Kembali hidup setelah dirinya mati terbunuh. Itulah yang dialami gadis jenius bisnis bernama Galuh Permatasari. Ia bertransmigrasi ke era kolonial menjadi seorang gundik dari menheer tua bernama Edwin De Groot. Di era ini Galuh bertubuh gendut dan perangainya buruk jauh dari Galuh yang asli.
Galuh memahami keadaan sekitarnya yang jauh dari kata baik, orang - orang miskin dan banyak anak kelaparan. Untuk itu ia bertekad dengan jiwa bisnisnya yang membludak untuk mengentaskan mereka dari keterpurukan. Memanfaatkan statusnya yang sebagai Gundik.
Disaat karirnya berkembang, datanglah pemuda tampan yang tidak lain adalah anak dari menheer tua bernama Edward De Groot. Kedatangannya yang sekedar berkunjung dan pada akhirnya jatuh cinta dengan gundik sang ayah.
Lantas, bagaimana kisah kelanjutannya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berangkat Ke Parlemen Belanda
Malam harinya.
Edwin tidak jera dengan alergi yang ia alami kemarin. Malam itu juga ia memasuki kamar Galuh. Galuh sudah menyiapkan bubuk gatal di setiap tempat yang biasa Edwin duduki jika pria tua itu akan masuk ke kamarnya lagi.
Edwin tidak menyadari jebakan yang telah disiapkan oleh Galuh. Begitu dia duduk di sofa favoritnya, dia langsung merasa gatal yang luar biasa. "Ahh, apa ini?!" teriaknya sambil melompat-lompat, menggaruk-garuk kulitnya dengan panik.
Galuh yang tengah berbaring di kasur tidak bisa menahan tawanya, "Hahaha, kamu tidak belajar dari kemarin, ya?" suara tertawanya tertahan saat dia melihat ekspresi kesakitan Edwin.
"Apa yang kamu taburkan di sini? Aku jadi gatal-gatal!" Edwin mengeluh, masih menggaruk-garuk kulitnya. Nyai Galuh tertawa dan menjawab, "Tidak ada apa-apa, Tuan, mungkin Anda terlalu sensitif saja!" sambil berusaha menahan tawanya. "Jika Anda gatal - gatal, saya pasti juga."
Edwin memandang nyai Galuh dengan curiga, "Kamu pasti menyembunyikan sesuatu!"
"Tidak ada, Tuan." Nyai Galuh menggeleng lalu Edwin keluar kamarnya.
Setelah Edwin keluar kamar dengan rasa gatal yang tak tertahankan, Nyai Galuh tersenyum puas sambil membersihkan sisa bubuk gatal yang tadi dia taburkan. "Mudah-mudahan ini bisa membuatnya kapok," gumamnya dalam hati. Dengan senyum manis, dia melanjutkan istirahatnya, merasa aman dari gangguan Edwin untuk sementara waktu.
Edwin berjalan kembali menuju kamarnya dengan terus menggaruk kulitnya yang gatal, "Hmm, kenapa ya? Sudah dua kali ini aku merasa gatal-gatal," gumamnya sambil memeriksa kulitnya. Ia mulai merasa sedikit khawatir, apakah ini tanda-tanda penyakit atau hanya alergi biasa. Pikiran tentang Galuh yang besok akan pergi ke Batavia juga melintas di benaknya, tapi ia tidak terlalu memikirkannya. "Wilda, tolong ambilkan aku salep anti gatal," panggil Edwin kepada istrinya. Wilda yang sedang membaca buku mengangkat alisnya, "Kamu kenapa lagi, Papi, tiba-tiba gatal-gatal?" tanya Wilda sambil berjalan menuju lemari obat.
"Entahlah, setiap aku masuk ke kamar nyai Galuh, alergi gatalku kambuh."
Wilda menyadari perubahan ekspresi Edwin dan langsung tahu apa yang ada di pikiran suaminya. Ia memilih untuk tidak melanjutkan topik itu dan hanya diam, fokus pada Edwin yang sedang menggaruk. Suasana menjadi sedikit tegang, dan Wilda berharap Edwin bisa segera tertidur dan melupakan masalah yang ada. Namun, pikiran tentang Galuh masih terasa ada di antara mereka, meskipun tidak ada yang mengucapkannya.
"Jika terus begini, aku tidak bisa tidur." imbuh Edwin.
Wilda membantu Edwin menyalepkan obat anti gatal pada kulitnya yang merah dan gatal. "Sabar ya Pi, semoga cepat reda," kata Wilda sambil terus menyalepkan obat. Edwin menghela napas, merasa sedikit lega setelah Wilda menyalepkan obat pada kulitnya yang gatal.
"Mungkin aku harus pergi ke dokter besok," kata Edwin, masih merasa sedikit khawatir tentang gejala yang dialaminya.
Wilda hanya mengangguk, "Iya, lebih baik Papi periksa ke dokter saja."
Setelah selesai menyalep, Wilda membantu Edwin berbaring di tempat tidur, "Segeralah tidur!"
.
.
Pagi ini nyai Galuh sudah berdandan rapi, memakai kebaya dengan kain batik yang elegan yang menutupi lekuk tubuhnya yang berisi, serta rambut yang tersanggul rapi di atas kepala. Nyai Galuh berjalan dengan anggun dan percaya diri menuju ruang makan, di mana semua orang sudah menunggu. Dengan senyum ramah dan hangat, dia menyapa semua orang termasuk menheer Edwin, "Selamat pagi !"
"Kamu terlihat cantik sekali hari ini, Nyai Galuh," kata Edwin sambil memandang Galuh yang berdandan rapi untuk pergi ke parlemen. Galuh tersenyum dan mengucapkan terima kasih, sementara Wilda dan Merry saling bertukar pandang dengan ekspresi tidak suka. "Apa-apaan ini, Papi?" gumam Merry dalam hati.
"Terima kasih, Tuan Edwin," kata Galuh dengan senyum manis, tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
Edwin tidak menyadari ketegangan yang terjadi, sementara Wilda dan Merry saling bertukar pandang dengan rasa tidak suka yang semakin jelas.
Mereka duduk di meja makan, dengan menu sarapan yang disiapkan oleh Galuh. Ada sayur-sayuran segar, roti gandum, dan buah-buahan. Edwin memandang menu sederhana itu dan mengangkat alis, "Hanya ini saja?"
Galuh tersenyum, "Ya, saya sedang diet, Tuan."
Wilda dan Merry saling bertukar pandang, sepertinya mereka sudah terbiasa dengan kebiasaan makan Galuh yang sehat.
"Aku akan makan di luar nanti," kata Edwin, membuat Galuh memandanginya dengan tatapan yang tidak setuju.
"Tidak perlu Tuan, Anda harus menjaga kesehatan juga," jawab Galuh lembut.
Edwin hanya tersenyum lalu bergumam, "Benar juga."
Wilda dan Merry memandang menu sederhana di depan mereka, lalu saling bertukar pandang dengan ekspresi yang sedikit kesal. "Hmm, sepertinya aku harus puasa saja hari ini," gumam Wilda, sementara Merry hanya menghela napas dan mulai makan dengan tidak terlalu bersemangat.
Edwin tersenyum dan menikmati sarapannya yang ternyata terasa lezat, sementara Galuh memantau mereka semua dengan senyum puas.
"Makanlah, masih ada banyak lagi," kata Galuh, Kamini datang menyodorkan semangkuk sayur lagi di atas meja.
Wilda dan Merry berteriak serempak, "Hah, sayur lagi!" sambil memandang Galuh dengan ekspresi tidak percaya. Galuh hanya tertawa dan menggelengkan kepala, "Sayur itu baik untuk kesehatan, kalian harus makan lebih banyak!"
Edwin yang duduk di sebelah mereka hanya tersenyum dan menikmati sarapannya yang lebih lezat, tidak ikut campur dalam perdebatan tentang sayur.
.
.
Nyai Galuh berpamitan kepada Edwin sebelum berangkat ke Batavia. "Saya akan pergi sekarang, Tuan," kata Galuh dengan sopan. Edwin yang sedang membaca koran memandanginya sekilas, "Aku tidak bisa mengantarmu, Nyai. Semoga berhasil dan hati-hati di jalan,"
Galuh mengangguk dan tersenyum, "Anda jangan khawatir, Tuan." Setelah berpamitan, Galuh berpaling ke Wilda dan Merry, yang hanya diam dan tidak menunjukkan ekspresi hangat. "Saya pamit dulu," kata Galuh singkat, sebelum meninggalkan rumah. Ia mengajak Kamini dalam perjalanan panjangnya.
Galuh akan pergi ke Batavia, ibukota Hindia Belanda. Ia membawa dokumen-dokumen penting yang akan digunakan sebagai bukti untuk mendukung klaimnya tentang kondisi pekerja di perkebunan.
Sebelum berangkat, Galuh sempat menoleh ke arah rumah besar tempat tinggal Menheer, berharap bahwa keputusannya untuk melapor ke parlemen tidak akan membuatnya kehilangan tempat tinggal. Tapi dia tetap yakin bahwa apa yang dia lakukan adalah yang terbaik untuk pekerja di perkebunan.
Nyai Galuh lalu menuju kereta kuda, penampilannya mencerminkan keanggunan dan keramahan meski berisi, tapi aura kecantikannya tetap terpancar. Disana ia akan bertemu dengan pejabat Belanda untuk membahas hak-hak para pekerja. Padahal belum tahu siapa saja yang bakal ia temui.
Dengan langkah mantap dan percaya diri, Nyai Galuh memasuki kereta kuda yang sudah menunggunya, siap membawanya menuju destinasi. "Saya akan kembali nanti," katanya kepada pelayannya, sebelum kereta kuda itu berangkat meninggalkan rumah. Kamini mengangguk.
Wilda menatap kepergian Nyai Galuh, rasa iri muncul di hatinya. "Dia akan pergi kemana, Papi ?" Wilda bertanya lirih.
"Dia akan pergi ke parlemen Belanda." sahut Edwin lalu melipat korannya, saatnya juga ia bersiap untuk bekerja.
Tatapan Wilda melebar, membayangkan apa yang sedang dilakukan Nyai Galuh di sana. "Untuk apa dia pergi ke sana ?"
"Ah, itu bukan urusanmu Wilda. Siapkan sepatuku !"