'Kegagalan adalah sukses yang tertunda.'
'Kegagalan bisa jadi pelajaran dan cambuk untuk terus maju menuju sukses.'
Dan masih banyak kalimat motivasi ditujukan kepada seseorang yang gagal, agar bisa bertahan dan terus berjuang.
Apakah kalimat motivasi itu berlaku dalam dunia asmara?
Nathania gagal menuju pertunangan setelah setahun pacaran serius penuh cinta. Dan Raymond gagal mempertahankan mahligai rumah tangga setelah tiga tahun menikah.
Mereka membuktikan, gagal bukan berarti akhir dari kisah. Melainkan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang baru, lebih bernilai. Lahir dari karakter kuat, mandiri dan berani, setelah alami kegagalan.
Ikuti kisahnya di Novel ini: "Ketika Hati Menyatu"
Karya ini didedikasikan untuk yang selalu mendukungku berkarya. Tetaplah sehat dan bahagia di mana pun berada. ❤️ U. 🤗
Selamat Membaca
❤️🙏🏻💚
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sopaatta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. KHM
...~•Happy Reading•~...
Kembali ke Raymond di kantor ; Setelah membuat janji dengan pengacara, dia memasukan dokumen yang diberikan Vania ke dalam laci meja kerja, lalu membuka gulungan desain bangunan yang sedang dikerjakan bersama karyawannya.
Kemudian dia memanggil sekretaris. "Ance, tolong atur ulang schedule saya hari ini. Saya sedang tunggu pengacara..." Raymond menjelaskan yang harus dikerjakan sekretaris. Ada pertemuan yang perlu ditunda, karena pertemuan dengan pengacara tidak bisa diprediksi.
Sebelum jam pulang kantor, sekretaris mengantar pengacaranya masuk ke ruangan. "Ance, tolong siapkan minuman hangat buat kami." Ucap Raymond sambil mempersilahkan pengacaranya duduk.
"Thanks Muel." Ucap Raymond sambil duduk di depannya.
"Apa kita tidak bisa bertemu selain urusan yang beginian?"
"Bisa saja. Asal yang sibuk wara wiri kantor pengadilan negeri bisa direm." Ucap Raymond sambil tersenyum.
"Oh, sekarang jadi tergantung aku?"
"Ya, begitulah, kira-kira."
"Mana perjanjian kerja samanya. Aku lihat dulu, sebelum kita ngelantur kiri kanan."
"Ok. Sebentar." Raymond berdiri ke meja kerja untuk mengambil dokumen yang diberikan Vania.
"Ini, coba dilihat. Kalau mata awamku, tidak bermasalah. Tapi aku butuh pendapatmu dari segi hukum."
"Ray, kau mau balik lagi ke dunia model?" Samuel terkejut membaca kop surat perjanjian yang diberikan Raymond dari Rumah Mode VR. "Pantesan kau selalu jaga body." Samuel komentar sambil meneliti dokumen di tangan.
"Ah, masa aku kalah sama pengacara? Malu-maluin. Nanti dibilang mantan model, tapi jalan perut duluan, ngga bisa lihat jempol." Ucapan Raymond membuat Samuel meletakan dokumen di tangannya ke atas maja dan mengirimkan kepalan ke arahnya.
"Kepalanmu isinya angin semua." Ucap Raymond lagi, hingga mereka tertawa.
"Ray, kau jangan bikin aku salah baca pasal."
"Jadi ke mana-mana, kan. Itu tawaran dari anak teman Ayah. Aku tidak jadi model, tapi..." Raymond menjelaskan yang dikatakan Vania.
"Oh, ok. Semuanya legal dan menguntungkanmu, kecuali jadi model. Pasal ini bisa jadi pintu masuk untuk dia memintamu jadi model ketika dia adakan event di rumah modenya." Samuel menunjuk pasal yang dimaksud.
"Kalau begitu, tolong dikunci. Supaya aku tidak terjebak di situ."
"Ok. Nanti aku perbaiki baru kau tanda tangan. Ada lagi yang mau kau tambahkan? Supaya aku buat klausulnya sekalian."
"Oh, iya. Tolong amankan juga, kalau aku tiba-tiba tidak mau perpanjang kerja sama, tidak kena pinalti." Ucap Raymond serius.
"Ok. Aku mengerti. Nanti aku buat klausulnya juga. Kalau dia tidak setuju dengan klausul yang kita ajukan, jangan tanda tangan."
"Ok. Kalau ini berhasil tanda tangan, kita bertiga pergi mancing."
"Kalau sekarang belum bisa, aku lagi tangani banyak kasus pidana. Oh, iya, kapan surat perjanjian ini harus ditanda tangan?" Tanya Samuel sambil menutup lembaran dokumen.
"Kalau bisa sebelum akhir bulan. Karena rumah modenya mau buka awal bulan." Raymond tidak mau buru-buru memberikan keputusan kepada Vania, agar tidak menimbulkan prasangka negatif. 'Bilangnya tidak berkecimpung lagi, tapi sangat cepat memberikan keputusan untuk kerja sama.'
~*
Di tempat lain, di lokasi syuting ; Belvaria uring-uringan dan tidak konsentrasi sejak telpon Raymond. "Ada apa denganmu, Belva? Kasihan yang lain jadi tunggu." Asistennya mendekat dan bertanya kepada Belvaria.
"Kau ngga lihat aku sedang berusaha konsentrasi? Kau tolong bilang sutradara ambil adegan pemeran pendamping dulu deh. Aku istirahat sebentar, kepalaku tiba-tiba pening."
"Kau, bilangnya ngga peduli sama Pak Ray. Kau pening lihat Pak Ray lunch dengan pemilik rumah mode VR, kan?"
"Apa peduliku dengannya. Mau lunch, linch, lonch. Aku ngga peduli."
"Mulutmu bilang ngga peduli, tapi emosimu menunjukan kau mulai sakit kepala. Aku sudah bilang, hati-hati jangan sampai panas dingin, eh, malah sakit kepala." Belvaria jadi mendelik ke asistennya.
"Tunggu di situ. Istirahat. Jangan bikin semua orang marah. Kau ngga lihat Devano melihatmu dari tadi, karena adegan kalian ditunda? Jangan bikin dia datang ke sini dan dilihat sama para crew." Asisten menunjuk dengan wajah ke arah tempat duduk pemeran utama pria yang sedang menatap Belvaria.
"Iya. Tolong bicara dengannya, supaya mau sabar. Jangan cerita yang lain." Belvaria melihat asistennya dengan wajah galak.
~*
Kembali ke Raymond di perjalanan pulang ; Setelah melalui jalanan padat merayap, Raymond tiba di rumah lebih malam dari biasanya. 'Hmm.' Dia tersenyum melihat mobil Belvaria sudah ada di garasi.
"Selamat malam, Pak. Bapak mau minum atau makan sesuatu?" Tanya Titin yang sudah menunggunya di ruang tengah.
"Titin, ganti pertanyaan itu. Kau seperti robot. Setiap hari saya pulang, kau bertanya dengan pertanyaan yang sama." Ucapan Raymond membuat Titin tersenyum, malu.
"Nanti bapak kasih tahu gantinya. Saya tidak tahu mau tanya apa, Pak." Titin jadi serius menanggapi dan mau cari kalimat yang lain.
"Nanti saja carinya. Sekarang buatkan makan malam untuk saya. Jangan terlalu berat, saya hanya ingin makan." Raymond berkata seakan tidak ada Belvaria di rumah.
"Oh, bapak mau kentang dan dendeng?" Tanya Titin serius setelah memikirkan apa yang bisa dimasak cepat.
"Dendeng? Kau dapat dari mana?" Tanya Raymond serius. Dia mengira, dendeng dibawa Belvaria, jadi tidak berselera.
"Dari Ibu, bapak. Paket yang dikirim sudah diantar, Pak." Titin menjelaskan. "Ok. Kalau begitu, tolong siapkan..." Raymond senang, karena dendeng dari Ibunya.
"Oh, begini rupanya di rumah kalau aku tidak ada. Kelakuanmu makin menjadi-jadi." Ucap Belvaria sinis. "Mengapa hanya lunch? Sekalian saja dinner..." Belvaria tiba-tiba muncul lalu menyindir Raymond, karena emosi melihat Raymond berbicara baik dan hangat dengan Titin, sedangkan dengannya seperti hewan luka.
"Titin, tolong cepat siapkan. Telinga saya ikutan lapar." Raymond berkata sambil berjalan ke kamar tamu lalu menutup pintu dengan suara keras.
Setelah mandi, Raymond keluar dari kamar menuju ruang makan. Dia berlaku seakan tidak melihat Belvaria yang sudah menunggunya dengan wajah merah di meja makan.
"T'rima kasih, Titin." Ucap Raymond saat melihat piring di atas meja makan berisi dendeng yang sudah dipotong kecil dan dibumbui dengan beberapa buah kentang rebus yang sudah dipotong.
"Titin, kau cuma bikin satu? Cuma ada satu orang di rumah ini?" Bentak Belvaria mencari perhatian Raymond.
"Titin, tolong air minum saya agak panas." Raymond berbicara kepada Titin, seakan tidak mendengar yang dikatakan Belvaria.
Kemudian dia mengeluarkan ponsel lalu menelpon. "Bu, sudah mau tidur?" Tanya Raymond.
"Belum, Nak. Baru pulang kerja?" Tanya Ibunya.
"Iya, Bu. T'rima kasih dendengnya." Raymond bicara santai.
Belvaria yang mau mengomel, jadi diam lalu berjalan keluar dari ruang makan dengan amarah yang meluap. Dia tidak bisa melanjutkan omelan, karena Raymond bicara dengan Ibunya.
Raymond tersenyum dalam hati, sudah punya cara hadapi Belvaria, tanpa perlu menarik saraf. "Titin, bikin satu lagi. Kalau Ibu tidak makan, kau yang habisin." Raymond memberikan solusi, agar Titin tidak dimarahi Belvaria.
...~_~...
...~▪︎○♡○▪︎~...