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Jangan bicara begitu, Amara. Itu bukan kesalahanmu. Alfian melakukan apa yang harus ia lakukan."
"Tapi kenapa pa? Kenapa dia melakukan itu?" Amara menatap david, matanya berkaca-kaca. "Kenapa dia harus mengorbankan dirinya untukku? Dia berjanji akan menjaga ku, bukan terluka karena aku."
David menghela napas. "Dia melakukan itu karena dia adalah polisi, dan dia percaya pada apa yang Ayahmu ajarkan padanya. Melindungi yang tidak bersalah adalah prioritas utama."
sungguh polisi masa gthu sih....
semangat.....