NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:684
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32. Bayangan dibalik rahasia

Malam merangkak naik kesempatan itulah yang dimanfaatkan Ken Suryawati dan nyi Rengganis—dayang tua setianya untuk menemui mbok Sanem—dukun langganannya jauh ditengah hutan samudra jaya. Didalam gubuk itu lagi-lagi mbok Sanem menertawakan kata-kata Ken Suryawati yang justru membuatnya semakin emosi.

“Aku kesini meminta bantuanmu untuk memberikan pelajaran pada dayang rendahan itu nyi, bukan malah minta kau tertawai,”

“Hahahahaha...Suryawati....Suryawati....kau sadar apa yang kau katakan itu haaa...?” suara serak mbok Sanem membuat Suryawati terdiam.

“Darah Ken Surtaji sudah terkutuk sejak penyerangan mereka ke Wiroagung, lalu kau ingin aku memberi pelajaran pada gadis itu, apa kau mau kau dan anakmu Raksa mati ditangan algojo ha.....” lanjut mbok Sanem.

“Ta-tapi aku tidak mau Raksa....”

“Dasar bodoh....”ucap Mbok Sanem dingin. “Kau pikir bisa menentang garis yang sudah ditulis dari darahmu sendiri?”

Suryawati menatapnya tak percaya. “Aku hanya ingin melindungi anakku, Raksa. Gadis itu bukan dari kalangan kita! Dia hanya dayang, dan... dan—”

“Dan dia adalah bagian dari darah yang tak bisa kau buang,” potong Mbok Sanem cepat, suaranya serak namun tegas. “Puspa bukan sembarang anak. Dia lahir dari garis yang tak pernah padam—darah yang ditinggalkan leluhurmu sendiri.”

Suryawati menelan ludah, wajahnya pucat. “Kau... kau tahu apa tentang darah itu, nyi?” Mbok Sanem tertawa kecil, suara tawanya berat dan menusuk. “Lebih dari yang kau kira, Suryawati. Aku sudah melihatnya sebelum kau lahir. Waktu itu, Ken Surtaji datang padaku—meminta kekuatan agar keturunannya tak ditelan kutukan Wiroagung. Tapi apa yang terjadi? Kutukan itu justru tertanam di dalam darahnya sendiri.”

Suryawati menunduk, napasnya tersengal. “Jangan... jangan bicara omong kosong padaku, nyi. Aku datang ke sini bukan untuk mendengar cerita lama.” Namun Mbok Sanem hanya terkekeh lagi, lalu mengibaskan asap dupa ke arah wajah Suryawati. “Kau datang dengan hati yang penuh kebencian, tapi lupa bahwa kebencian itu sendiri adalah pintu bagi kehancuranmu.” Ia menatap Suryawati dalam-dalam. “Dengarlah baik-baik. Seorang petapa agung akan turun dari gunung seberang timur. Ia akan menyingkap kebenaran tentang darahmu... tentang anakmu... dan tentang gadis itu.”

Suryawati menegang. “Apa maksudmu?”

“Ramalan yang kulihat di cermin airku jelas,” kata Mbok Sanem pelan namun tajam. “Ketika darah Ken Surtaji dan Wiratanu bertemu kembali dalam satu garis, maka Samudra Jaya akan terguncang. Tidak ada yang bisa menghindarinya—tidak kau, tidak Raksa, bahkan tidak aku.” Hening sejenak. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang terdengar di sela-sela gubuk reyot itu. Suryawati menatap ke arah lantai tanah, pikirannya berputar cepat. Ia ingin membantah, tapi kata-kata Mbok Sanem terasa seperti pisau yang menusuk perlahan ke dalam jantungnya.

“Aku tak peduli pada ramalanmu,” bisik Suryawati akhirnya, dengan suara bergetar. “Selama aku masih hidup, aku tidak akan membiarkan Raksa jatuh pada nasib buruk itu. Aku akan menjauhkan gadis itu dari istana—dari hidup Raksa—sekalipun aku harus membayar mahal.” Mbok Sanem tersenyum miring, bibir tuanya membentuk lengkungan yang mengerikan. “Kau bisa mencoba, tapi setiap langkahmu hanya akan semakin menjerat dirimu sendiri.” Ia mencondongkan tubuh, wajahnya hanya sejengkal dari Suryawati. “Kau akan hidup dalam bayang-bayang ketakutanmu sendiri, Ken Suryawati. Dan saat petapa itu datang... semua rahasia yang kau sembunyikan akan terbuka.” Suryawati terdiam, tubuhnya gemetar. Ia ingin berdiri, tapi lututnya lemas. Nyi Rengganis yang sejak tadi berdiri di dekat pintu segera menolongnya berdiri.

“Pulanglah,” kata Mbok Sanem tanpa menoleh. “Pulang sebelum fajar. Jangan menantang arwah leluhurmu lebih lama.” Suryawati menggigit bibir, lalu berjalan cepat keluar dari gubuk itu. Angin malam yang menusuk tulang membuatnya menggigil, namun bukan dingin yang membuat tubuhnya bergetar—melainkan ketakutan yang menempel seperti bayangan di belakangnya. Dalam perjalanan pulang melewati hutan, langkahnya terasa berat. Suara burung malam dan lolongan jauh dari lembah terdengar seperti bisikan kutukan. Di matanya, wajah Mbok Sanem masih terbayang, disertai tawa yang menggema di kepalanya.

“Petapa agung... darah yang bertemu kembali...” gumam Suryawati pelan. Ia menatap ke langit yang gelap tanpa bintang. “Apakah semuanya sudah digariskan?” Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Ken Suryawati benar-benar takut—bukan kepada orang lain, melainkan kepada takdir yang tak bisa lagi dia kendalikan.

****

Sementara itu berbeda hal dengan yang dialami Putri Dyah Anindya, kata-kata yang didengarnya tadi sore dari Ken Suryawati mirip seperti ancaman baginya. Dia menarik nafas panjang bayangannya akan Panglima Aruna terus berkelebat dipikirannya. Hingga akhirnya dia keluar diam-diam dari paviliun lalu menemui Panglima muda itu, dia tahu dimana Aruna setiap malam sehingga dengan cara mengendap-endap ke barak prajurit.

Barak prajurit tampak sepi. Obor-obor telah padam kecuali satu di dekat balairung kecil tempat Panglima Aruna biasa menulis laporan malam. Dyah melangkah perlahan ke sana, menahan napas, lalu berbisik

“Aruna…”

Panglima muda itu menoleh cepat. Begitu mengenali sosok di hadapannya, ia hampir tak percaya. “Paduka… Dewata Agung, apa yang Paduka lakukan di tempat ini? Ini berbahaya—”

“Aku tahu,” potong Dyah lirih. “Tapi aku harus bicara denganmu. Hanya malam ini.”

Aruna menatapnya lama, ragu. “Jika ada yang melihat—”

“Tak akan ada yang melihat,” ucap Dyah cepat. Ia menunduk, suaranya melemah,”Aruna...kau tahu....kau tahu kalau aku mencintaimu tapi kenapa sekarang kau mulai menjauh, seakan-akan kau ingin mengundurkan diri dari hadapanku, kau tahu semua rasa ini hanya untukmu, kau tahu aku tak bisa melupakanmu jadi tolong jangan pernah menghindar lagi. Aku mencintaimu Aruna,”

Aruna terpaku. Kata-kata itu mengguncang dinding hatinya yang paling dalam. Ia tahu perasaan itu memang ada di antara mereka, tapi ia tak pernah berani mengakuinya. Perlahan, ia menggeleng, berusaha menguasai diri.

“Paduka… jangan berkata demikian. Cinta itu adalah hal yang suci, tapi juga terlarang bagi kita. Aku hanyalah panglima, darahku tak sebanding dengan darah raja.”

Dyah menatapnya, air mata mulai menggenang. “Kau pikir aku peduli pada darah? Aku melihat siapa dirimu, bukan dari gelar atau pangkat, tapi dari hatimu. Selama ini aku belajar menahan diri, tapi sekarang… semua ini menyiksaku. Aku tak bisa jika harus melupakanmu,”

Aruna menunduk dalam, napasnya berat. “Aku juga manusia, Paduka. Aku juga mencintai Paduka lebih dari apapun yang bisa kuungkapkan. Tapi jika aku menuruti perasaan ini, maka aku menyalahi titah Dewata. Aku akan membawa kehancuran bagi negeri ini—dan bagi Paduka.” Dyah terisak, melangkah maju dan memegang kedua tangannya. “Kehancuran bagiku adalah hidup tanpa hatiku sendiri, Aruna. Dan hatiku… sudah lama jadi milikmu.” Aruna memejamkan mata. Ia ingin membalas genggaman itu, tapi ketakutannya pada takdir lebih besar daripada keberaniannya untuk mencinta.

“Gusti, kita tidak bisa selamanya bersembunyi semakin lama, rahasia ini akan memakan kita hidup-hidup. Maka biarkan malam ini jadi yang terakhir, Paduka. Aku tak ingin Paduka menderita karena nama dan pangkatku.”

“Tidak, Aruna!” Dyah menatapnya dengan mata yang membara di antara air mata. “Aku akan mempertahankan cinta ini. Sekalipun Dewata menentang, aku tak akan menyerah!” Aruna mengangkat wajahnya, menatap Dyah dengan kelembutan yang menyakitkan. “Kalau begitu… biarkan aku yang menyerah. Agar kau tetap hidup dalam cahaya, bukan dalam murka takdir. Kerajaan ini harus selamat, meski itu berarti aku harus kehilangan dirimu.”

Air mata Dyah mengalir tanpa bisa ditahan. “Kau ingin aku bersanding dengan Raden Kusumanegara, bukan?”

Aruna terdiam lama, lalu mengangguk pelan. “Raden Kusumanegara adalah pilihan Raja Harjaya. Ia pewaris yang pantas, dan hanya dengan pernikahan itu Samudra Jaya akan tetap kokoh.” Dyah menatap Aruna dengan mata basah. “Kau bisa rela melihatku menjadi milik orang lain?” Aruna menutup mata sejenak, menahan gejolak yang mengoyak dadanya. “Jika itu membuat Paduka bahagia... maka iya. Aku akan bahagia dalam luka ini.” Dyah terisak, lalu memeluk Aruna erat. “Tidak! Aku hanya mencintaimu, Aruna! Dunia boleh menolak, tapi hatiku tidak!” Aruna memejamkan mata, membiarkan air matanya jatuh untuk pertama kali. Ia mengangkat tangannya perlahan, mengusap air mata di pipi sang putri. “Paduka... jika saja takdir bisa kuubah, aku akan memilih hidup di pengasingan bersamamu. Tapi aku bukan dewa, aku hanyalah manusia yang terikat sumpah.” Dyah menggigit bibirnya, suaranya bergetar. “Ken Suryawati tahu tentang kita...”

Aruna terdiam sejenak. “Aku sudah menduganya. Cepat atau lambat, rahasia ini akan terungkap. Dan bila itu terjadi, bukan hanya aku yang akan dihukum... tapi juga Paduka.”

Ia menatap sang putri dengan mata sayu. “Sebelum semuanya terlanjur, biarlah aku yang mengakhiri ini.”

Dyah menatapnya dengan mata membesar. “Kau tak bisa, Aruna... jangan katakan itu.”

“Aku harus, Paduka,” jawab Aruna dengan suara bergetar. “Karena aku mencintaimu, dan karena cinta itu pula aku tak ingin melihatmu celaka. Biarkan aku memikul dosanya sendiri.”

Tangis Dyah pecah. “Kau kejam, Aruna... kau memintaku hidup tanpa napas.” Aruna menghela napas panjang, menundukkan kepala. “Mungkin cinta sejati memang bukan tentang memiliki, tapi tentang menjaga dari jauh.” Suasana hening kembali. Hanya suara jangkrik yang terdengar di luar. Dyah menangis, menunduk, lalu tiba-tiba memeluknya erat. Pelukan itu dingin dan hangat sekaligus—pelukan dua jiwa yang tahu mereka akan terpisah. Aruna sempat membalasnya, menahan getar di dadanya, sebelum akhirnya melepaskan perlahan. Ia mengusap air mata Dyah, menatapnya dengan senyum yang pahit.

“Kembalilah ke paviliunmu, Paduka. Sebelum fajar datang. Jika memang Dewata berbelas kasih, mungkin di kehidupan lain aku akan menjemputmu, bukan sebagai panglima, tapi sebagai pria yang bebas mencintaimu.” Dyah menggigit bibirnya, menahan isak, lalu melangkah mundur. Tatapan mereka bertemu sekali lagi—tajam, penuh rindu dan luka. Kemudian ia berbalik, melangkah pergi di bawah cahaya bulan yang pudar. Aruna menatap punggungnya sampai lenyap di tikungan lorong. Dan malam pun menutup rahasia mereka, seolah ikut menangis bersama cinta yang tak akan pernah bisa bersatu.

Sampai di paviliun Putri Dyah menangis, memegang erat kain selendang yang sempat diberikan Aruna beberapa tahun yang lalu sebagai hadiah keberhasilan Samudra Jaya dalam mengalahkan Kawi Mandala di lembah Kawi.

“Oh...Dewata, kenapa engkau memberikan darah ini padaku jika semua ini akhirnya menyiksaku,” Putri Dyah menangis di atas tempat tidurnya memeluk kain itu merasakan cinta yang begitu menyesakkan. Tangis Putri Dyah akhirnya mereda, berganti menjadi isak lirih yang terputus di sela napasnya. Di kamar yang sunyi, hanya suara desir angin malam menembus jendela, menggoyangkan tirai sutra berwarna gading. Ia duduk di tepi ranjang, menatap selendang yang kini terlipat di pangkuannya—selendang pemberian Aruna, yang masih menyimpan aroma samar kayu cendana dan angin perbukitan tempat sang panglima dulu memimpin pasukan.

“Aruna…” bisiknya pelan, seolah nama itu adalah doa yang ia panjatkan setiap malam. “Kenapa cinta ini harus terlahir dalam darah kerajaan? Kenapa Dewata begitu kejam, memberi rasa tapi menolak takdirnya?”

Ia menggigit bibir, air matanya kembali menetes. “Aku hanya ingin hidup sederhana bersamamu, tanpa mahkota, tanpa tahta. Tapi yang kumiliki hanyalah gelar dan dinding batu yang memisahkan kita.” Tangannya gemetar memegang selendang itu semakin erat. Dalam bayang matanya, ia masih bisa melihat Aruna berdiri tegap di balairung, dengan tatapan yang selalu tegas namun lembut ketika berbicara padanya. Tatapan yang kini hanya tinggal kenangan.

“Apakah dia juga menangis malam ini?” gumam Dyah pelan. “Atau mungkin dia sudah menghapus semua tentangku… demi negeri ini?” Ia memejamkan mata, membiarkan kenangan mengalir—tawa mereka di taman istana, percakapan singkat di balik gerbang latihan, cara Aruna menunduk setiap kali menyebut namanya. Semua terasa terlalu nyata untuk dilupakan. Namun semakin ia mengingat, semakin sesak dadanya. Ia tahu cinta ini tak akan pernah sampai. Restu Dewata, kehendak ayahandanya, dan sumpah jabatan Aruna adalah dinding yang tak bisa ditembus oleh air mata.

“Jika memang ini takdir, biarlah aku memeluk rinduku sendiri,” lirihnya. “Mungkin di kehidupan lain… aku bisa memanggilmu tanpa takut pada dunia.” Tanpa sadar, air matanya mengering. Kelelahan menguasai tubuhnya. Di antara desah angin malam dan cahaya bulan yang redup, Putri Dyah perlahan terlelap—masih memeluk selendang Aruna, seolah di dalam mimpi ia ingin bertemu dengannya sekali lagi.

****

Halaman istana Samudra Jaya pagi itu tampak megah dan khidmat. Ribuan bunga kamboja putih bertebaran di sekitar altar persembahan, menebarkan aroma lembut bercampur asap dupa yang menjulang ke langit. Para abdi dalem berlutut rapi di barisan paling belakang, diikuti para dayang, bangsawan, dan keluarga istana. Di barisan terdepan, Prabu Harjaya duduk bersila dengan khidmat, diapit oleh Putri Dyah, Raden Arya, dan Raden Raksa. Hari itu, doa bersama diadakan untuk memohon keselamatan kerajaan dari mara bahaya, terutama setelah kemenangan Samudra Jaya dari Parang Giri.

Sosok Brahma Satyajaya, seorang resi tua yang dikenal sakti dan bijak, duduk di depan altar. Rambutnya memutih seluruhnya, namun sorot matanya jernih dan dalam. Suara mantranya bergema lembut di udara pagi, menciptakan suasana yang begitu khusyuk hingga semua yang hadir menunduk dalam diam.

“Om Sang Hyang Jagatnata... rahmatilah bumi Samudra Jaya, lindungilah putra-putra raja yang memimpin negeri ini...” suaranya bergetar namun penuh wibawa. Namun di tengah lantunan doa itu, tiba-tiba sang Brahma terdiam. Matanya yang sedari tadi tertutup perlahan terbuka. Ia menatap ke arah depan, lalu memutar pandangannya menyapu seluruh hadirin. Suasana yang tadinya tenang berubah hening. Tak ada yang berani bersuara.

Prabu Harjaya menatap heran. “Apa yang terjadi, Brahma Satyajaya?” tanyanya pelan. Sang Brahma tidak menjawab, hanya mengangkat tangan memberi isyarat agar sang raja diam. Ia berdiri perlahan, langkahnya mantap menuju barisan paling belakang. Para dayang menunduk takut, sebagian bahkan gemetar. Hingga akhirnya sang Brahma berhenti tepat di depan seorang dayang muda—Puspa.

“Engkau...” gumamnya lirih, “mendekatlah, nak.”

Puspa terkejut. Tangannya refleks meremas kain kebayanya sendiri. Ia menunduk dalam, bingung sekaligus takut. Namun karena semua mata tertuju padanya, ia pun melangkah perlahan ke depan. Langkahnya terasa berat. Raden Raksa yang duduk di samping sang raja menatap tajam ke arah Brahma, dadanya terasa panas melihat pandangan resi tua itu pada kekasihnya.

“Namamu siapa, nak?” tanya sang Brahma pelan.

“Hamba... Puspa, Sang Brahma,” jawabnya lirih.

“Dari mana asalmu?”

Puspa berpikir sejenak. “Hamba tidak tahu pasti. Kakek hamba dulu tinggal di Wiroagung sebelum kadipaten itu jatuh. Hamba dibesarkan oleh ibu hamba di desa kecil dekat hutan timur.” Tatapan Brahma menajam. Ia seperti menembus lapisan jiwa gadis itu. Dalam hati ia berdoa, lalu berbisik lirih, “Benar... wajah ini, sorot mata ini... keturunan Wiratanu yang disebut dalam ramalan leluhur...”

Ia menatap perut Puspa, membuat gadis itu semakin gelisah. Raden Raksa mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, menahan diri agar tak bereaksi.

“Julurkan tanganmu,” ucap sang Brahma. Puspa menatapnya ragu, tapi kemudian menurut. Saat tangannya disentuh, tubuh Brahma itu bergetar pelan. Ia menatap garis halus di telapak tangan Puspa, lalu menutup matanya.

“Darah bangsawan... darah Wiratanu,” bisiknya nyaris tak terdengar. Para bangsawan saling pandang, tak mengerti. Hanya sang Brahma yang memahami arti di balik ucapannya. “Dari rahimnya akan lahir keturunan yang mengembalikan kejayaan Wiroagung dan membawa Samudra Jaya menuju kemuliaan baru... tapi belum waktunya dunia tahu,” batinnya.

Dari barisan para selir, Ken Suryawati mengerutkan kening. Kata-kata Brahma itu menggema dalam kepalanya, mengingatkannya pada ramalan Mbok Sanem, dukun langganannya“Perempuan itu akan mengangkat derajat Raksa, tapi menjatuhkanmu.” Wajahnya menegang, menyimpan bara iri yang mulai menyala.

Sang Brahma lalu menatap ke arah Raden Raksa. “Engkau, anak muda. Mendekatlah.” Raden Raksa bangkit dengan langkah tegap, meski matanya masih menyimpan curiga. Brahma Satyajaya menggenggam tangannya dan menatap garis telapaknya lama sekali. Sesaat kemudian, mata sang resi melebar. Lalu senyum lebar merekah di wajah tuanya. Tawa kecilnya yang tiba-tiba membuat seluruh balairung terkejut.

Prabu Harjaya bersuara, “Apa maksudnya ini, Brahma Satyajaya?” Sang Brahma tidak segera menjawab. Ia menatap Raksa dan Puspa bergantian, lalu menunduk hormat pada sang raja. “Jagalah keduanya, Duli Baginda. Karena dua jiwa ini... telah ditakdirkan membawa perubahan bagi Samudra Jaya.” Balairung hening. Tak ada satu pun berani bersuara. Angin berembus lembut, membawa aroma dupa yang kian menenangkan. Putri Dyah menatap Puspa dengan rasa ingin tahu yang sulit disembunyikan, sementara Raden Arya mengepalkan tangan kuat-kuat, menahan gejolak di dadanya.

Aruna, yang berdiri di barisan belakang, menunduk dalam—seolah memahami sesuatu yang baru saja terungkap, namun memilih diam. Prabu Harjaya memandang keduanya lama, seolah ingin membaca takdir di balik kata-kata Brahma itu. “Apakah maksudmu... mereka akan menjadi suami istri?”

Brahma Satyajaya tidak menjawab langsung, hanya tersenyum bijak. “Yang sudah tertulis di langit takkan bisa dihapus oleh tangan manusia, Baginda.” Ucapan itu membuat seluruh ruangan bergetar oleh keheningan yang lebih berat dari sebelumnya. Dyah Ratnadewi menatap suaminya dengan wajah cemas, sementara Ken Suryawati menunduk, menutupi senyum tipis yang penuh arti. Sementara itu, Raden Raksa menatap sang Brahma dengan mata menyala. Ia merasa darahnya berdesir hebat—antara bangga dan takut pada makna ramalan itu. Dalam hatinya ia berbisik, “Jika ini takdir, maka aku akan menjaganya... dan tak akan membiarkan siapa pun, bahkan kakakku sendiri, merebutnya dariku.”

Brahma Satyajaya kemudian kembali ke tempat duduknya di depan altar. Ia menutup matanya, melanjutkan doa yang sempat terhenti. Suaranya tenang, namun setiap kalimatnya kini terdengar sarat makna yang tak semua orang sanggup memahami. Upacara kembali berlangsung, tapi hati para bangsawan bergemuruh. Tak ada satu pun yang bisa menepis bayangan tentang ramalan itu. Puspa menunduk, hatinya berdebar. Ia tidak sepenuhnya mengerti apa yang baru saja terjadi, namun tatapan semua orang membuatnya merasa kecil dan asing di tengah kemegahan istana.

Dan dari tempat duduknya, Raden Arya menatapnya lama, bibirnya mengatup kuat. Ia tahu, sejak saat itu, takdir telah menulis garis yang memisahkan dirinya dari wanita yang diam-diam ia kagumi. Langit Samudra Jaya yang semula cerah kini diselimuti kabut tipis. Seolah alam pun tahu, pagi itu bukan sekadar upacara biasa—melainkan awal dari takdir besar yang akan mengguncang seluruh kerajaan.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!