Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 - MASKER ( Alya - POV )
Aku melompat kegirangan saat melihat nilai rapot yang menurutku memuaskan. Berakhir sudah pelajaran kelas 2 SMA-ku. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meraih nilai – nilai yang istimewa, tapi, masih kalah tipis dengan sahabat karibku, ARIMBI. Dia juara satu sementara aku menempati posisi juara dua. Aku puas bisa mengalahkan nilai – nilai Jean, musuh bebuyutanku sewaktu masih kelas I. Kini dia menempati peringkat 4 di bawah Albert. Yess... aku benar – benar puas.
Terlepas dari itu, saat melakukan pendaftaran ulang di ruang TU, aku sempat berpapasan dengan 2 anak baru di kelas 2. Bu Ima, guru TU mengatakan mereka adalah siswi pindahan dari kota Jember. Namanya, Cindy Permatasari dan Maribeth Tri Nugrahani. Aku sempat berkenalan dengan mereka, orang – orang yang menyenangkan, sayang ... pendiam. Bagi orang tertentu, sulit sekali berkomunikasi dengan mereka, cenderung membosankan ... tapi, bagiku yang cerewet dan selalu merasa penasaran dengan tipe orang – orang semacam itu.Tunggu saja setelah masuk sekolah nanti, para silencer / taciturn / pendiam itu pasti akan kujahili. Karena aku suka dengan mereka, tak banyak bicara tapi memiliki karakter unik tersendiri. Biasanya orang yang pendiam justru memiliki pribadi yang bijaksana dan dewasa.
Menurutku, sich daripada orang cerewet sepertiku juga asal – asalan. Pengakuan dosa, nich ... mungkin itu lebih baik daripada berlagak sok alim alias munafik.
Arimbi adalah salah satu teman pendiamku akan tetapi, mampu menarik perhatian hampir di seluruh lingkungan sekolah Juara I Olimpiade Bahasa Inggris, Sains dan Matematika tingkat nasional. Tak habis pikir bagaimana ia memiliki otak seencer kuah sup. Hanya orang – orang tertentu saja yang bisa bergaul dengannya, aku adalah salah satunya. Sekalipun aku bisa bersahabat karib dengannya, tapi, bagiku ia tetaplah sosok yang misterius. Arimbi sering berada di tempat – tempat yang jarang dijamah oleh siswa – siswi SMA 2 Keteng Banyuwangi karena dianggap angker ... IA SERINGKALI MENANGIS SENDIRIAN disana. Di saat bersamaan, tangisnya berubah menjadi tawa dan berbicara sendiri. Di hadapan anak – anak lain dia dianggap sebagai Freaky Girl / Gadis Aneh, tapi aku selalu membelanya mati – matian ... walau toh akhirnya aku terkena getahnya. Tapi, sumpah mati, aku sama sekali tidak keberatan ... karena akulah yang akhirnya bisa mendalami karakter unik Arimbi tersebut. Yang lain, hanya sebatas kenal dan mencoba mendekatinya karena ada udang di balik batu.
***
Ruang Perpustakaan, toilet wanita, UKS, Lab Bahasa, Lab Komputer, Lab IPA, ruang gamelan ... disitulah biasanya Arimbi duduk sendirian sambil menangis. Tapi, seharian ini aku tak menemukannya, ia bagaikan lenyap ditelan bumi sementara jam pelajaran sekolah akan berakhir 1 jam lagi. Seharian itu pula aku mencarinya, bertanya ke semua orang, “Kalian melihat Arimbi, Kelas II Sos. F atau tidak ?” mereka hanya menggelengkan kepala sebagian ada yang memberi jawaban ‘Tidak,’. “Menyebalkan sekali !” dengusku pada mereka untuk kemudian kembali mencari ... keluar – masuk ruangan demi ruangan yang kusebutkan di atas berulang kali mirip orang gila ... tapi, tetap saja tak kelihatan batang hidungnya.
Setengah putus asa kuletakkan pantatku ke tempat duduk di depan lab IPA. Aku mendesah perlahan, entah seharian tak bertemu dengan Arimbi mendadak saja rasa cemas menyelimuti sekujur badanku. Aku khawatir ada sesuatu yang buruk menimpanya.
“Kau mencariku ?” mendadak saja terdengar suara dari arah kananku. Aku memalingkan kepalaku, mataku terbelalak lebar, orang yang kucari sedari tadi mendadak saja muncul.
“Arimbi !!” teriakku sambil melompat kegirangan sambil memeluk erat si pemilik suara, “Kemana saja kau seharian ini ?” tanyaku cemas bercampur girang.
“Aku ada di halaman belakang sekolah,” jawab Arimbi santai, “Kau sendiri mengapa mencariku ? Lihat dirimu berantakan sekali,” Sial ! tak tahukah kau bahwa aku mencemaskanmu, Freaks ! gumamku dalam hati. “Biarin saja !” bentakku, “Itu adalah kesalahanmu, menghilang dariku ! Sekarang, ceritakan padaku kau menghilang kemana, sebab, aku tadi juga mencarimu ke halaman belakang sekolah ... tapi, kau tidak ada,” bentakku.
“Aku ada disana, kok ... hanya kau saja yang tidak menyadari keberadaanku,” Arimbi meyakinkan, mendadak sepasang matanya menatapku dalam – dalam dan membuatku heran.
“Mengapa kau menatapku seperti itu, Rim ?” tanyaku.
“Aku ingin bertanya padamu, Lya ...”
“Kau hendak bertanya tentang apa ?”
“Darimana kau mendengar bahwa sekolah kita ini, dulunya adalah bekas penjara ?”
“Oh, itu kudengar dari siswa – siswi alumni sekolah ini ... mengapa kau tiba – tiba menanyakan itu ?”
“Itu bukan sekedar gossip, tapi kenyataan,”
Kata – kata Arimbi membuatku terpaku sejenak setelah itu aku tersenyum geli,
“Gossip, Freaks ... Itu Gossip,” Hanya aku yang berani mengucapkan kata – kata ‘ Freaks’ secara terang – terangan di hadapannya langsung, tapi ... sama sekali tidak ada niatan dariku untuk mengejeknya dan dia tahu akan hal itu.
“Kalau itu gossip, bagaimana dengan kejadian saat pertama kali kalian berada di kelas I Sos. F ?” Lagi – lagi kata – kata Arimbi membuatku tercengang, “Astaga, kukira kau sudah melupakan peristiwa yang membuat Erico sakit 3 hari 3 malam,” sahutku, “Tapi, kalau ingat akan hal itu, seram juga, ya ... terlebih saat kami melihatmu mendadak duduk di sudut kelas. Lalu, apa hubungan kejadian itu dengan menghilangnya dirimu seharian ini ?”
“Kau ingin tahu bahwa itu bukan gossip melainkan sebuah peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu ?”
“Apa maksudmu, Rim ?” Arimbi tak menjawab melainkan menarik tanganku dan kami berjalan menuju halaman belakang sekolah.
***
Halaman belakang sekolah. Sebuah tanah lapang yang cukup luas dengan rerumputan hijau sebagai permadaninya. Sejauh mata memandang, yang tampak adalah deretan bukit dan lereng – lereng pegunungan dengan langit biru nan cerah sebagai payungnya, kabut tipis yang menutupi puncak – puncak gunung sebagai selimutnya. Angin berhembus perlahan, sebagian masuk ke lubang hidungku. Masih terasa segar dan asri sekalipun hari menjelang siang, bebas polusi. Huh, pantas saja siswa – siswi yang sedang dihukum berdiri oleh Dewan Guru seringkali melarikan diri ke tempat ini. Lalu apa maksud Arimbi mengajakku kemari ?
Pertanyaanku segera terjawab manakala suara lembut Arimbi memecah kesunyian, “Jangan kau kira tempat ini tenang, sejuk, segar dan lain sebagainya. Mungkin bagi orang – orang seperti kalian berpendapat seperti itu, tapi, tidak bagiku khususnya, pepohonan yang tepat berada 15 meter dari hadapan kita itu,” Sepasang mataku mengikuti jari telunjuk kanan Arimbi yang mengarah ke arah deretan pepohonan tepat 15 meter di depan. Sebuah pohon beringin berdaun lebat dengan serabut – serabut akarnya yang panjang menggantung di tengah udara sebagian berjuntai ke bawah nyaris menyentuh tanah. Bongkol – bongkolnya berwarna kuning kecoklatan tumbuh tak beraturan, sebagian melekat pada badan pohon. Sekilas mirip sosok – sosok tubuh manusia terikat pada badan pohon.
Usia pohon tersebut mungkin sudah ratusan tahun. Mendadak saja, aku merasa tidak nyaman menatap pohon itu lama – lama, “Rim, mengapa kau mengajakku ke tempat ini ? Aku merasa tidak nyaman,” kataku sambil menggosok – gosok pangkal lenganku yang tiba – tiba saja merasa dingin.
“Kau masih ingat atau tidak ... dulu kau memintaku untuk sekali – kali mengajakmu pergi ke dimensi lain ? Aku menolak karena takut ada hal buruk menimpamu. Tapi, kau terus mendesakku. Maka, sekaranglah saatnya kita pergi, apa kau siap ?” tanya Arimbi sepasang sorot matanya tampak tajam berkilat – kilat membuatku salah tingkah.
“Kau serius, Rim ? Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan kita ?” aku mencoba untuk tertawa tapi, serasa tawar.
“Selama kau menuruti apa yang kukatakan, semuanya pasti baik – baik saja. Atau kau hendak membatalkan niatmu itu ? Itu akan lebih baik,”
Aku ragu sejenak, nyaliku mendadak menciut tapi, setelah berhasil menenangkan diri dalam waktu yang cukup lama, barulah aku mengangguk, “Iya, dech ... aku penasaran dengan apa yang disebut dimensi lain. Memangnya, kau bisa melakukan itu ?”
“Kita bisa membuktikannya sekarang, peganglah tanganku erat – erat, jangan sampai terlepas sebab bisa berakibat buruk. Apa yang kau lihat dan kau dengar, jangan hiraukan. Itu persyaratannya, apa kau mengerti ?” tegasnya. Setelah itu memegang erat – erat tangan kananku.
Ia memintaku untuk memejamkan mata dan aku balas memegang erat tangan kirinya. Beberapa saat kemudian, sekalipun mataku terpejam tapi, aku seperti merasakan adanya seberkas cahaya putih menyilaukan. Tahukah kalian ... kulit manusia akan bereaksi apabila terkena cahaya dengan kapasitas tertentu. Mungkin juga ada yang bereaksi dengan cahaya sekecil apapun dan aku adalah salah seorang yang sensitif terhadap cahaya tersebut, walau hanya sepersekian detik. Saat Arimbi memintaku untuk membuka mata ... aku sudah berada di tempat lain.
Sejauh mata memandang yang ada hanyalah gundukan tanah, pasak – pasak kayu keropos dan batu – batu nisan bentuknya sudah tak keruan lagi, berserakan disana – sini.
Sebagian tertutup oleh bayangan rimbunan pohon beringin, tak jauh dari pepohonan tersebut ada sebuah lubang menganga. Bau busuk menguar dari dalam lubang tersebut, membuat seisi perutku serasa diaduk - aduk.
Entah darimana datangnya rasa penasaran yang membuatku berpaling untuk melihat isi dari lubang tersebut. Banyak sekali tumpukan mayat : pria, wanita, tua dan muda, sebagian sudah membusuk, pada tubuh mereka penuh dengan bilur – bilur luka yang dikerumuni lalat. “Hoekh !” tak ayal lagi, seisi perutku tumpah ruah, kepalaku pening, pandanganku berkunang – kunang dan lututku serasa tak bertenaga, “Kita sekarang ini ada dimana, Rim ?” tanyaku lemas.
“Halaman belakang sekolah kita. Ini adalah kenyataan yang sebenarnya sebelum Sekolah ini berdiri. Pemakaman massal dari penduduk – penduduk pribumi yang dibantai oleh Tentara Kolonial Belanda,” jawab Arimbi.
Seumur hidupku, aku sudah malang melintang di tempat – tempat yang memacu adrenalinku. Aku adalah wanita yang suka hal baru dan menantang. Tapi, sekalipun demikian, ada tempat yang sama sekali tak ingin kukunjungi berlama – lama, tempat itu adalah TANAH PEMAKAMAN / KUBURAN. Seperti yang ada di hadapanku kini.
“Sudah cukup bagiku melihat pemandangan yang kau sebut dengan dimensi lain ini. Sebaiknya, kita segera pergi dari sini, jangan pernah kau ajak aku travelling di tempat seperti ini lagi, ya ...” aku mencoba untuk bercanda sekalipun tubuh ini sudah lemas setengah mati.
“Pejamkan saja matamu, queen ... saat kaubuka matamu, kau seperti tak pernah mendatangi tempat ini,” kata – kata Arimbi seakan mengandung kekuatan magis.
Memang benar, saat kubuka mataku, yang kulihat adalah hamparan tanah hijau yang luas dengan latar belakang birunya langit dan hijaunya lereng – lereng perbukitan. Halaman Belakang Sekolah.
Aku dan Arimbi memang sudah berada kembali di sekolahku, dimensi yang nyata alias real. Tapi, peristiwa itu merubah kehidupanku. Dan, aku merasa ada sesuatu yang aneh mengikuti kemana pun aku pergi, membuatku ... entah harus merasa senang atau sedih ... TERKUCIL ATAU BERSYUKUR.
***
INDIGO ... kutukan atau anugerah. Sebagian orang ada yang menginginkannya, adapula yang tidak ... aku adalah salah satunya. Lalu, apa artinya Indigo itu ? Melihat hal – hal yang tak kasat mata ? Meramalkan sebuah peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang ? Mampu menggerakkan benda dari jarak jauh hanya dengan kekuatan pikirannya / Telekinesis ? Mampu menembus dimensi – dimensi lain yang perbedaannya hanya setipis kertas ? Aku sama sekali tidak menemukan jawabannya, mungkin belum saatnya. Yang jelas, semenjak Arimbi mengajakku ke halaman belakang sekolah, aku merasa sebagian dari jiwaku hilang entah kemana ... Dan aku selalu bermimpi aneh, terjadi berulang – ulang di jam yang sama, seperti mimpiku semalam.
Aku melihat diriku tertidur pulas memeluk boneka Teddy Bear kesayanganku, wajahku begitu lucu, tenang dan damai. Mirip bayi yang tengah bermimpi indah. Kucoba untuk menghampirinya bermaksud melihat lebih dekat, mengelus kulitku yang kuning langsat, bersih dan halus, tapi, aku serasa melayang tanpa bobot. Begitu ringannya kubiarkan angin yang berhembus melalui lubang angin membawaku, menembus tembok kamar dan setiap ruangan dalam rumahku. Ayah, Ibu dan adik – adikku semuanya sudah pulas. Hingga akhirnya keluar dari rumah.
Aku terbang mengikuti kemana angin bertiup. Benda – benda di sekitarku seperti saling kejar, susul – menyusul. Jika kulukiskan bagaimana keadaanku saat itu, mungkin aku hanya bisa mengatakan : Bayangkan saja kalian naik kendaraan dengan kecepatan tinggi. Itulah keadaanku. Hingga berhenti di sebuah jalan raya dengan aktivitas kendaraan yang cukup padat. Aku tak ingat pernah singgah di jalanan ini.
Belum habis rasa penasaranku, kembali angin berhembus perlahan, membawaku terbang dan berhenti di tepi pantai. Ombaknya cukup tenang, langit terang dengan cahaya bulan purnama lengkap dengan segala pernak – perniknya yang seakan menari – nari di sekelilingku dengan cahayanya yang gemerlapan. Bintang dan rembulan yang tepat berada di atas kepala itu, seakan bisa kujamah. Deburan ombak, gemerisik dedaunan nyiur oleh hembusan angin lembut membuatku serasa nyaman. Nyaman sekali dan tak ingin bergegas pergi.
Namun, kenyamanan tersebut terganggu oleh suara hiruk – pikuk di bawah sana. Saat pandanganku beralih ke asal suara itu, mataku terbelalak manakala melihat mayat – mayat manusia bergelimpangan tak tentu arah, mayat bercampur pasir dan lumpur. Pecahan kayu dan barang – barang material lain nyaris menutupi permukaan air laut.
Banyak bangunan dan rumah – rumah penduduk porak – poranda seperti habis diterjang sesuatu. Telingaku juga mendengar jerit tangis pilu dimana – mana, apa yang sudah terjadi ? Suasana yang begitu tenang dan damai berubah menjadi sebuah pemandangan yang memilukan. Mendadak, apa yang terlihat olehku menjadi samar, kemudian gelap gulita.
Aku membuka kedua pelupuk mataku dan mendapati diriku tengah terbaring di ruang tidurku. Semua menghilang dalam sekejab sementara aroma laut dan pasir masih terasa di indera penciumanku. Mimpi yang aneh dan terasa begitu nyata. Masih terlalu dini untuk bangun dan bersiap – siap berangkat ke sekolah. 01:45, itulah yang ditunjukkan oleh jam dindingku saat tanpa sengaja pandanganku tertuju padanya.
Semula, aku tak ambil peduli dengan mimpi tersebut, menjalani rutinitas sehari – hari seperti biasa. 7 hari kemudian kudengar beberapa wilayah di bagian Timur porak – poranda diterjang TSUNAMI dan memakan korban jiwa lebih dari 7500 penduduk. Astaga ! seruku dalam hati. Saat aku menceritakan hal tersebut pada Arimbi ... dia hanya menjawab ‘TIDAK MUNGKIN !’.
Apakah ini arti dari kata – kata ‘INDIGO’ ? Atau hanya kebetulan saja. Setiap kali aku bermimpi aneh, itu terjadi di dunia nyata selang sesudahnya. Kini Arimbi seringkali muncul dalam mimpi – mimpiku. Bukan hanya satu atau dua kali, tapi, berulang kali. Seorang wanita cantik datang menemuinya, tersenyum ramah tapi, mendadak berubah menjadi sosok makhluk menyeramkan dan berusaha menyeretnya masuk ke dalam tanah.
Tak kuasa menahan rasa penasaranku, aku terbangun sekitar jam 05:00, kutelepon dan memintanya untuk datang ke rumahku. Aku menceritakan semua yang kualami kepadanya dan lagi – lagi mengatakan ‘Tidak Mungkin’ sekalipun demikian dia tidak menganggap remeh semua yang kukatakan ... sebab, apa yang ada dalam mimpiku, juga ada dalam mimpi – mimpinya. Sungguh kebetulan sekali, tapi, tidak bagiku ....
***