Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33. Pasangan Dadakan
33
Suara mesin mobil terdengar lembut berpadu dengan deru angin yang sesekali masuk dari jendela yang sedikit terbuka.
Pemandangan sawah dan pepohonan di sepanjang jalan tol menuju Jogja membuat suasana di dalam mobil terasa damai.
Allen tengah menatap keluar jendela, sesekali menyesap air mineral, sementara Liang sibuk dengan ponselnya.
Aldrich tampak fokus menikmati alam , sampai tiba-tiba ponselnya bergetar keras.
Nada dering khas yang sangat dikenalnya membuat napasnya tertahan.
Ia menoleh cepat ke layar, “Kanjeng Ibu”.
Aldrich menarik napas dalam, lalu menekan tombol hijau di layar ponselnya.
“Hallo, assalamualaikum Ibu…” suaranya terdengar lembut, lebih lembut daripada biasanya saat ia bicara pada orang lain.
Dari speaker terdengar suara wanita tua dengan aksen lembut khas Jawa.
“Cah Bagus, kamu di mana to sekarang? Katanya mau sampai pagi, lha ini masih di jalan?” sang ibu masih memanggil anak sulungnya itu dengan panggilan manis yang sama ketika ia masih kanak-kanak dahulu.
Aldrich terkekeh gugup. “Iya, Bu. Kita … ini kita masih di jalan tol, ini baru lewat Purwokerto. Nanti sorean sampai. Ibu jangan khawatir.”
“Lho, kenapa ndak naik pesawat saja? Capek lho di mobil perjalanan sejauh itu. Ibu ndak sabar pingin ketemu kamu. Nanti sakit pinggang lho cah bagus. Kamu kan belum punya istri yang bisa mijitin kalau capek.”
Liang menahan tawa di kursi belakang, sedangkan Allen spontan menutup mulut menahan senyum.
Aldrich melirik kaca spion, melotot kecil pada Liang agar diam.
“Ibu, aku cuma ingin menikmati perjalanan aja. Udah lama nggak jalan jauh di suasana santai kayak gini,” jawab Aldrich berusaha tenang.
“Sekalian refreshing, Bu. Pemandangan juga bagus. Ada sawah, gunung, kabut tipis. Asli, tenang banget.”
“Halah, alasan saja kamu!” suara ibunya menimpali cepat.
“Kalau mau tenang ya naik pesawat, bukan duduk berjam-jam di mobil!”
Allen spontan tersenyum kecil, ia bisa membayangkan betapa cerewetnya ibu Aldrich, sama seperti ibunya dulu.
Namun tiba-tiba nada suara Ibu berubah jadi lebih lembut… namun justru membuat udara di mobil terasa menegang.
“Cah Bagus, mumpung belum jauh, sekalian saja kamu bawa pasanganmu, ya. Ibu pingin kenal.”
Seketika, mobil yang mulanya melaju stabil langsung melenceng sedikit ke bahu jalan. Pak sopir pun ikutan kaget meski dengan sigap mengendalikan kemudi, tapi wajahnya jelas memucat.
“Pa… pasangan? Maksud Ibu… pasangan yang mana?” suara Aldrich serak.
“Lho, masa iya kamu belum punya juga? Umurmu itu udah empat puluh tiga, Nak. Ibu tuh pingin lihat kamu bahagia.
Ibu tuh ndak tahu, umur ibu sampai kapan lagi… mungkin ini kesempatan terakhir lihat kamu sama seseorang yang kamu sayang.”
Hening.
Liang langsung menatap Allen, sementara Allen menatap ke depan, pura-pura sibuk dengan tali tasnya.
Aldrich menelan ludah, tangannya kembali erat di pangkuan.
“Bu… nanti kita bicarain ya, Bu. Kami fokus di perjalanan dulu, ibu juga jaga kesehatan.” ucapnya gugup.
“Jangan mengelak! Ibu tunggu kamu datang sama calon mantu Romo dan Ibu. Kalau kamu datang sendirian atau cuma sama Liang dan asisten kamu itu, Ibu ndak mau minum obat!” ancamnya.
“Ibu!” Aldrich panik, menepuk kening, matanya membulat. “Jangan gitu dong. Ya ampun…”
“Pokoknya ya! Ibu tunggu. Jangan bikin ibu marah!”
Sambungan terputus, meninggalkan empat orang di dalam mobil dalam suasana beku.
Liang menatap Aldrich yang kini menunduk dalam kebimbangan, wajahnya benar-benar tak berdaya.
“Wah… ini sih berat, Bro,” komentar Liang akhirnya. “Kalau orang tua udah main ancaman obat, itu bahaya.”
Allen menelan ludah, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. “Ibu Mas Aldrich sepertinya sangat disiplin, ya?”
Aldrich mengusap wajah dengan kedua tangannya, frustrasi. “Kamu nggak tahu, Al. Ibu tuh… kalau sudah maunya A, nggak akan mau B. Dan kalau aku nggak bawa ‘pasangan’, bisa-bisa ibu stres lagi.”
Liang tersenyum miring. “Yah, berarti kita harus improvisasi.”
“Improvisasi apaan?” Aldrich menatapnya curiga.
Liang memutar matanya pelan, lalu menatap Allen dengan senyum penuh arti.
“Ya jelas, Allen yang jadi pasanganmu.”
Suara itu membuat Allen spontan terbatuk hebat. “Hah! Kok aku, Ko?”
“Lho, iya dong!” Liang menepuk lututnya puas. “Kamu kan sudah dekat dengan Mas Aldrich. Kalian gak akan susah bangun chemistry lagi. Lagian, kanjeng ibu gak akan tahu kalo kamu adalah asisten. Ini kan cuma pura-pura aja jadi pacar diam-diam yang baru mau dikenalkan.”
Aldrich langsung membantah. “Gila kamu, Liang! Itu ide paling konyol yang pernah aku dengar!”
“Tapi paling realistis,” balas Liang santai sambil menyandarkan tubuh.
“Daripada kamu nekat cari pasangan pura-pura dadakan di Jogja? Mau bawa siapa?”
Allen memucat. “Tapi, Ko Liang… kalo kanjeng ibu tahu yang sebenarnya kalo kita cuma sandiwara. Apa gak makin memperburuk keadaan?”
“Justru itu, Al,” sela Liang cepat, menoleh ke belakang. “Kalau kanjeng ibu tahu, malah bagus! Tinggal yakinin aja kalo kalian bener ada hubungan biar disuruh nikah beneran, hahahaha!”
“Koko!!” bentak Aldrich dengan wajah memerah, tapi matanya sekilas tampak bimbang.
Ia mengusap tengkuknya, berusaha menenangkan diri.
Liang melanjutkan dengan nada serius. “Denger ya, aku tahu ini aneh. Tapi cuma cara ini yang bisa bikin kanjeng ibu merasa tenang. Anggap aja… sandiwara sementara.”
Allen menggigit bibir, pikirannya bercampur aduk. “Kalo kanjeng ibu tahu, saya malah takut bikin masalah.”
“Tenang,” ujar Liang, menatapnya menenangkan. “Kita atur cerita. Kamu, Allea, adalah asisten pribadi yang ternyata dekat dengan Aldrich selama kerja. Diam-diam, kalian mulai punya perasaan tapi belum sempat ‘resmi’. Gampang.”
Aldrich mendesah berat. Ia menatap Allen lewat kaca spion, matanya redup tapi dalam.
“Kalau kamu nggak nyaman, kita cari cara lain,” katanya pelan. “Aku nggak mau kamu terlibat sejauh ini.”
Allen terdiam beberapa detik, menunduk.
Lalu dengan suara pelan tapi tegas ia berkata, “Kalo itu bisa membuat kanjeng ibu tenang… aku bersedia, Mas.”
Liang langsung bertepuk tangan kecil. “Nah, itu baru asisten profesional! Aku suka semangatmu, Al!”
Aldrich hanya bisa menatap jalan di depannya, dengan jantung yang berdetak tak karuan.
Ia tahu, ini keputusan gila, tapi anehnya, bagian kecil dalam dirinya merasa… tidak ingin menolak.
"Ya udah, pak. Nanti kita berhenti di distro terus ke salon." Instruksi Liang pada pak sopir.
"Baik, ko."
Mobil itu melaju pelan namun pasti.
Dan dalam diam, mereka sama-sama sadar bahwa sandiwara ini, entah bagaimana, mungkin akan lebih berbahaya dari kenyataan sebenarnya.
.
YuKa/ 071125
adanya adegan romantis mulu
sayangnya tak ada paksu
udah balik cari cuan dulu, 😭😭😭
Jadi lanjut aja sandiwaranya jadi pelaminan🤣
Seiring berjalannya waktu, double A makin dekat. dan pasti akan mudah bagi mereka saling jatuh cinta krn pada dasarnya mereka berdua udah sama2 ada rasa🥰🥰🥰
padahal dah baca sampe bab baru🤭
modusmu Rich, nyuruh Allea pegang tanganmu karena takut Allea ilang pas di bandara. emang Allea anak kecil😭😭😭 tp gpp seh, biar chemistry diantara kalian semakin klik😂😂😂
mksh up nya kak Yuka🥰🥰🥰