NovelToon NovelToon
Ketika Sakura Mekar Kembali

Ketika Sakura Mekar Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:464
Nilai: 5
Nama Author: Abdulpro

Shinamura Haruki, seorang siswa SMA kelas dua berusia 16 tahun, baru saja mengalami patah hati terburuk. Empat bulan lalu, cintanya ditolak saat malam Natal. Dalam kesedihan, ia memutuskan untuk membeli kopi sebelum pulang, tapi takdir berkata lain. Ia malah ditabrak oleh Aozora Rin, gadis teman satu sekolahnya. Bagaimana pertemuan tak terduga ini akan mengubah kisah cinta mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdulpro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Janji Kita

Ucapan itu sontak membuat Haruki dan Rin salah tingkah.

"Maaf, tapi kita masih..." kata Haruki, namun ucapannya terpotong oleh Pemilik Toko.

"Aduh, kalian tidak perlu malu-malu! Santai saja! Silakan mau beli apa?" ucapnya dengan senyum hangat yang tulus.

Rin, yang biasanya pemalu, tiba-tiba mendekat dan menggenggam tangan Haruki. Haruki sontak terkejut.

"Rin? Jangan aneh-aneh, nanti Pemilik Toko jadi makin salah paham," bisiknya lirih, mencoba melepaskan tangannya.

Namun, Rin hanya tersenyum.

"Maaf," bisiknya kembali, "kamu jalan dulu di depanku. Aku ada di belakangmu."

Mereka pun melangkah masuk ke dalam toko, Rin membuntuti Haruki yang berjalan canggung di depan. Mata mereka menyisir setiap rak, mencari sabun dan sampo yang Souta minta.

Haruki memeriksa deretan sampo, namun tak ada satu pun yang harganya terjangkau. Uang yang Souta berikan hanya cukup untuk sabun biasa.

"Aduh, kalau harganya begini, uangnya tidak akan cukup," gumamnya dalam hati, frustrasi.

Rin, yang juga memeriksa sabun cair, merasakan hal yang sama. Dia lalu mendekati Haruki, wajahnya cemas.

"Haruki, bagaimana ini? Harganya mahal banget," bisiknya sambil menunjukkan sabun yang dipegangnya.

Haruki menghela napas. "Iya, Rin. Kita tanya Pemilik Toko saja, ya?"

Rin mengangguk setuju. Mereka mengembalikan sabun yang tadi dipegang dan berjalan menuju kasir, tempat Pemilik Toko duduk.

"Permisi, Pak, apakah Bapak punya sampo dan sabun yang biasa? Uang kami tidak cukup untuk membeli ini," tanya Haruki.

Rin menatap Pemilik Toko dengan wajah memelas, kedua tangannya digenggam di depan dada, menambah kesan permohonan yang tulus.

Pemilik Toko tertawa kecil. "Hahaha, maaf, di sini saya tidak menjual barang murahan seperti itu. Saya hanya menjual produk dengan kualitas terbaik."

Harapan mereka pudar. Haruki memutuskan untuk menyerah dan mengajak Rin kembali ke Vila dengan tangan kosong. Namun, saat mereka berbalik dan hendak melangkah keluar, Pemilik Toko buru-buru memanggil mereka.

"Tunggu! Kalau kalian memang sangat membutuhkannya, saya bisa beri diskon setengah harga. Terserah kalian mau ambil yang mana."

Mata Haruki dan Rin sontak berbinar.

"Benarkah? Terima kasih banyak, Pak!" seru Rin dengan polos, wajahnya berbinar penuh kelegaan.

Namun, Haruki merasakan ada yang janggal.

Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Rin, berbisik, "Rin, ada yang aneh. Masa harganya yang tiga kali lipat dari sampo biasa bisa didiskon setengah harga? Kamu tidak merasa begitu?"

Rin menggelengkan kepalanya. "Haruki, kamu jangan buruk sangka, dong. Siapa tahu Pemilik Toko ini memang orang baik hati."

Haruki hanya bisa menghela napas. "Iya, semoga saja perasaanku salah. Kalau begitu, ayo cepat kita beli, takut Souta menunggu."

Mereka bergegas kembali ke rak. Haruki memilih sampo dengan harga paling rendah, lalu Rin melakukan hal yang sama untuk sabun.

"Kalau setengah harga, mungkin ini cukup," batin Haruki, merasa sedikit lega.

Setelah mengambil barang yang dipilih, mereka menuju kasir. Pemilik Toko tersenyum melihat pilihan mereka.

"Pintar juga kalian, memilih yang paling terjangkau. Kalau begitu, saya kasih bonus cokelat, ya? Anggap saja sebagai hadiah pernikahan kalian!"

Suasana seketika hening. Haruki dan Rin ternganga, wajah mereka memerah padam, tubuh kaku seperti patung.

"T-tapi kami bukan pasangan suami istri, kami hanya teman biasa," jawab Haruki, suaranya tercekat.

Pemilik Toko tidak langsung percaya. Dia memandang Haruki yang terlihat gugup dan bingung, lalu beralih menatap Rin. Matanya terpaku pada jari manis Rin, yang dihiasi sebuah cincin emas, persis seperti cincin kawin.

"Sudahlah, tidak usah malu-malu begitu. Menikah muda bukan aib, kok. Iya kan, Nona?" ucap Pemilik Toko sambil mengalihkan pandangannya ke arah Rin.

Haruki mulai panik. Ia menghadap Rin, menggenggam tangannya. "Rin, ayo bantu aku jawab! Kita ini cuma..."

Belum sempat Haruki menyelesaikan kalimatnya, Rin menoleh padanya. Kedua tangannya menggenggam erat tangan Haruki.

"Aduh, Sayang, kenapa kamu tidak mau mengakui saja kalau kita ini pasangan suami istri?" ucap Rin, suaranya terdengar manja.

Tubuh Haruki seketika kaku. Matanya menatap Rin tak percaya. "Eh? Apa... apa yang kamu katakan, Rin?!"

Rin tersenyum manis, rona merah di pipinya semakin jelas. "Sudahlah, tidak apa-apa. Kita tidak perlu menyembunyikan status baru kita pada orang lain."

Kemudian, Rin mendekat dan memeluk Haruki. Namun, di balik pelukan itu, ia berbisik. "Haruki, ikuti saja perkataan Pemilik Toko. Kita tidak akan bisa membantahnya."

Haruki membalas bisikan itu, suaranya bergetar. "Ta-tapi aku malu, Rin. Maaf kalau aktingku buruk nanti."

Pemilik Toko yang memperhatikan mereka dari kejauhan menyeringai. Ia menyadari ada bisik-bisik rahasia di antara keduanya.

"Baiklah, total semuanya setelah diskon segini. Cokelatnya sudah saya masukkan ke kantong plastik."

Mereka melepaskan pelukan dengan senyum malu yang masih tersisa. "Ini uangnya, terima kasih..." Haruki menyerahkan uang, namun Pemilik Toko menarik kembali kantong belanjaan itu.

"Pak? Kenapa belanjaan kami diambil lagi?" tanya Haruki, kebingungan.

"Saya sedikit ragu dengan kalian. Kalau memang benar pasangan suami istri, saya akan berikan harga diskon. Tapi kalau bukan, kalian harus bayar tanpa potongan harga," jawab Pemilik Toko, nadanya penuh keraguan.

Haruki dan Rin terkejut. Mereka merasa terjebak.

"Apa maksud Bapak?! K-kami benar-benar... suami istri, kok," celetuk Rin, meyakinkan.

Haruki ingin menyanggah, namun ia tahu jika ia melakukannya, mereka akan kehilangan diskon setengah harga.

"Iya, Pak, kami benar-benar pasangan suami istri. Ini buktinya," kata Haruki, dengan sigap mengangkat tangan Rin yang memakai cincin, menunjukkannya ke arah Pemilik Toko.

"Cincin memang bukti. Tapi saya ingin bukti yang lebih meyakinkan!"

Rin memberanikan diri. "Kalau memang harus dibuktikan, kami siap! Kami akan melakukan apa saja untuk membuktikannya!" ucapnya lantang.

Ucapan Rin membuat Haruki terkejut. "Hah? Dia serius ingin berbohong demi sabun dan sampo diskon ini? Sejauh ini?!" bisiknya dalam hati.

"Baiklah kalau begitu, mudah saja," Pemilik Toko menunjuk Haruki.

"Kamu, buktikan bahwa dirimu suaminya dengan cara mencium istrimu."

Jantung Haruki berdebar kencang. Ia tidak menyangka akan ada permintaan seperti ini.

"Bagaimana? Ayo, lakukan sekarang, anak muda!" desak Pemilik Toko, nada suaranya penuh semangat.

Rin yang berdiri di dekatnya, mengangkat tangan dan mengusap rambutnya ke belakang.

"Ayo, Sayang, lakukan! Buktikan kalau kita pasangan sungguhan!" Meskipun berkata begitu, Rin juga panik dan malu. Jantungnya berdetak tak karuan dan tangannya gemetar.

"Maafkan aku, Rin. Aku benar-benar terpaksa," batin Haruki.

Perlahan, Haruki melangkah mendekati Rin.

Tangannya yang sedikit gemetar, tapi pasti, meraih bahu Rin. Rin memejamkan matanya, menunggu. Semakin dekat wajah Haruki, semakin kencang detak jantungnya.

"Ayo buruan, anak muda! Jangan ragu-ragu!" teriak Pemilik Toko lagi.

Haruki ikut memejamkan mata, bibirnya semakin dekat, hingga napas hangatnya terasa di pipi Rin.

Rin, yang gugup, tiba-tiba menoleh cepat. Tepat saat itu, bibir Haruki mendarat di bibirnya.

BOM!

Mata mereka langsung terbuka, pipi mereka memerah padam. Mereka saling menatap, ciuman yang tidak disengaja itu terasa begitu mendebarkan. Haruki segera menarik diri, mengakhiri ciuman itu dengan cepat.

Pemilik Toko tertawa puas. "Wah, saya benar-benar salah menilai! Maaf, ya, tawaran saya aneh-aneh."

Rin berusaha menyembunyikan ekspresinya. "B-bagaimana? Kami sudah membuktikan, sekarang berikan sabun itu pada kami!" ucapnya, suaranya sedikit serak.

Rin, kamu benar-benar mengorbankan diri hanya demi sabun? Maafkan aku, Rin, karena telah berbuat tidak senonoh padamu, gumam Haruki dalam hati, merasa bersalah.

"Maaf ya, Nona. Kalau begitu, saya tambah lagi cokelatnya. Anggap saja sebagai permintaan maaf karena sudah menyuruh kalian berbuat begitu," Pemilik Toko tersenyum sambil memasukkan beberapa batang cokelat ke kantong plastik, lalu memberikannya pada Haruki.

"Kalau begitu, kami pamit pulang. Terima kasih banyak, Pak!" sapa Rin sambil melambaikan tangan.

"Semoga langgeng, Nak!" balas Pemilik Toko keras, melambaikan tangan kembali.

Sepanjang perjalanan kembali ke Vila, Haruki hanya terdiam, menundukkan wajahnya yang memerah. Ia tak berani menatap Rin. Di sisinya, Rin berjalan seolah tak terjadi apa-apa, meskipun ia sendiri masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

"Haruki... maafkan aku. Aku terpaksa melibatkanmu dalam masalah ini," ucap Rin lirih, memecah keheningan.

Langkah Haruki terhenti. Ia mematung di tengah lorong Fila. Rin menoleh, lalu melangkah kembali mendekati Haruki. "Haruki?" tanyanya, memastikan kondisi laki-laki itu.

"Ini semua salahku, Rin. Aku yang terlalu bodoh sehingga kamu ikut terlibat," balas Haruki, suaranya dipenuhi rasa bersalah.

"Aku tahu itu cara tercepat untuk mendapatkan diskon, tapi tetap saja! Aku menyesal karena harus melibatkanmu. Aku… aku benar-benar minta maaf atas perbuatanku tadi."

Haruki berlutut, menundukkan tubuhnya dalam-dalam di hadapan Rin. Ia merasa hina karena tidak bisa menemukan solusi lain tanpa harus menyentuh Rin.

"Haruki, bangunlah. Kamu tidak salah, kok.

Biarkan yang tadi berlalu," ucap Rin, menenangkan. "Aku paham perasaanmu, lagipula aku tidak marah kalau kamu melakukan hal seperti itu padaku."

Ucapan Rin terasa seperti anak tangga yang menuntun Haruki keluar dari jurang penyesalan.

Haruki perlahan bangkit, menatap wajah Rin yang tersenyum tulus.

"Seandainya aku bisa memikirkan jalan keluar lain, aku pasti akan memilihnya. Maafkan aku ya, Rin.

Sekali lagi, maafkan aku," ucap Haruki, air matanya menetes. Ia benar-benar meminta maaf dengan tulus.

"Sudah, tidak apa-apa. Lupakan saja," jawab Rin. Ia menjulurkan tangannya, meraih tangan Haruki.

"Bagaimana kalau kamu ikut aku ke tempat lain?"

"Eh? Tapi mau ke mana? Nanti teman-teman menunggu, lho!" tanya Haruki.

Rin tidak menggubris. Ia menarik Haruki menuju sebuah lorong sepi, jauh dari keramaian orang. Langkah mereka membawa mereka ke sebuah pojok ruangan yang tersembunyi.

"Rin? Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Haruki, melihat Rin mengikat rambutnya yang terurai.

Rin mendekat, mata mereka bertemu. "Haruki, aku ingin bertanya sesuatu. Kumohon, jawab dengan jujur," ucapnya dengan nada serius.

Haruki mundur selangkah demi selangkah, merasakan ada aura lain dari Rin. Ia terus mundur sampai punggungnya menyentuh dinding. "A-apa yang ingin kamu tanyakan?" suaranya bergetar.

Rin memalingkan wajah, pipinya memerah. "Saat ciuman tadi... aku benar-benar tidak sengaja menoleh ke arahmu. Aku tidak siap," gumamnya.

"Jadi, apa yang mau kamu tanyakan?" Haruki mengulang pertanyaannya, semakin penasaran.

"Kita sudah berjanji, kan, untuk tidak membicarakannya pada siapa pun," ucap Rin, mengingatkan Haruki pada janji yang mereka buat sebelum berangkat.

"I-iya, terus?" Haruki semakin berdebar. Ia merasa Rin sedang mengintimidasi dirinya.

"Jadi... aku ingin minta padamu untuk tutup mata. Apa bisa?" tanya Rin.

Haruki terheran, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "B-bisa, tapi untuk apa?"

"Aku minta kamu jangan membuka mata sebelum aku memberi aba-aba," tambah Rin.

Haruki semakin bingung, tapi ia akhirnya mengangguk. "Oke, aku tutup mataku sekarang."

Ia memejamkan mata, kegelapan menyelimutinya.

Sebenarnya Rin mau apa, sih? Aku jadi takut, bisiknya dalam hati.

Melihat Haruki menutup matanya rapat, Rin tersenyum tipis. Ia mengangkat tangannya, memegang wajah Haruki yang tegang, lalu perlahan mendekatkan wajahnya.

Tanpa diduga, Rin mencium bibir Haruki untuk kedua kalinya. Kali ini, ia tidak melepaskannya dengan cepat. Ciuman itu terasa lebih dalam, lembut, dan lama. Rin menikmati kehangatan sentuhan bibir mereka.

"Haruki, sebenarnya aku sudah menunggu momen ini," batin Rin dalam hati yang terdalam.

"Aku ingin menyimpannya untuk waktu yang tepat, tapi ciuman pertamaku begitu kurang persiapan. Jadi, aku ingin mengulanginya sebagai perbaikan. Maafkan aku, Haruki. Aku benar-benar egois......"

(Bersambung.....)

1
Felipa Bravo
Characternya bikin terikat! 😊
Abdul Jabbar: Nantikan terus bab selanjutnya, upload setiap hari Selasa dan jumat
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!