NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 26

Kata-kata itu menohok telinga Gus Zizan, menusuk dadanya seperti sebilah pisau yang menancap perlahan namun dalam. Ning Lidya. Nama itu meluncur begitu ringan dari bibir Kyai Zainal, seolah jodoh hanyalah keputusan sederhana yang bisa dipindahkan seperti papan bidak catur.

Padahal, bagi Zizan, pernikahan bukan sekadar melanjutkan garis keluarga, bukan pula sekadar mengikat dua nama besar pondok. Pernikahan baginya adalah ikatan hati—dan hatinya… sudah terikat pada seseorang yang justru tak boleh ia sentuh.

“Abi…” suara Zizan parau, nyaris patah. Ia menunduk dalam, seakan sajadah di hadapannya mampu menelan seluruh kegundahannya. “Apa tidak ada jalan lain selain itu? Abi tahu bagaimana posisiku. Aku…” kalimatnya terputus, lidahnya kelu, seolah ada yang mencekik kerongkongannya.

Kyai Zainal menatap anaknya lekat-lekat. Tatapan seorang ayah, sekaligus pemimpin pondok yang harus berpikir bukan untuk satu orang, tapi untuk ratusan santri dan ribuan wali murid yang menaruh kepercayaan padanya.

“Zizan, dengarkan baik-baik.” Suara sang kyai tenang, tapi tegas. “Abi percaya kamu tidak pernah berniat buruk. Abi juga tahu kamu berusaha menjaga dirimu. Tapi gosip tidak melihat niat, Nak. Gosip hanya melihat kejadian. Dan apa yang terlihat itulah yang dipercaya orang.”

Gus Zizan menggigit bibir bawahnya. Ia ingin berteriak bahwa semua ini tidak adil, bahwa dunia seolah menghukumnya atas sesuatu yang ia sendiri tidak sengaja. Tapi yang keluar hanyalah desahan lelah.

“Abi ingin kamu belajar berkorban. Kalau kamu terus dekat dengan santri putri itu, gosip tidak akan berhenti. Kalau gosip tidak berhenti, pondok akan hancur. Dan ingat, pondok ini bukan hanya milik kita. Ini rumah bagi semua santri. Ini tempat mereka menuntut ilmu. Nama baik pondok lebih besar daripada perasaan pribadi kita.”

Kata-kata itu bagaikan palu yang menghantam dada Gus Zizan. Ia tahu, Abi-nya benar. Ia tahu, tugasnya bukan hanya sebagai anak seorang kyai, tapi juga penerus yang harus menjaga marwah pondok. Tapi hatinya menolak.

“Ning Lidya anak ustadz Yusuf,” lanjut Kyai Zainal. “Beliau sudah lama menitipkan keinginan agar kita menjalin ikatan keluarga. Kalau kamu menikah dengannya, gosip akan berhenti. Orang-orang tidak lagi curiga. Mereka akan tahu kamu sudah punya pilihan jelas.”

Ada jeda panjang.

Udara malam terasa berat. Hening, tapi juga mencekam.

Gus Zizan menatap lantai kayu, jemarinya mengepal di atas lutut. Dadanya bergemuruh. Ia ingin berkata “tidak”. Ia ingin menolak sekuat tenaga. Tapi suaranya tercekat, dan yang keluar hanyalah bisikan lirih,

“Inggih, Abi…”

Malam itu, selepas pembicaraan di ndalem, Gus Zizan tidak bisa tidur. Lampu minyak di kamarnya berayun pelan, bayangan tubuhnya tercetak samar di dinding. Ia duduk bersila di atas sajadah, namun sujudnya terasa hampa.

“Ya Allah…” bisiknya serak. “Apakah ini ujian-Mu? Engkau hadirkan rasa dalam dadaku, tapi Engkau larang aku untuk meraihnya. Engkau titipkan sosok itu di dekatku, tapi Engkau juga menjauhkan aku darinya. Apa maksud-Mu, ya Rabb?”

Air mata jatuh membasahi sajadah.

Hatinya tercabik antara dua dunia: dunia tanggung jawab dan dunia perasaan.

Dilara.

Nama itu terus menghantui benaknya. Bayangan wajahnya saat menunduk di perpustakaan, air matanya saat dipanggil Ustadzah Salma, senyumnya yang samar ketika berterima kasih di sumur belakang. Semua terekam jelas di hati Gus Zizan, seperti ukiran yang mustahil dihapus.

Namun di sisi lain, ada bayangan Abi-nya, pondok, para santri, dan tanggung jawab besar yang ia pikul sebagai putra kyai.

Haruskah ia mengorbankan hatinya demi nama baik?

Ataukah ia harus memperjuangkan sesuatu yang bisa menghancurkan semua yang telah dibangun keluarganya selama puluhan tahun?

Keesokan harinya, kabar tentang “rencana perjodohan” mulai terdengar samar di kalangan ustadzah. Belum sampai ke telinga para santri, tapi sudah cukup membuat beberapa orang membicarakannya di ruang guru.

“Kalau benar Gus Zizan dijodohkan dengan Ning Lidya, bagus sekali. Itu bisa jadi solusi agar gosip berhenti,” ujar salah seorang ustadzah.

“Betul. Nama pondok bisa terjaga. Santri juga tidak lagi bingung melihat kedekatannya dengan santri putri.”

Ucapan-ucapan itu terdengar bagai gemuruh jauh di telinga Gus Zizan. Ia pura-pura sibuk menata kitab di rak, padahal hatinya nyaris runtuh mendengar kenyataan itu mulai menjadi buah bibir.

Di sisi lain, Dilara pun merasakan keganjilan. Hari itu, Salsa mendengar sekilas dari seorang ustadzah senior, lalu buru-buru menceritakannya pada sahabatnya itu.

“Lara…” Salsa menatap Dilara hati-hati. “Aku dengar kabar, katanya Gus Zizan mau dijodohkan sama Ning Lidya.”

Dilara terdiam. Sapu di tangannya berhenti bergerak. Wajahnya pucat, seolah darahnya tersedot habis.

“Jodoh…?” suaranya bergetar.

“Iya. Aku juga nggak tau bener atau enggaknya, tapi ustadzah-ustadzah udah mulai ngomongin. Katanya biar gosip berhenti.”

Dilara menunduk. Matanya panas. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, rasa sesak yang sulit dijelaskan. Padahal ia tahu, ia tak punya hak sedikitpun untuk merasa cemburu, kecewa, apalagi patah hati. Gus Zizan bukan miliknya. Ia hanya seorang santri. Ia hanya seorang gadis kecil di antara ratusan santri lain.

Tapi hatinya tetap menangis.

Dalam diam, ia beristighfar. “Astaghfirullah… ya Allah, kenapa hati ini sakit sekali?”

Hari-hari berikutnya berjalan berat. Gus Zizan mulai menjaga jarak sepenuhnya. Ia tidak lagi mendekati area asrama putri. Tidak lagi singgah ke perpustakaan pada jam-jam tertentu. Bahkan saat pengajian kitab, ia berusaha tidak menoleh sedikitpun ke arah tabir.

Namun justru sikapnya yang berubah itu semakin terasa bagi Dilara.

Ketiadaan tatapan singkat, jarak yang tiba-tiba semakin jauh, senyap yang begitu mencolok—semuanya membuat gadis itu merasa kehilangan sesuatu yang bahkan tidak pernah benar-benar ia miliki.

Salsa sering mendapati Dilara melamun di serambi asrama, pandangannya kosong ke arah masjid.

“Lara, kamu kenapa?”

Dilara hanya menggeleng. “Aku nggak apa-apa…”

Tapi malamnya, saat semua teman sekamar sudah tidur, ia menangis pelan di bawah selimut. Tangannya memeluk mushaf kecil, bibirnya bergetar melafalkan doa-doa yang nyaris tertelan isakan.

“Ya Allah… kalau memang aku harus melupakan rasa ini, tolong kuatkan aku. Jangan biarkan hatiku hancur lebih dalam lagi.”

Sementara itu, Gus Zizan pun menderita dalam diam. Setiap malam, ia menuliskan isi hatinya di lembaran kecil yang ia sembunyikan di balik kitab kuning. Bukan untuk siapa-siapa, hanya untuk dirinya sendiri—cara satu-satunya agar dadanya tidak pecah oleh beban yang ia simpan.

“Aku ingin melindunginya, tapi aku harus menjauhinya. Aku ingin menenangkannya, tapi justru kehadiranku membuatnya semakin disorot. Ya Allah, ajarkan aku cara mencintai tanpa harus merusaknya.”

“Abi benar. Tugas utamaku adalah menjaga nama baik pondok. Tapi bagaimana dengan hatiku sendiri? Apakah harus terus aku bunuh setiap malam, agar semua orang bahagia kecuali aku?”

“Dilara… aku tidak tahu apakah aku boleh menyebut namamu dalam doa. Tapi dalam setiap sujud, wajahmu selalu muncul. Aku takut, ya Allah… aku takut cinta ini mengalahkan cintaku pada-Mu.”

Lembar-lembar itu penuh dengan tinta yang bergetar, bercampur dengan noda air mata.

Puncaknya, suatu malam, setelah shalat isya, Kyai Zainal kembali memanggil Gus Zizan.

“Zizan, ustadz Yusuf sudah menanyakan soal itu. Abi tidak bisa menunda terlalu lama. Kamu harus memberi jawaban.”

Gus Zizan tercekat. “Abi…”

“Kalau kamu ridha, kita bisa mulai bicarakan khitbah dalam waktu dekat.”

Hening panjang.

Jantung Zizan berdentum. Suaranya bergetar saat akhirnya ia bicara:

“Abi… kalau ini memang yang terbaik untuk pondok, insya Allah aku ridha. Tapi izinkan aku satu hal.”

“Apa itu?”

“Beri aku waktu… untuk benar-benar mengikhlaskan hatiku. Aku tidak ingin menikah dengan membawa luka.”

Kyai Zainal menatap anaknya lama. Ada rasa iba di mata seorang ayah, tapi juga ada ketegasan seorang pemimpin. Ia mengangguk pelan.

“Inggih, Zizan. Abi akan beri kamu waktu. Tapi ingat, jangan terlalu lama. Karena pondok butuh kepastian.

Malam itu, Zizan kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Ia menutup pintu, lalu jatuh bersujud. Isakannya pecah tanpa bisa ia tahan lagi.

“Ya Allah… ajari aku cara merelakan. Ajari aku cara mencintai tanpa memiliki. Jika memang jalan ini harus aku tempuh, kuatkan aku. Jangan biarkan aku hancur, jangan biarkan dia hancur. Lindungi Dilara, meski bukan aku yang menjaganya.”

Air mata membasahi lantai kayu.

Dan di saat yang sama, di asrama putri, Dilara pun tengah berdoa dengan isak yang sama.

Dua hati yang sama-sama tersiksa, sama-sama berdoa, tapi terpisah oleh tembok, oleh aturan, oleh nama baik yang harus dijaga.

Dan malam itu, langit pondok terasa lebih pekat dari biasanya, seakan ikut menyimpan rahasia dua insan yang mencintai dalam diam.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!