Nico Melviano, dia merasa dirinya pria bodoh membuang waktu bertahun-tahun menunggu cinta berbalas. Tapi ternyata salah, wanita itu tidak pantas untuk ditunggu.
Cut Sucita Yasmin, gadis Aceh berdarah Arab. Hanya bisa menangis pilu saat calon suaminya membatalkan pernikahan yang akan digelar 2 minggu lagi hanya karena dirinya cacat, karena insiden tertabrak saat di Medan. Sucita memilih meninggalkan Banda Aceh karena selalu terbayang kenangan manis bersama kekasih yang berakhir patah hati.
Takdir mempertemukan Nico dengan Suci dan mengikat keduanya dalam sebuah akad nikah. Untuk sementara, pernikahannya terpaksa disembunyikan karena cinta keduanya terhalang oleh obsesi seorang perempuan yang menginginkan Nico.
Bagaimana perjalanan rumah tangga keduanya yang juga mengalami berbagai ujian? Cus lanjut baca.
Cover by Pinterest
Edit by Me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kasmaran
"Wah, sepertinya seneng ya aku ajak nikah, sampai tersedak begitu,--" Nico seperti punya mainan baru untuk digodanya. Biasanya, ia paling suka menggoda Naura keponakannya yang ada di Bali sampai menangis, bedanya kalau yang ini sampai tersipu.
Uhuk uhuk
Awalnya tersedak, berubah menjadi terbatuk-batuk. Air yang akan ditelannya malah masuk ke rongga hidung. Nico spontan mendekat, berdiri di belakang kursi Suci, mengusap-ngusap punggung bagian atas gadis itu.
"Sudah Mas Nico, aku sudah baikan--" Suci sedikit menggeser tubuhnya, menghindar. Sentuhan tangan Nico membuat dadanya berdesir.
"Eh, maaf-maaf, aku hanya berniat membantu takut kamu kenapa-kenapa,--" Nico merasa tidak enak sendiri, apa yang dilakukannya spontanitas. Jangan sampai Suci berpikiran kalau dirinya pria kurang ajar.
"Iya, aku tahu. Lagian Mas Nico sih main tembak aja ngajak nikah, kan jadinya kaget." Suci mengerucutksn bibirnya. Pura-pura ngambek.
"He he, kan biar bisa pacaran tanpa takut dosa. Katanya, pacaran setelah menikah itu menentramkan hati. Umi kan sudah ngasih restu, Abangmu sepertinya juga ngasih lampu hijau. Hm, tinggal nunggu jawaban orangnya nih." Dengan santainya Nico berucap, dan tanpa bosan terus menatap lembut wajah cantik yang sudah membuka hati untuknya.
Suci hanya tersenyum tipis. "Iya, ucapan mas Nico benar semua. Tapi enggak buru-buru juga kali. Aku kan belum tahu pribadi Mas Nico seluruhnya, juga belum kenal keluarga Mas Nico. Gimana kalau mereka tidak setuju?"
"Mau gak sekarang main ke rumahku? Akan kubuktikan kalau Ayah dan Bunda pasti senang. Malahan Bunda sering nanyain kamu lho." Nico memperbaiki posisi duduknya, punggungnya dibuat tegak.
"Nah kalau soal pribadi aku, apa yang ingin kamu ketahui hm? Ukuran baju L, celana no 30, celana dalam---"
"Stop-stop! Ish bukan itu yang ingin aku tahu---" Suci menutup mukanya yang merona, ia terlalu malu mendengar uraian Nico. Benar-benar gak nyangka, bossnya di kantor ini, bisa juga bicara iseng.
Nico tergelak, senang sekali dirinya bisa menggoda kembali Suci. "Ya makanya bilang dong, apa yang ingin kamu tahu tentang aku." ujar Nico disisa tawanya.
Suci menggedikkan bahunya. "Kita jalani saja dulu ya--"
Dua insan, tak terasa menghabiskan waktu dengan berbincang santai, bercanda ria. Bahagia keduanya baru dimulai, hati mereka sama-sama mengembang, luas seolah taman dengan semerbak harum bunga dengan kupu-kupu indah beterbangan di sekitarnya.
Jatuh cinta kepadamu sangatlah manis, kamu ibarat langit malam, karena setiap memandang wajahmu membuatku tenang dan nyaman.
Dengan hati ringan, Nico meninggalkan kediaman Suci yang baru resmi menjadi kekasihnya beberapa jam yang lalu.
Nico membelokkan mobilnya ke sebuah masjid ketika mendengar adzan Duhur berkumandang. Selama ini, bukan telinganya tak mendengar panggilan sholat, hanya saja hatinya sedang gelap. Hingga cahaya hidayah hadir lewat pesona seorang gadis cantik. Sucita.
****
Hari pun berganti, sebulan sudah hubungan kasih terjalin. Rutinitas pekerjaan dan kebersamaan selama di kantor membuat hati keduanya kian dekat.
Akhir pekan tak bertemu membuat Nico merindu. Jumat sore kemarin sepulang kerja, Nico mengantar Suci dan Candra ke bandara. Mereka akan menengok sang ibu tercinta di Aceh.
"Kapan kamu mau mengajak Suci ke rumah?"
Bunda duduk di sisi Nico yang sedang berjemur dikursi kolam, bertelanjang dada. Ia baru selesai berenang, sabtu pagi yang cerah dan hangat karena sinar mentari membuatnya bersemangat berenang.
"Tadinya mau hari ini, tapi Suci pulang dulu ke kampung halaman, kangen dengan ibunya." sahut Nico.
"Kalau sudah mantap, Bunda pengen kamu segera melamarnya, atau langsung ajak nikah deh takut ditikung laki-laki lain--" Bunda rupanya ada kekhawatiran. Suci sudah mencuri perhatiannya dan tentunya sudah mencuri hati anaknya. Menurutnya, ia gadis baik budi pekertinya plus cantik.
Nico terkekeh kala mendengar Bunda yang antusias. "Wah jadi Bunda yang ngebet nih, padahal aku lebih ngebet--"
Jawaban Nico membuat Bunda menjitak kepalanya, gemas. Anak bungsu yang pernah tinggal di negeri orang tiga tahu lamanya, kini berubah selalu dekat dengannya seperti masa kecil Nico dulu. Tak ada yang lebih membahagiakan dan menenangkan bagi Bunda sebagai seorang ibu, saat melihat anaknya pergi terburu-buru ke masjid ketika mendengar suara adzan. Seperti yang dilihatnya subuh tadi.
Nico PoV
Di dalam kamar, aku membuka galeri ponsel. Memandang foto Suci yang aku ambil diam-diam beberapa bulan yang lalu saat terapi. Berbagai fose natural dengan senyum kecil, senyum lebar, juga wajah yang berseri dan merona karena saat itu terapi terakhirnya, menandakan kebahagiaan.
Ku belai wajah cantik natural yang hanya bisa ku sentuh dilayar. Meskipun setiap hari berinteraksi, tapi dirinya tak tersentuh. Ia tidak pernah membuat gestur menggodaku ataupun membiarkan tangannya untuk ku sentuh. Tidak. Dia begitu menjaga kehormatan dirinya, dan itu membuatku makin tergila-gila padanya.
Aku merindukanmu, Suci.
Baru sehari ini tak melihatnya, tapi beban rindu mulai terasa berat. Huft.
Niatku untuk segera menghalalkan Suci kian kuat. Tapi ada satu kejujuran yang harus aku buka, hanya saja aku harus mencari waktu yang pas untuk mengatakannya.
"Asalamualaikum, Mas--"
Ah, baru mendengar suaranya saja membuat dadaku nyes. Dingin.
"Waalaikumsalam. Lagi apa calon bidadariku?"
Aku bisa membayangkan wajah di sebrang sana, pasti wajah putihnya memerah seperti tomat.
"Aku lagi di belakang rumah, Mas. Menatap luasnya hamparan padi dan hijaunya pohon-pohon hutan. Langitnya biru, berhias awan putih. Berharap awan itu mampu melukiskan wajahmu---"
Sungguh, sesaat aku tak mampu berkata-kata. Kalimatnya bagaikan puisi, indah, membuat ragaku terasa terbang.
"Wow, aku nggak menyangka kamu pandai berpujangga. Jadi pengen terbang ke sana dan membawamu ke KUA deh. Mau ya?"
Ini bukan bualan. Aku sungguh tak tahan ingin memeluknya, mencium seluruh wajahnya. Membenamkan wajah cantiknya di dada. Aku ingin menjadikan dia milikku seutuhnya.
"Aku tidak sedang berpuisi, Mas. Saat ini aku merindukanmu. Aku berani mengungkapkan perasaan karena jauh darimu. Kalau dekat mana berani, takut Mas Nico hilang kendali."
Di sebrang sana, Suci mengucapkannya diakhiri tawa kecil. Ah, benar-benar bikin aku gemas.
"Aku kira, hanya aku sendiri yang merindu. Berarti levelnya sudah naik dong, tidak hanya suka, tapi sudah mencintaiku kan?"
Diam, hening. Aku tidak mendengar suaranya, entah apa yang sedang ia pikirkan.
"Sucita?" panggilku lagi.
"Mas Nico, saat jauh begini aku jadi tahu bagaimana hati ini. Dalam anganku, langit biru di hadapanku ini telah mampu melukis jelas wajah seorang pria tampan bermanik coklat dengan sorot mata dalam. Aku ternyata mencintainya. Pria itu, Nico Malviano---"
Kali ini aku yang diam tak mampu berkata. Gila, ini gila. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya agar semua orang tahu kalau aku sangat-sangat bahagia. Adakah penggambaran lebih untuk melukiskan rasa yang membuncah di dada ini. Ya Allah!
"Mas, are you okay?"
Suara merdu di sebrang sana menyadarkanku untuk kembali membumi.
"Sucita, terima kasih. Cintaku kau balas. I love you so much."
Biarkan hening kembali. Keduanya tengah merasakan riak-riak rindu dan cinta yang tercipta dan terasa di saat jarak jauh memisahkan.
Hanya pada rindu, cinta berharap, agar aku dan kamu segera menjadi satu.
Cocok sih...pengusaha emas dan pengusaha hotel 😍