“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Darah yang menantang langit
Langit mulai merona lembayung ketika doa bersama usai. Para bangsawan dan dayang-dayang perlahan meninggalkan halaman upacara, sementara sisa dupa masih mengepul lembut di altar. Prabu Harjaya belum beranjak dari tempat duduknya. Matanya menatap lama pada sosok Brahma Satyajaya yang kini tampak tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Namun di dada sang prabu, tanya-tanya mulai bergejolak.
Setelah memastikan semua orang telah pergi, Prabu Harjaya berdiri dan memberi isyarat kepada dua pengawal kepercayaannya agar menyingkir. “Tinggalkan kami berdua,” titahnya tenang namun tegas. Para pengawal menunduk dalam lalu mundur, meninggalkan halaman yang kini hanya tersisa dua sosok tua penuh wibawa itu. Sang raja menatap Brahma Satyajaya lekat-lekat. “Brahma,” ucapnya pelan, “tadi saat upacara, engkau menghentikan doa di tengah jalan. Lalu menanyai asal-usul seorang dayang muda... dan menatapnya seolah engkau melihat sesuatu yang besar. Apa makna dari semua itu?”
Sang Brahma hanya tersenyum samar. Matanya yang tua dan jernih memantulkan cahaya matahari senja. “Duli Baginda,” katanya pelan, “apa yang hamba lihat bukan untuk diumbar di tengah khalayak. Ada hal yang lebih besar daripada sekadar doa pagi ini.”
Prabu Harjaya mengerutkan kening. “Lebih besar?” suaranya merendah, namun tegas. “Katakan apa maksudmu.” Sang Brahma menatap sekeliling, memastikan tak ada siapa pun di sekitar mereka. Lalu ia berkata lirih, “Baginda, izinkan hamba berbicara di tempat yang lebih aman. Ini bukan percakapan untuk telinga manusia biasa.” Prabu Harjaya mengangguk. Ia mengajak sang Brahma menuju ruang dalam di sayap timur istana—tempat yang jarang dimasuki siapa pun kecuali dirinya. Ruangan itu hanya diterangi cahaya obor, dindingnya dipenuhi ukiran para dewa. Setelah pintu ditutup rapat, Prabu Harjaya duduk di kursi batu dan menatap sang Brahma dengan penuh wibawa. “Sekarang katakan, apa yang sebenarnya engkau lihat pada dayang muda itu?”
Sang Brahma menghela napas panjang. “Namanya Puspa, bukan? Hamba telah melihat wajah itu... bukan di dunia fana ini, melainkan dalam bayangan suci saat hamba bersemadi bertahun-tahun lalu di puncak Gunung Mandaraksa. Dalam penglihatan itu, muncul sosok perempuan muda berselimut cahaya. Ia membawa bunga kamboja putih di tangannya—tanda kesucian darah Wiratanu, garis keturunan kuno yang pernah memerintah kadipaten Wiroagung.”
Prabu Harjaya menegakkan tubuhnya. “Darah Wiratanu? Mustahil... mereka telah lenyap sejak perang saudara tiga dasawarsa lalu.”
Sang Brahma menggeleng pelan. “Tidak, Baginda. Yang lenyap hanyalah nama mereka di catatan istana, bukan darahnya. Garis itu masih hidup... dalam tubuh gadis itu.” Kening Prabu Harjaya berkerut dalam. “Jadi Puspa—seorang dayang rendahan di dapur istana—adalah keturunan bangsawan?”
“Lebih dari itu,” jawab Brahma dengan suara bergetar. “Ia bukan hanya pewaris darah Wiratanu, tetapi juga bagian dari takdir yang lebih besar. Dalam kitab Prasasti Wirya Mahadewa, tertulis bahwa dari rahim keturunan Wiratanu akan lahir penerus yang akan mengembalikan kejayaan Samudra Jaya di masa mendatang. Dan garis itu akan bersatu dengan darah Arjuna... yang kini mengalir dalam tubuh putra Baginda sendiri, Raden Raksa.” Prabu Harjaya terdiam lama. Suara obor yang berkeredap menjadi satu-satunya bunyi di ruangan itu. “Jadi... maksudmu, takdir Raksa dan gadis itu telah ditulis jauh sebelum mereka lahir?”
Sang Brahma menunduk khidmat. “Benar. Namun takdir, Baginda, bukan untuk dibuka kepada semua orang. Jika kabar ini sampai ke telinga mereka yang haus kekuasaan—terutama para selir yang bersaing demi tahta putra-putranya—maka gadis itu akan celaka sebelum waktunya.” Sang raja memejamkan mata sejenak. Ia tahu betapa rapuhnya kedamaian di dalam istana, di mana setiap langkah diselimuti ambisi dan intrik. “Lalu apa yang harus kulakukan?”
Sang Brahma mendekat satu langkah, suaranya rendah namun penuh keyakinan. “Lindungilah mereka, Baginda. Raden Raksa dan dayang Puspa adalah dua jiwa yang diikat oleh kehendak semesta. Apa pun yang terjadi, jangan biarkan tangan kotor istana menjangkau mereka.” Prabu Harjaya memandangnya lama, sebelum akhirnya berkata lirih, “Aku akan merahasiakan ini. Tapi... jika benar gadis itu membawa takdir besar, maka aku khawatir Samudra Jaya akan terbelah, Brahma. Karena darah bangsawan yang tersembunyi sering kali lebih berbahaya dari musuh yang datang dari luar.”
Sang Brahma tersenyum pahit. “Benar, Duli Baginda. Tapi terkadang, untuk melahirkan cahaya, dunia memang harus melewati masa-masa tergelapnya.” Suasana di ruangan itu hening kembali. Dari luar, terdengar samar suara seruling istana, namun tak mampu menembus beratnya rahasia yang kini menggantung di antara mereka. Dan di dada Prabu Harjaya, mulai tumbuh rasa was-was—bahwa sejak pagi itu, Samudra Jaya tidak lagi sama seperti kemarin.
Sementara itu bisik-bisik tentang ramalan sang Brahma mulai mengusik para adipati dan bangsawan, mereka masih tidak percaya dengan yang dikatakan sang Brahma terlebih Tumenggung Wiranata dari trah Ken Surtaji, dia tentu tidak terima jika sang keponakan harus bersanding dengan wanita dari kelas rendahan tapi jika wanita itu bisa menaikkan Raksa ke singgasana mungkin bisa dimanfaatkan.
Siang ini Wiranata menemui kakak sepupunya Ken Suryawati membahas ramalan sang Brahma tadi pagi. Mereka berdua sempat bersitegang karena perbedaan pendapat.
“Apa katamu Wiranata?” tanya Suryawati yang menatap adik sepupunya dengan tajam.
“Kalau gadis itu bisa mengantarkan Raksa ke singgasana raja kenapa kita tidak manfaatkan saja mbak yu , apa mbak yu gak memikirkan kalau Ratnadewi juga akan melakukan hal yang sama, setelah mengetahui ramalan itu pasti dia akan memanfaatkan gadis itu untuk Arya,”
BRAK!
“Kau gila Wiranata, apa kau lupa kalau gadis itu dari kelas rendahan kau mau nama bangsawan Ken Surtaji ternoda karena gadis itu,” ucap Suryawati emosi.
“Tapi mbak yu, ini menguntungkan kita kalau memang gadis itu bisa mengantarkan Raksa ke singgasana kita minta sang Brahma untuk merestui mereka,”
BYUR!
Ken Suryawati emosi dan menyiram sepupunya itu dengan Air yang ada digelasnya tentu membuat Tumenggung Wiranata terkejut.
“Mbak yu...apa yang panjenengan lakukan?”
“Sudah aku bilang jangan sebut-sebut gadis rendahan itu didepanku, sampai kapanpun aku tidak akan merestui Raksa dengan dayang rendah seperti dia. Sekarang keluar kau dari paviliunku sampai kapan pun Raksa tidak akan bersatu dengan dayang rendah itu,” kata Suryawati dengan nyalang, Wiranata mengusap wajahnya menggunakan tangannya dengan kasar lalu menegakkan tubuhnya kemudian berdiri dan menatap kakak sepupunya dengan tajam.
“Baiklah mbak yu,”suara Wiranata terdengar serak menahan amarah. Ia menarik napas dalam, lalu menatap Ken Suryawati yang berdiri dengan dada membusung, penuh gengsi kebangsawanan. “Tapi ingat kata-kataku ini, jangan sampai kelak panjenengan menyesal karena menolak takdir yang mungkin sudah digariskan langit.”
Ken Suryawati mendengus keras. “Takdir? Jangan bicara omong kosong, Wiranata. Aku tak percaya pada ramalan seorang Brahma yang hanya hidup dari dupa dan mantra. Hidup ini diatur oleh kehormatan, bukan oleh kata-kata kosong yang bisa memecah keluarga besar Ken Surtaji.” Wiranata menatap tajam, tapi ia masih mencoba menahan diri. “Mbak yu, aku tidak membela ramalan itu, tapi banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kita lawan. Kalau Sang Brahma Satyajaya berkata demikian, berarti ada alasan yang lebih besar. Aku hanya takut… kalau kita menolak kehendak semesta, justru kita yang akan hancur oleh kesombongan sendiri.”
Suryawati melangkah mendekat, wajahnya kini sedekat satu jengkal dari wajah Wiranata. “Cukup!” suaranya melengking. “Aku tidak butuh nasihat darimu! Gadis itu—dayang rendahan yang bahkan tak pantas duduk di pendapa istana—tidak akan pernah jadi bagian dari keluarga ini. Raksa adalah pewaris darah Ken Surtaji, bukan orang yang bisa dicoreng nama baiknya hanya karena ramalan konyol!” Suasana paviliun menjadi hening. Hanya suara angin yang menggesek tirai sutra, membuatnya bergoyang perlahan. Wiranata menghela napas, menatap lantai, lalu kembali menatap Suryawati dengan mata yang kini tampak lebih teduh namun menusuk.
“Baiklah, mbak yu. Aku sudah berkata, dan tugasku selesai. Tapi kalau kelak ramalan itu benar—kalau Raksa benar-benar ditakdirkan bersanding dengan gadis itu—maka jangan salahkan siapa pun selain dirimu sendiri.” Ken Suryawati tidak menjawab. Ia hanya berdiri kaku dengan rahang mengeras, menatap lurus ke luar jendela seakan ingin menyingkirkan bayangan gadis yang terus mengusik pikirannya. Tumenggung Wiranata menunduk hormat, lalu berbalik meninggalkan paviliun. Suara langkah kakinya bergema di koridor marmer, berat dan penuh emosi yang tak tersampaikan. Di luar, angin berembus membawa aroma dupa yang samar—entah sebuah peringatan, atau sekadar pertanda bahwa kata-kata Brahma Satyajaya mulai mengguncang ketenangan istana Samudra Jaya. Sementara itu, Ken Suryawati masih terpaku di tempatnya, menatap ke kejauhan dengan mata yang redup. “Tidak akan kubiarkan…” bisiknya lirih, “tidak akan kubiarkan Raksa jatuh karena cinta pada dayang rendahan itu…”
***
Sementara itu Selir pertama Dyah Ratnadewi masih bersikap tenang menyikapi ramalan sang Brahma Satyajaya walau dalam hatinya diliputi rasa penasaran tentang siapa sebenarnya dayang Puspa.
“Mbok Warni antarakan aku sang Resi,” titah Ratnadewi
“Inggih Gusti Kanjeng,” ucap mbok Warni—dayang tua setianya.
Kabut tipis menyelimuti jalan setapak menuju puncak Bukit Indrakila. Udara di sana terasa lembap dan dingin, seolah setiap embusan angin membawa rahasia masa lalu yang belum tuntas. Dyah Ratnadewi melangkah perlahan, kain sutra birunya terseret pelan di tanah berlumut, sementara Mbok Warni berjalan di belakang, menunduk hormat sambil membawa kendi berisi air bunga sesaji. Di kejauhan, di antara pepohonan beringin tua yang menjulang, tampak sebuah pendapa kecil beratap ijuk. Di sanalah sang resi berdiam — seorang lelaki tua berjubah putih, rambutnya memutih seperti abu, matanya tajam namun meneduhkan. Asap dupa menari lembut di udara saat Ratnadewi menundukkan kepala memberi sembah.
“Paduka Resi Satyawirya,” ucapnya pelan, suaranya sedikit bergetar. “Hamba datang untuk menanyakan sesuatu… tentang seorang dayang muda di istana.” Sang Resi membuka matanya perlahan, menatap Ratnadewi dengan pandangan yang seolah menembus lapisan hati terdalam.
“Dayang muda itu… bernama Puspa, bukan?”
Ratnadewi tertegun. “Bagaimana Paduka tahu?”
Sang Resi tersenyum tipis. “Angin telah lebih dulu membawa namanya ke telingaku. Puspa bukan gadis sembarangan, Gusti Ratnadewi. Ada darah lama yang mengalir dalam nadinya… darah yang pernah dikutuk bumi dan langit.”
Ratnadewi menelan ludah, merasakan tengkuknya dingin. “Kutuk… darah lama? Mohon paduka jelaskan.” Sang Resi bangkit perlahan, berjalan ke arah tepi tebing. Dari sana, terbentang pemandangan luas; lembah yang dulu dikenal sebagai Kadipaten Wiroagung — kini hanya berupa hutan dan tanah tandus. Ia menunjuk ke arah itu dengan tongkat kayunya.
“Dulu, sebelum Samudra Jaya berdiri megah, di sanalah berdiri Wiroagung,” ucap sang Resi lirih. “Tiga bersaudara memperebutkan tahta kadipaten itu; Wiratanu, Wiradipa, dan si bungsu Wirasasra. Tapi ambisi sering kali membutakan hati. Wirasasra ingin berkuasa, dan ia mendatangi seorang bangsawan besar bernama Ken Surtaji.”
Ratnadewi tersentak mendengar nama itu. “Ken Surtaji?”
“Benar,” jawab sang Resi. “Leluhur dari banyak darah bangsawan Samudra Jaya, termasuk keluarga Ken Suryawati. Ken Surtaji kala itu terkenal gagah dan pandai berperang, tapi hatinya sudah dikuasai oleh keserakahan. Ia melihat kesempatan melalui permintaan Wirasasra itu. Maka prajurit-prajurit besar Ken Surtaji turun menyerang Wiroagung.” Sang Resi berhenti sejenak, menatap Ratnadewi dengan tatapan berat. “Padahal, Gusti, para Brahmana telah mengingatkan. Wiroagung adalah tanah yang dilindungi restu dewata. Tidak boleh diganggu, tidak boleh diusik. Tapi kesombongan manusia melampaui batas.”
“Dan apa yang terjadi setelahnya?” tanya Ratnadewi, suaranya menurun seperti anak kecil yang mendengarkan dongeng menakutkan.
Sang Resi menghela napas panjang. “Wiroagung jatuh. Wirasasra diangkat menjadi Adipati. Tapi setahun setelah itu, bencana turun tanpa ampun. Tanah mengering, air tak lagi mengalir, penyakit mematikan menyapu rakyat. Dalam satu purnama, seluruh kadipaten lenyap dari peta bumi. Yang tersisa hanyalah reruntuhan dan kutukan yang tak pernah sirna.” Ratnadewi menatap ke arah lembah berkabut itu, matanya melebar, napasnya tersengal. “Kutukan itu… masih ada?”
Sang Resi menatapnya tajam. “Kutukan tidak pernah lenyap selama darah Ken Surtaji masih berjalan di bumi ini. Sebagian besar keturunannya binasa di medan perang atau hilang di lautan. Hanya garis perempuan yang tersisa untuk menjaga keseimbangan. Tapi kini, takdir mulai bergerak lagi… sejak gadis itu lahir.”
“Gadis itu… maksud paduka, Puspa?”
Sang Resi mengangguk perlahan. “Ia lahir dari garis darah yang pernah dilupakan — darah Wiroagung yang tersisa. Dan bila benar ramalan Brahma Satyajaya, hanya jika darah Ken Surtaji dan Wiratanu bersatu dalam restu dewata, maka kutukan itu akan berakhir.” Ratnadewi membeku. Hujan gerimis mulai turun, menitik di wajahnya yang tegang. “Tapi... jika itu terjadi, berarti...”
“Ya,” potong sang Resi, suaranya tenang namun menusuk. “Gadis itu mungkin akan bersatu dengan keturunan Ken Surtaji. Dan dari persatuan itu, akan lahir penerus yang membawa cahaya baru bagi Samudra Jaya.” Ratnadewi memalingkan wajahnya. Tangannya gemetar di balik selendang biru. “Tidak... tidak mungkin. Aku tak akan membiarkan darah bangsawan Samudra Jaya dinodai oleh dayang istana! Anakku, Raden Arya, adalah pewaris sejati tahta kerajaan ini, bukan seorang pangeran yang tergoda oleh ramalan atau gadis dari kalangan rendah.” Sang Resi menatapnya dalam diam cukup lama. “Hati manusia sering menolak kehendak langit, Gusti. Tapi ingatlah, siapa pun yang melawan takdir, akan menanggung akibatnya.”
Ratnadewi mundur beberapa langkah. Pandangannya kabur antara hujan dan air mata. “Aku tidak peduli... aku hanya ingin memastikan, ramalan itu tidak menjadi nyata.” Ia berbalik dan melangkah cepat menuruni bukit, tanpa pamit, tanpa menoleh. Mbok Warni menyusul di belakangnya dengan wajah pucat pasi. Di puncak sana, sang Resi hanya berdiri diam menatap lembah berkabut, lalu berbisik lirih,
“Keangkuhan darah biru akan menyalakan kembali api kutukan lama… dan ketika itu terjadi, tak seorang pun akan bisa memadamkannya.”
Sementara itu di lapangan latihan Panglima Aruna menatap adik sepupunya Puspa yang tengah menatap kendi-kendi air untuk para prajurit dengan tatapan sendu lalu menghela nafas panjang, dia masih memikirkan ramalan sang Brahma jika ramalan itu benar akan ada pertumpahan darah di Samudra Jaya bukan dari luar tapi dari benteng darah sendiri.